Oleh Bagus Ragil Pratama
Belakangan ini keresahan banyak muncul dari sekolah-sekolah Muhammadiyah khususnya di Kota Metro, baik sekolah yang sudah maju maupun sekolah yang berada di ambang pintu kehancuran. Hal ini dilatarbelakangi oleh hingar-bingar dunia pendidikan yang perkembangnya sangat cepat dan melalui berbagai faktor. Beberapa faktor seperti dunia pendidikan yang memasuki era digital, minat siswa dan wali murid dalam memilih sekolah, sampai dengan kualitas pelayanan yang ada di sekolah. Hal ini juga berimbas pada beberapa kondisi.
Bisa jadi sekolah yang maju semakin maju karena memiliki tindakan responsif atas sebuah permasalahan dan memiliki kecepatan dalam penyelesaian sebuah masalah. Bisa jadi juga sekolah maju menjadi mundur karena tidak memiliki kreativitas dalam mengembangkan sekolah sehingga kualitasnya baik akademik, non akademik, sarana prasarana, serta sumber daya manusia tenggelam dilahap oleh sekolah yang terus berbenah. Biasanya sekolah seperti ini ditandai dengan penurunan jumlah pendaftar atau jumlah peserta didik baru, atau bisa juga dilihat dari output peserta didik yg lebih banyak daripada input yang diperoleh. Bisa jadi juga ada sekolah kecil yang merasa besar sehingga tidak mau berbenah untuk memajukan sekolah dan cenderung tidak memunculkan potensi-potensi kreativitas di sekolahnya.
Selanjutnya, inilah yang sangat dirisaukan oleh sekolah-sekolah Muhammadiyah. Di antaranya, sekolah-sekolah kecil yang mulai menunjukkan eksistensinya dengan meretas jalan-jalan sempit birokrasi sehingga mendapat kepercayaan dari masyarakat. Sekolah di Kota Metro ini sangat majemuk, artinya didirikan dari berbagai macam faktor, seperti letak geografis, kebutuhan perseorangan, lembaga, atau masyarakat, sampai latar belakang agama. Dapat kita lihat banyak sekolah berbasis Islam non Muhammadiyah seperti sekolah Islam terpadu, sekolah Ma’arif, sekolah Darut Tauhid, Wahdatul Ummah, Al-Muhsin, dan lain-lain. Ada juga beberapa sekolah non muslim yang memiliki trafic perkembangan meningkat. Sehingga dengan kondisi ini menjadikan sebuah kerisauan tersendiri bagi sekolah-sekolah Muhammadiyah yang juga turut berkompetisi dalam dunia pendidikan.
Di Metro ada 15 sekolah Muhammadiyah aktif dan 2 sekolah Muhammadiyah yang baru berdiri. Oleh karena itu, terstigma dalam benak pimpinan-pimpinan sekolah Muhammadiyah bahwa tidak ada pilihan lain selain berfikir maju untuk pengembangan sekolah. Sekolah-sekolah Muhammadiyah merasakan sebuah kerisauan dengan tumbuhnya sekolah-sekolah di Metro, maka geliat sekolah Muhammadiyah harus lebih besar dari sekolah sekolah lain. Upaya-upaya preventif terus digelorakan dengan peningkatan mutu pelayanan, perbaikan dan peningkatan infrastruktur, pengembangan model pembelajaran, dan optimalisasi manajemen sekolah, bahkan sampai dengan pengemasan dan branding sekolah.
Tentunya bukan hal aneh bila melihat visi Kota Metro sebagai Kota Pendidikan yang di kemudian hari banyak kompetisi dan persaingan antar sekolah. Belum lagi jika berbicara tentang sekolah negeri yang digratiskan SPP-nya. Tentu ini menjadi refleksi tersendiri bagi sekolah-sekolah Muhammadiyah dalam membangun kembali visi mereka menjadi sekolah Muhammadiyah yang unggul, bahkan sampai pada upaya jangka panjang bahwa tidak ada sekolah yang maju kecuali sekolah-sekolah Muhammadiyah.
Hari ini kita sudah melihat SMP Muhammadiyah Ahmad Dahlan yang lima tahun belakangan menjadi brand ambassador-nya Kota Metro. Sekolah yang menjadi salah satu sekolah baru dengan siswa terbanyak di Kota Metro. Belum lagi jika dilihat dari prestasi yang diperoleh. Bergeser ke sebelah barat, berdiri megah SMK Muhammadiyah 3 Metro dengan total siswa lebih dari 1.000 siswa. Menjadikan sekolah ini menjadi salah satu sekolah Muhammadiyah yang mendapatkan predikat sekolah revitalisasi nasional.
Tentunya dengan realita yang terjadi di atas menjadi sebuah penyemangat bagi sekolah-sekolah Muhammadiyah yang lain untuk turut membesarkan diri. Akan tetapi, tetap kompititor-kompetitor yang ada akan tetap dijadikan sebagai sebuah instrumen dalam membangun sekolah Muhammadiyah yang unggul.
Editor : Dwi Novi Antari