Oleh Tri Amiyati
Setiap proses berpikir tak akan terlepas dari perkembangan organ bernama otak. Pada belahan otak kanan dan otak kiri memiliki perbedaan fungsi yang sangat ditentukan oleh aktivitas mental yang berproses pada masing-masing belahan otak. Apa saja perbedaan fungsi kedua belahan otak ini? Belahan otak kiri bekerja secara linier dan sangat rasional. Bergerak dengan menghubungkan satu ide dengan ide yang lainnya. Bagian ini adalah pusat kontrol untuk fungsi intelektual seperti ingatan, bahasa, logika, perhitungan, klasifikasi, menulis, dan analisis. Sedangkan belahan otak kanan merupakan pusat kontrol untuk fungsi mental. Seperti tingkah laku dan emosi, persepsi, koordinasi tubuh, musik, irama dan penyimpanan pikiran.
Norman Cousins mengatakan, bahkan jagad raya, dengan jutaan galaksinya pun tidak sanggup menandingi kompleksitas otak manusia yang menakjubkan. Otak manusia adalah cermin ketakterhinggaan. Tidak ada batas, ruang lingkup atau kapasitas bagi otak untuk tumbuh secara kreatif. Sehingga manusia perlu memaksimalkan fungsi otaknya sebaik mungkin. Memahami kebutuhan otak dengan memberi rangsangan dan stimulasi yang baik. Apalagi optimalisasi otak pada anak usia dini. Mereka membutuhkan rasa aman, kasih sayang dan perlindungan dalam mengoptimalkan fungsi otaknya melalui stimulasi positif. Mereka membutuhkan dukungan dari lingkungan sekitarnya terutama keluarga yang akan memudahkannya menangkap informasi.
Stimulasi positif untuk mengoptimalkan fungsi otak juga dapat dilakukan dengan mengasah kreativitasnya melalui bermain. Anak harus terlibat secara intensif dalam berdialog saat bermain dengan teman atau orangtuanya. Berikan rangsangan melalui hal-hal yang menjadi minatnya sehingga anak terdorong untuk berpikir. Dengan seperti itu akan melatih keterampilan berpikir kreatifnya. Ia akan menjajaki diri dan lingkungannya dengan berbagai cara menggunakan kemampuan yang baru berkembang pada dirinya.
Bermain pun merupakan sarana untuk anak belajar mengenali diri dan lingkungannya. Jauh dari apa yang orang pahami selama ini bahwa, belajar adalah untuk menemukan jawaban-jawaban, belajar yang diukur dengan indeks prestasi dan nilai-nilai ujian. Bahkan belajar sering dikaitkan dengan aktivitas menuliskan hal-hal yang telah diketahui orang lain di atas kertas atau papan tulis. Padahal belajar adalah sebuah petualangan seumur hidup. Sebuah proses panjang dan perjalanan eksplorasi tanpa akhir untuk menciptakan pemahaman personal kita sendiri. Dan kita harus memahami bahwa petualangan itu akan melibatkan segenap kemampuan secara terus menerus untuk sadar akan proses belajar dan berpikir.
Kita membutuhkan keleluasaan untuk menghadapi petualangan ini. Keleluasaan yang bagaimana? Yaitu keleluasaan untuk berpikir dan menemukan makna serta persepsi tentang sesuatu. Leluasa dalam memilih dan mengambil keputusan serta kesiapan mental dalam menghadapi konsekuensinya. Bukan dengan sebuah pikiran yang dijejali dan didoktrin sedemikian rupa sehingga pikiran itu terkungkung dan tidak berkembang. Seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang sepertinya tak jauh dari tempat kita. Ada pengalaman menarik dari seorang siswa taman kanak-kanak yang sedang bermain dengan anak saya, Aqila. Mereka bermain warna menggunakan Crayon. Masing-masing memiliki gambar yang sama untuk diwarnai dari kertas yang berbeda.
Selanjutnya terjadi perdebatan hebat hingga melibatkan emosi masing-masing hanya karena perbedaan pendapat tentang warna bunga. Ini adalah hal sangat menarik untuk saya amati. Bagi siswa TK ini, bunga itu merah dan daun itu hijau. Berbeda dengan Aqila yang lebih sering mengamati segala makhluk yang ada di lingkungannya bersamaku. Ia berpendapat bahwa terlalu banyak warna di dalam kotak Crayon ini yang bisa ia gunakan untuk memberi warna bunga, dan ia memiliki banyak pengalaman dengan melihat bunga yang beraneka macam warnanya. Bahkan dalam kelopak bunga yang sama, ia melihat ada warna yang berbeda di sana. Daun pun tak selalu hijau yang ia jumpai. Ia juga melihat daun berwarna kuning atau merah.
Karena perdebatan mereka mengarah pada sebuah pertengkaran, Saya merasa tersentuh untuk melerai mereka berdua dan kutanyakan permasalahan mereka. Masing-masing memberikan pendapat dan argumennya. Saya memahami pola pikir Aqila. Namun bagaimana dengan temannya? Ingin sekali saya menggali informasi darinya mengapa bunga harus merah dan daun harus hijau. Dan apa yang keluar dari bibirnya benar-benar tak kuduga, ia mengatakan bahwa begitulah gurunya di TK mengajarinya mewarnai. Hal itupun didukung oleh ibunya di rumah, bahwa bunga itu merah dan daun itu hijau titik! Saya setengah kaget namun saya harus menyadari bahwa teman Aqila memang tidak salah mengikuti ajaran guru dan ibunya. Namun dalam hati saya menyayangkan hal ini, anak ini terjejali dengan paradigma orang dewasa yang ada di sekitarnya dan enggan berpikir bebas untuk berusaha melakukan sesuatu yang berbeda dan lain dari biasanya. Hal ini dikhawatirkan dapat menyumbat kreativitasnya sehingga si anak tidak dapat mengoptimalkan fungsi otaknya yang luar biasa, karena apa? Karena kurang mendapatkan dukungan lingkungannya dalam melakukan stimulasi fisik dan mentalnya. Ia tidak diberi kesempatan untuk melihat bunga dengan cara lain, meskipun dia tahu bahwa di sekitarnya bunga tak selalu berwarna merah.
Padahal kegiatan mewarnai adalah sebuah kegiatan yang sangat menyenangkan dan realitanya ada banyak warna pada bunga, namun anak ini hanya mengambil warna merah dan hijau untuk mewarnai semua bunga meskipun di dalam kotak Crayon terdapat beraneka warna.
Kita tentu masih ingat bahwa tujuan terpenting dari sebuah pendidikan adalah belajar bagaimana belajar. Karena pada dasarnya pendidikan bukanlah sebuah kejadian sekali saja bagi setiap orang, melainkan sebuah proses yang berkesinambungan sepanjang hayat. Seringkali tanpa disadari anak-anak telah dicetak dengan cara pandang baik di rumah atau di sekolahnya. Mereka seolah-olah hanya diberikan satu jalan keluar dan didoktrin bahwa itulah satu-satunya jalan yang benar. Padahal begitu banyak pilihan jalan yang dapat diambil. Jadi seolah-olah pendapat lain adalah salah karena sang guru mengganggap cara yang lain memang salah. Namun hal ini menjadi hal yang paling menyedihkan manakala cara pandang ini menjadi terpatri kuat dalam diri sang anak. Meskipun sang anak telah mendapatkan tempat keleluasaan dan kebebasan untuk berekspresipun si anak tetap tak mau dan tak mampu mengambil pilihan lain secara kreatif dan cenderung memilih menggunakan cara berpikir yang sama meski situasi telah berubah.
Perlu kita semua ketahui bahwa memberikan keleluasaan bagi anak untuk memilih akan membuatnya terampil dalam mengambil pilihan terbaik dan siap dengan konsekuensi dari setiap pilihannya. Bukankah hidup ini juga merupakan serangkaian untuk memilih dan mengambil keputusan? Maka berikanlah keleluasaan pada anak-anak kita untuk memilih dan mengambil keputusannya sendiri dan berikan kepercayaan padanya untuk bertanggung jawab atas pilihan yang diambilnya. Dengan kepercayaan inilah kita akan menyalakan api pikiran dan kreatifitas anak-anak, bukan menggegasnya dengan cara pandang kita.
Editor : Tri Hanifah
Good
Terimakasih semoga bermanfaat
Mencerahkan sekali yunda.. membuka cakrawala pemikiran anak-anak