Oleh : Tri Amiyati
Kecerdasan matematika logis merupakan kemampuan bernalar dan menghitung, berpikir logis dan sistematis. Kemampuan ini banyak digunakan di bidang sains, ekonomi, detektif, arsitektur, dan lain-lain. Seseorang dengan kecerdasan ini memiliki kemampuan yang sangat baik dalam hal mengklasifikasikan dan mengkategorikan informasi, dapat berpikir dengan konsep yang abstrak serta kemampuan memecahkan masalah.
Cenderung menyukai angka, keteraturan, dan logis. Kecerdasan ini akan tampak dari keterampilan yang dimiliki seseorang seperti keterampilan menghitung, mengukur, menurut dengan aturan logika, kecepatan memahami pola angka, kecepatan menyelesaikan masalah dengan kemampuan berpikir, serta menyelesaikan operasi matematis.
Perbedaan kecerdasan matematika logis dengan kecerdasan yang lain begitu khas. Hal ini dapat dilihat dari ketertarikan anak pada hal-hal yang bersifat ilmiah dan berkaitan dengan matematika. Kekhususan pada kecerdasan ini adalah kepekaan yang dimiliki seseorang untuk membedakan pola logika dan numerik serta kemampuan menangani penalaran yang panjang.
Misalnya saja, anak yang di usia tiga tahun suka menghitung benda-benda yang ada di sekelilingnya. Maka, orangtua dapat menyambut baik hal ini. Lingkungan menjadi tempat belajar yang paling menyenangkan, sehingga dapat dijadikan salah satu sarana dalam menstimulasi kecerdasannya. Ketika Anda sedang bermain dengan buah hati di sebuah taman, ajak anak untuk menghitung jumlah bunga yang sejenis, menghitung kelopak bunganya, atau jumlah daun dalam satu tangkai. Atau ketika melihat kumpulan ternak di suatu padang rumput, dan masih banyak lagi hal menarik di alam sekitar yang bisa menjadi sarana belajar.
Anak yang terbiasa diasah kemampuan berpikir logisnya akan menyukai pencarian jawaban atas beberapa masalah, menyukai aktivitas yang melibatkan angka, pengukuran, dan urutan-urutan. Untuk mengetahui apakah anak memiliki minat dalam matematika adalah dengan pertanyaan yang sering muncul dari anak-anak. Apakah anak sering bertanya tentang keteraturan alam dan sebab akibat dari fenomena alam? Seberapa besar ketertarikannya dengan permainan angka? Sukakah ia mengklasifikasikan benda? Serta masih banyak lagi pertanyaan lainnya.
Adapun ciri-ciri anak dengan kecerdasan matematis logis di antaranya, suka mengamati benda yang menurutnya unik, suka mengkasifikasikan benda berdasarkan warna, ukuran, jenis dan menghitungnya. Juga sering bertanya tentang berbagai fenomena dan meminta penjelasan logis. Senang bereksplorasi untuk mengobati rasa ingin tahunya. Suka memikirkan hal yang berkaitan dengan hubungan sebab-akibat. Bahkan jika ia juga suka bermain dengan permainan yang mengasah logika.
Namun, perlu diketahui bahwa matematika logis tidaklah sama dengan pelajaran Matematika. Sehingga, menurut Septi Peni Wulandani, jangan terburu-buru menstimulus matematika logis anak dengan memberikan pelajaran berhitung sejak dini. Padahal berhitung adalah bagian kecil dari sekian banyak stimulus yang harus kita berikan ke anak untuk merangsang kecerdasan matematika logisnya. Dan harus diawali dengan berbagai macam tahapan pijakan sebelumnya.
Matematika itu adalah proses berpikir bukan proses berhitung. Di masyarakat mengartikan matematika itu adalah berhitung. Segala hal yang berkaitan dengan angka dan rumus. Padahal belajar matematika itu berarti belajar untuk berpikir logis dan matematis. Membiasakan diri untuk menyelesaikan masalah dengan mengajukan pertanyaan yang tepat, melihat fakta yang ada, dan data yang tersedia. Sehingga penyelesaian masalah tersebut adalah dengan solusi yang kreatif dan sistematis. Nah, jika terbiasa berpikir matematis, berarti seseorang itu akan mudah mengkritisi data yang diberikan.
Sebenarnya, belajar matematika dengan membuatnya relevan dengan konteks personal akan membuat seseorang lebih memiliki motivasi belajar. Persepsi orang terhadap matematika adalah dari perkenalan pertamanya. Banyak guru yang masih menggunakan konsep menghafal rumus daripada mengajarkan konsep cara berpikir.
Sebuah kisah, seorang anak perempuan memiliki pengalaman sekolah yang begitu membekas di hatinya. Saat ia duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar, ia selalu pulang paling akhir di jam terakhir pelajaran. Karena gurunya hanya akan mengizinkan siswa pulang jika siswa mampu menjawab pertaanyaan perkalian. Anak itu selalu tak dapat menjawab dengan cepat semua pertanyaan, sehingga ia pulang paling akhir.
Di hari yang lain, sang guru membuat tugas setoran hafalan perkalian di depan kelas. Sayangnya, anak perempuan itu kurang pandai menghafal. Sehingga lagi-lagi ia tak mampu menyelesaikan hafalan perkalian. Karena hal itulah yang menjadikannya dihukum untuk berdiri di luar kelas selama pelajaran berlangsung. Hal ini sungguh membuat anak itu kehilangan kepercaan diri. Hingga suatu hari ia bertemu dengan seseorang yang mengajarkan kepadanya konsep dasar berhitung. Bahwa menambah adalah proses menggabungkan, mengurangi adalah proses memisahkan, mengalikan adalah proses menambah secara berulang, dan membagi adalah proses mengurangi secara berulang.
Barangkali maksud sang guru adalah untuk mengoptimalkan waktu dan mendapatkan nilai tinggi. Namun, hal ini adalah metode yang kurang tepat. Karena, bagaimana mungkin seseorang akan mempelajari ilmu yang esensinya adalah proses berpikir sistematis dengan cara yang justru tidak menggunakan proses berpikir itu sendiri. Tetapi justru dengan hafal dan cara cepat.
Ada juga kisah menarik dan inspiratif dari seorang matematikawan Amerika Serikat pada Perang Dunia II yang bernama Abraham Wald. Kisah ini tertulis pada sebuah buku “How Not to be Wrong: The Power of mathematical Thinking”. Dia menyelesaikan masalah ‘di bagian mana armor pesawat tempur harus diperkuat’, yang menjadi acuan adalah data lubang peluru di berbagai badan dari banyak pesawat yang kembali dari perang. Saat itu, banyak orang meminta model matematis untuk pengoptimalan tambahan armor dan berat pesawat.
Kemudian Abraham Wald memberikan pernyataan bahwa,”Pesawat yang pulang ke sini tidak mempunyai lubang bekas peluru di bagian mesin. Hal itu tidak dapat dijadikan representasi penuh dari semua pesawat yang ada. Artinya, pesawat-pesawat yang terkena peluru di bagian mesin adalah pesawat-pesawat yang jatuh dan tidak kembali”. Ini adalah bagian terpenting dari pola berpikir seorang matematikawan. Hal pertama yang dilakukannya adalah melihat fakta dan mengemukakan sebuah asumsi bahwa semua pesawat yang kembali adalah random sampel dari seluruh pesawat yang ada, padahal kenyataannya tidak demikian. Begitulah pola pikir orang yang terbiasa dengan matematika, dia tidak kemudian langsung membuat model matematis sesuai yang diminta.
Inilah tujuan belajar matematika untuk mengasah kemampuan berpikir logis seseorang. Bukan semata-mata hanya berhitung dan menghasilkan sesuatu dari perhitungannya. Secara umum belajar matematika akan melatih pola pikir kita dalam menyelesaikan masalah dengan lebih logis, kritis dan juga kreatif yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebenarnya, setiap anak telah membawa potensi dan keunikannya masing-masing. Artinya, setiap anak yang dilahirkan ke dunia memiliki semua bentuk kecerdasan termasuk kecerdasan matematika logis. Kemudian, ini yang menjadi tugas orangtua dan pendidik untuk mempertahankan sifat-sifat dasar kecerdasannya hingga anak tumbuh dewasa. Hal ini sangat dipengaruhi dengan stimulasi dan lingkungan yang baik untuk mengoptimalkan fungsi otak dan kecerdasan anak.
Editor : Dwi Novi Antari