Oleh Darso
(Ketua Bidang Organisasi PCPM Metro Utara)
Dalam dua tahun terakhir, kita mulai familiar dengan kata Revolusi Industri 4.0. Tidak sedikit dari kita yang menanyakan tentang maksud kata yang tiba-tiba banyak digunakan oleh tokoh-tokoh besar yang kita lihat di layar kaca. Banyak tokoh yang membahas untuk menyongsong revolusi industri 4.0, atau bahkan ada yang mengatakan supaya kita tidak tergilas oleh fenomena industri 4.0.
Lalu sebenarnya apa yang harus kita sikapi dari perkataan-perkataan para tokoh tersebut? Jika kita perhatikan, tanda revolusi industri 4.0 yang sangat kita rasakan dengan adanya internet. Sebagain besar orang saat ini terhubung dengan internet. Ini diawali dari terjadinya pergeseran tren yang semula menggunakan pulsa telepon dan handphone menjadi tren kuota dan smartphone. Karena pergeseran inilah kita saat ini diberikan begitu luas ruang informasi. Bahkan dalam hitungan detik, peristiwa yang baru saja terjadi sudah dapat dibaca oleh orang lain di belahan dunia lain. Tentu ini tidak terlepas dari peran media sosial yang saat ini sudah bukan hal awam bagi lansia atau anak-anak sekalipun.
Sejak lima tahun terakhir, media sosial telah menjadi primadona sebagai alat (tools) bantu dalam memasarkan produk, baik barang maupun jasa. Tren ini terus meningkat dalam dua tahun terakhir.Â
Berdasarkan data dari Hootsuite, perusahaan analisis media sosial dari Kanada, pengguna media sosial di Indonesia pada 2020 sudah mencapai 160 juta orang atau 59% dari total penduduk Indonesia yang mencapai 272 juta jiwa. Platform media sosial yang paling banyak digunakan adalah YouTube sebanyak 88%, kemudian diurutan kedua Whatsapp 84%, Facebook menempati urutan ketiga dengan jumlah pengguna 82% dari total pengguna media sosial. Urutan berikutnya adalah platform berbagai gambar Instagram 79%, disusul Twitter 56%
Jika kita tarik pada statistik penduduk Kota Metro, Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Metro di tahun 2017 menuliskan jumlah penduduk Kota Metro mencapai 160.729 orang. Maka jika kita hitung kasar berdasarkan angka pengguna media sosial Indonesia, angka pengguna media sosial Kota Metro berkisar 94.830 orang.
Hal ini menjadi kesempatan bagi pemilik produk baik perusahaan atau bahkan sekolah untuk berpromosi. Terlebih urutan pengguna media sosial terbanyak setelah YouTube adalah Whatsapp, Facebook, dan Instagram. Yang hampir setiap orang saat ini mengakses platform tersebut. Terlebih masing-masing platform menawarkan ruang untuk beriklan secara khusus.
Lalu bagaimana menyikapi hal tersebut? Ada unsur pendukung yang tidak kalah penting dalam menunjang tren media sosial ini. Yakni; Desain Grafis.
Desain Grafis hal yang tidak bisa dianggap sepele sebagai penunjang kemudahan berpromosi dalam media sosial. Karena hal ini akan mempengaruhi ketertarikan user media sosial untuk melihat suatu promosi.
Lalu desain seperti apa yang baik untuk menunjang iklan di media sosial? Tentu desain grafis yang baik. Desain grafis yang baik bukan sekadar bagus-bagusan atau banyak-banyakan warna, maupun sekedar banyak-banyakan gambar di dalam desainnya. Karena rata-rata dari masyarakat kita masih berfikir bahwa desain yang baik adalah desain yang keren gambarnya.
Namun tidak sedikit desainer pemula yang melakukan kesalahan sehingga membuat pesan yang ingin disampaikan tidak dapat terserap dengan baik. Misalkan dalam pemilihan warna yang tidak serasi, ini membuat orang yang melihat desain kita menjadi sedikit menyipitkan matanya agar dapat melihat. Ini juga akan berdampak pada ketidaktertarikan orang untuk melihat desain tersebut. Sedangkan promosi atau yang kita sebut iklan merupakan alat persuasif antara konsumen dengan penjual atau produsen. Apa yang terjadi ketika ketertarikan terhadap informasi yang kita sampaikan tidak ada? Maka yang terjadi adalah zero. Tidak akan ada hasil.
Kemudian terlalu banyak menggunakan font atau jenis huruf. Hal ini akan membuat orang lelah melihat desain tersebut, terlebih ketika pemilihan hurufnya yang tidak pas. Misalkan memilih huruf Latin untuk isi, ini akan membuat orang kesusahan dalam membaca. Wajib juga memilih huruf yang sesuai dengan tema. Jadi tidak memilih huruf yang bernuansa horor untuk materi desain tentang anak-anak.
White space atau ruang kosong pun tidak kalah penting. Dalam desain tidak harus melulu dengan memasukkan semua unsur dalam desain sehingga membuat desain menjadi penuh. Desain yang terbaca dan nyaman dibaca adalah desain yang baik. Itu sebabnya readability dan legibility itu penting.
Readability adalah tingkat keterbatasan suatu teks. Teks yang readible berarti keseluruhan teksnya mudah terbaca. Hal ini dipengaruhi oleh kombinasi huruf dan jarak. Sedangkan legibility adalah kemudahan mengenali huruf dan membedakan masing-masing huruf atau karakter. Misal huruf (i) kapital dengan (L) kecil yang cenderung sama. Maka dalam memilih huruf atau font harus selektif juga agar informasi yang hendak disampaikan dapat tersampaikan dengan baik.
Ketika desain yang baik telah disandingkan dengan tren media sosial yang sedang masuk era-nya, maka akan menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi. Media sosial memudahkan dalam mempromosikan sesuatu, desain grafis memudahkan orang untuk menangkap promosi tersebut. Maka tidak berlebihan ketika kita menamai media sosial dan desain grafis sebagai pasangan romantis di era revolusi industri 4.0.
Editor : Tri Hanifah
Iya pasangan yang serasi..kapan ini mau buka kelas belajar desain 🤗siap belajar