Oleh Eko Prasetyo
Betapa tercengangnya saya, ketika membaca sebuah kajian penelitian yang menyebut bahwa indeks aktivitas literasi membaca Provinsi Lampung rendah, berada pada urutan ke-30 dari 34 provinsi di Indonesia. Urutan paling akhir ditempati provinsi Papua, Papua Barat, Kalimantan Barat lalu Nusa Tenggara Timur. Sebagai provinsi yang memiliki aktivitas literasi paling tinggi yakni ditempati oleh Jakarta dan Yogyakarta. Kajian itu dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud yang dirilis tahun 2019. Kajian yang terangkum dalam buku berjudul βIndeks Aktivitas Literasi Membaca 34 Provinsiβ itu menyajikan peta kondisi literasi masyarakat secara nasional dengan berbagai dimensi dan metode telaah yang konseptual.
Sebagai pegiat literasi yang lahir dan dibesarkan di Lampung, jujur saya merasa malu sekaligus heran. Padahal jika bicara soal Lampung, capaian pembangunan sektor infrastruktur di Lampung berkembang dengan cukup signifikan. Lampung punya jalan tol trans sumatera dan bandara bertaraf internasional. Ditambah capaian lainnya di sektor pertanian, industri dan pariwisata. Capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Lampung juga terus meningkat dengan persentase angka 69,57% (BPS 2019). Seperti yang kita ketahui bahwa IPM itu sendiri terdiri dari beberapa komponen, seperti melek aksara, rata-rata lama sekolah dan harapan hidup, sebagai tolak ukur suatu daerah dikatakan maju, tertinggal atau berkembang. Lampung juga punya segudang orang-orang cerdas bin intelektual yang tersebar di 15 kabupaten/kota. Lantas mengapa indeks aktivitas literasi membacanya rendah?
Berdasarkan fakta tersebut, ada disparitas antara pembangunan infrastruktur dan pembangunan literasi di Lampung. Padahal secara fundamental, literasi bermuara pada terwujudnya sumber daya manusia yang andal dan produktif sebagai bagian penting dari proses pembangunan. Sehingga, jika sudah demikian, diperlukan upaya yang sistematis sekaligus rumusan arah kebijakan yang jelas dan tepat oleh para pemangku kebijakan. Sebenarnya geliat penyelenggaraan aktivitas literasi di Lampung, baik yang dilakukan oleh instansi pemerintah maupun kelompok komunal sudah sangat terlihat sekali. Instansi pemerintah melalui perpustakaan daerah atau perpustakaan sekolah sudah punya program rutin yang dilaksanakan. Seperti bazar buku, pameran, membaca wajib 15 menit sebelum belajar, expo dan event-event tahunan lainnya. Dari kelompok komunal juga demikian, melalui komunitas atau perseorangan geliat literasi seperti kegiatan lapak buku, perpustakaan keliling, bedah buku, donasi buku, hingga diskusi antar komunitas dilakukan sangat masif. Saya pun kerap ikut dan menjumpai secara langsung bersama teman-teman komunitas tersebut. Di Lampung, setidaknya saya telah mencatat ada beberapa nama-nama yang familiar dengan aktivitas literasinya, baik yang dilakukan secara kelompok ataupun perorangan. Seperti Eni Amaliah, Ikhsanudin, Ardiyanto, Yoga Hasdi Arianto, Agus Riyanto, Pratama, Zonizar, Muhammad Khoirul Huda, Harianto, Fajar Mesaz, Donna, Radmiadi, Tamar, Sugeng Haryono, Hamdani, Zaenal, Aminudin dan masih banyak nama lain yang tak bisa saya sebut satu persatu. Mereka aktif bergiat di bidang literasi dan bergerak masif sesuai kemampuan masing-masing.
Secara umum saya menilai bahwa aktivitas literasi yang digalakkan baik oleh instansi maupun kelompok komunal, masih bersifat parsial, sendiri-sendiri, bahkan cenderung kompetisi. Barangkali akan lebih baik jika saling berkolaborasi dan bersinergi tanpa harus mengurangi esensi maupun entitas jati diri. Apalagi Lampung sudah punya regulasi yang secara spesifik mengarah pada penguatan literasi masyarakat, yaitu Peraturan Daerah No.17 Tahun 2019 tentang Peningkatan Budaya Literasi. Tak salah jika kebijakan yang tertuang dalam perda itu dikawal dan diawasi oleh para pegiat dan masyarakat hingga pada tingkatan implementasinya. Kalau pemkab atau pemprov tidak serius dan abai dalam menangani persoalan literasi, wajib diberikan kritik -tentu saja kritik yang konstruktif- agar pembangunan di Lampung tidak melulu soal infrastruktur. Terakhir, saya berharap agar seluruh pelaku dan insan literasi di Lampung tetap optimis dan tak berhenti berikhtiar mewujudkan masyarakat Lampung yang literat. Fastabiqul Khoirot.
Editor : Tri Hanifah
πππππ πππ πππππ ππππππππ, ππππππππππππππ ππππππππ ππππππππ πππππππ. πΌππππ-πππππππ πππ πππππ π’πππ ππππππ ππππππ πππππππ πππππππ.
πππππ ππππππππ πππ π΄ππ, πππ πππ ππ-πππ ππ ππ ππππππππ ππππππ’π.
Aamiin. Terimakasih.
Semoga tulisan menjadi inspirasi dan bermanfaat.