Oleh: Dwi Novi Antari
Sepeda menjadi life style di masa pandemi. Bahkan kini, memasuki adaptasi kenormalan baru sepeda menjadi primadona di kalangan masyarakat. Bukan lagi hal yang mengagetkan jika menjumpai sepeda di jalanan. Pun dalam jumlah besar alias rombongan. Hal yang membuat kaget sekarang bukan soal jumlah sepeda di jalanan, tetapi jumlah uang yang harus dikeluarkan jika ingin membeli sepeda bombastis abad ini. Ya, ada jenis sepeda yang harganya mencapai harga sepeda motor bahkan mobil.
Demam sepeda benar-benar merajai segala kalangan masyarakat. Sepeda-sepeda yang memenuhi jalanan hari ini menjadi hal yang teramat lumrah. Sebuah vibe positif era ini. Melambungnya tren sepeda, membuat sebagian masyarakat memahami jenis-jenis sepeda dari berbagai fungsi, bahkan merujuk kepada merek dan style personal. Siapa kira kini di jalanan bisa melihat sepeda dengan warna kinclong dan tampilan yang ciamik?
Sebagaimana sebuah hal pada umumnya, tren bersepeda ini masih dipenuhi kritikan negatif dan pujian positif. Tanpa mengabaikan hal-hal positif, beberapa hal negatif yang kerap kali disasarkan pada tren ini adalah bagaimana sebagian pesepeda ‘dadakan’ merajai jalanan dengan abai pada aturan lalu lintas; berjejer memenuhi jalanan serta menerabas lampu lalu lintas adalah yang paling umum terjadi. Tak jarang, berita viral yang terbaca adalah persoal kecelakaan sepeda yang berujung naas. Tetapi, benar adanya jika tren ini menyalurkan hal positif secara masal dan menyedot perhatiaan banyak orang, sehingga sepeda kini memang dipandang sebagai gaya hidup yang bisa ditekuni menuju kebugaran diri. Sebuah kunci untuk daya tahan tubuh di masa pandemi yang tak kunjung berakhir ini.
Sebelum memasuki masa trennya, sepeda tetap menjadi bagian dari sejarah, sebab ia bukan barang yang baru ditemukan kemarin ataupun tahun lalu. Belum lama ini, menikmati sore bersama salah seorang perempuan di usia senja yang telah menghabiskan beberapa periode kehidupan, ia bertutur tentang sebuah pengalaman melihat evolusi sepeda, dari ada kepada tak ada lalu kini benar-benar ada lagi. Perubahan fungsi jelas adanya.
Di masa lalu, ada masa di mana sepeda menjadi moda transportasi darat utama. Jangan bayangkan ada motor atau mobil di jalanan. Bahkan tak ada jalanan aspal. Pilihan berpergian adalah dengan jalan kaki atau ikut kendaraan umum dengan kengerian yang teramat sebab kondisi jalan yang belum memadai adalah dua hal yang sama sulitnya. Maka, sepeda adalah barang mewah. Memiliki sepeda artinya ada tingkatan ekonomi yang berbeda. Nah untuk ini, kita bisa sembari mencari foto terbaik Bung Karno dengan Fatmawati yang sedang berboncengan di sepeda. Potret ikonik romansa masa lalu. Meski sebuah barang yang dianggap mewah, fungsi utamanya tetap pada jalur untuk memudahkan perpindahan, ya transportasi itu sendiri maksudnya.
Jika menilik rupa sepeda lawas, kita akan sedikit berpikir ulang soal selipan kata style. Meski memiliki bentuk yang juga berupa, tapi sepeda onthel adalah model paten di masanya. Sebuah tipe standar sepeda yang digunakan masyarakat umum, dan lihat pula bagaimana warna yang melekat padanya. Tak ada kesempatan menyandang gaya, apalagi varian warna. Sederhana nan bermanfaat.
Ibarat roda yang berputar, sepeda pun memiliki masa yang terus ikut berjalan, dianggap barang mewah pernah, maka dianggap barang berharga bagi kalangan bawah pun juga. Adegan di film populer tanah air tentu akan membuat banyak persetujuan di sini. Laskar Pelangi, siapa yang tak tahu film adaptasi karya Andrea Hirata itu? Satu adegan tentang sepeda membuat sebuah fakta di masanya, Lintang yang memilih meninggalkan sekolah demi merawat adik-adiknya kala itu berpamitan dengan Bu Muslimah sebagai adegan paling klimaks dengan mengendarai sepeda. Tentu saja, sepeda adalah barang berharga bagi sebagian kalangan. Tak terkecuali Lintang di Laskar Pelangi. Jika dibedah pula manfaatnya, sepeda masa itu juga berfungsi sebagai alat memudahkan perpindahan, ya betapa jauh rumah Si Lintang ke Sekolah Laskar Pelangi dalam kisahnya. Demikian, ketika sebagian sudah memilih motor ataupun mobil, sepeda di masa lalu adalah pilihan yang terjangkau. Pilihan kaum-kaum menengah ke bawah.
Sejak dulu saya terkagum-kagum dengan Jerman, Belanda, hingga negara-negara nordik yang penggunaan sepedanya mencapai persentase yang tinggi, teramat tinggi bahkan. Jika, hari ini hadir lagi sepeda dengan gelombang masa yang besar, ada syukur yang perlu dihaturkan. Keterkaguman dengan negara-negara yang masih secara aktif menggunakan sepeda sebagai moda transportasi umum darat itu bisa diupayakan di negeri sendiri, dengan sentuhan peraturan yang tepat tentunya. Eh, bukan soal regulasi yang tersiar beberapa waktu lalu, abaikan dulu itu. Ini soal bagaimana keamanan di jalanan bisa ditaati, juga bagaimana jalanan bisa ramah bagi pesepeda. Sebab, jelas manfaat yang nyata jika sepeda menjadi pemain utama di jalanan melebihi kendaraan umum. Sesederhana perihal polusi udara yang berkurang, misalnya. Maka, apapun faktanya, bersepeda adalah baik untuk diri dan bumi.
Editor : Tri Hanifah