Darso
Paras itu kini telah benar-benar menjadi pemilik benak. Dia menjadi pengendali waktu yang aku sebut dengan kenangan. Setelah mata indah itu menutup semua kisahnya, kini justru menjadi penguasa kisah yang aku rangkai dalam rajutan masa lalu. Dialah mata indah yang ingin aku lihat hingga waktu tidak lagi mengizinkan.
Paras itu aku jumpai tepat 7.000 hari yang lalu. Ketika dua pasang mata tidak mampu saling memalingkan. Ketika itulah aku menginginkan untuk dapat lebih lama memandangi paras tersebut. Aku pun seketika menjadi pemberani yang meminta paras itu dari pemiliknya. Aku datangi pemilik paras itu dan kuminta agar aku bisa melihatnya sebelum aku melihat mentari pagi. Kuminta paras itu untuk saling memalingkan pandang namun tanpa benci yang memisahkan.
Aku pun dapat melihat paras itu bahkan sebelum embun pagi menetes. Aku selalu diam-diam mencuri pandang ketika sepasang tetra masih tertutup. Manis. Sungguh manis paras itu.
Bahkan ketika paras itu memberiku pemandangan baru, aku masih begitu mengagumi paras itu. Bahkan ketika air matanya memecah keheningan malam, aku masih begitu menganggumi paras itu. Walau ketika hari semakin mendekati 7000 hari, tak sedikitpun kagumku berkurang.
Suatu hari, paras itu tak seindah biasanya. Matanya sembab karena paras itu enggan membagi air matanya kepada siang. Bahkan mungkin paras itu telah enggan membagi lengkungan manis kepadaku, namun aku tetap dalam kekaguman yang sama.
Tentang lengkung manis yang enggan ia bagikan kepadaku, aku memaklumi. Karena sepatutnya begitu. Sebab akulah yang telah menghapus lengkung manis dari paras itu. Aku yang menghapusnya. Hingga seusai itu, aku selalu merajut maaf agar lengkungan manis itu kembali terlukis pada paras yang begitu kukagumi.
Tiada hari tanpa rajutan maaf. Hari-hariku bahkan tak terlepas dari untaian maaf yang aku rajut di harinya. Hingga waktu pun memberikan ikhlasnya. Waktu mengembalikan lengkungan manis di paras itu. Walau tetap tidak sama, namun aku senang dapat kembali melihat lengkungan itu. Lengkungan manis yang cukup lama tidak ia berikan kepadaku. Tapi aku senang. Sangat senang.
Langit berbintang waktu itu pun menjadi saksi bahwa aku ingin sekuat mungkin dapat membersamai paras itu. Bahkan sekalipun aku dan paras itu sama-sama menuju senja, namun aku ingin membuat semilir angin yang menyejukkan teriknya siang. Tidak sekadar pelangi yang indah yang justru tercipta dari titik-titik air hujan.
Sampai aku dan paras itu menemui senja, aku ingin selalu menyaksikan paras itu. Kalaupun senja berujung pada peristiwa yang dinamakan meninggal, akan aku ucapkan sebuah kalimat pada paras itu, “Aku ingin kau meninggal lebih dulu, wahai paras indah yang begitu kukagumi.”
Bukan tak bisa kudidik lisanku. Namun jika aku yang lebih dulu meninggalkanmu, aku akan menjadi sosok yang tidak bisa memberi ampun pada diriku sendiri. Aku yang sempat menghapus lengkungan manis di parasmu, namun aku pergi lebih dulu bahkan untuk selamanya. Betapa berdosanya ketika aku tidak dapat membersamimu, tidak dapat menjaga di saat lemahmu. Bahkan tak mampu melihat akhir tetramu.”
Inilah 7.000 hari aku membersamai paras itu. Cita-cita yang aku gapai yang membuat aku merasa begitu beruntung adalah ketika paras itu meninggal lebih dulu. Sebab, dengan begitu tugasku membersamai paras itu di bumi ini telah paripurna. Tinggal aku meminta paras itu menungguku di kisah lain. Aku ingin tetap paras itu meski di kehidupan yang lain.
Hari ke-7.000, begitu banyak warna yang terlukis. Begitu banyak paragraf yang tertulis. Begitu banyak air mata yang menetes. Harapku akan ada milyaran hari di suatu saat nanti untuk aku membersamai paras itu, lagi.
Editor : Dwi Novi Antari