Oleh Yoga Hasdi Ardiyantoro
Literasi pada era sekarang ini mendapat tempat yang begitu agung di seantero negeri. Bagaimana tidak, beberapa tahun lalu literasi hanya menjadi sebuah bunga rampai para penulis dan penggerak yang istiqamah di jalan tersebut. Beberapa tahun belakangan ini banyak media memberitakan, bahwa di setiap desa atau kelurahan secara legal telah didirikan perpustakaan oleh pemerintah. Gedung-gedungnya ditinggikan, buku-bukunya diberikan bantuan sedemikian rupa. Berdirilah yang disebut dengan Rumah Pintar.
Sedikit banyak pendirian Rumah Pintar ini memiliki dampak yang positif. Aparat desa pun menjadi cerdas seketika, menjadi mampu berbicara tentang literasi dengan sangat gamblang. Bahkan mereka menjadi tahu tentang fenomena minat baca masyarakat Indonesia yang ada di bawah standar dunia, data yang disampaikanpun berasal dari WHO sebuah organisasi dunia di bawah naungan PBB. Hal ini tentu dampak yang sangat baik.
Kemajuan yang membahagiakan sekali mendengar dan menyaksikan fenomena tersebut, sekelas aparat desa saja sudah paham pentingnya literasi. Hal tersebut pun menjalar pada aparat di atasnya. Para pejabat publik itu dengan fasih berbicara literasi, mereka menyampaikan dan menjelaskan program-program literasi di Rumah Pintar tersebut. Mereka menjanjikan akan membuat sebuah aturan, semua demi terwujudnya masyarakat yang melek tentang literasi. Dan tentu menaikkan rating minat baca yang memalukan menuju menggembirakan.
Namun, di balik itu semua, ada kritik yang harus disampaikan kepada pemerintah tentang program Rumah Pintar itu. Program yang tentunya tidak sedikit menelan anggaran negara. Yaitu mengapa membangun infrastruktur dengan mendirikan gedung-gedung perpustakaan di tengah-tengah masyarakat, namun tidak mempersiapkan SDM nya, apakah ini menjadi efektif ?
Sisi lain, memasuki abad-21 yang penuh dengan berbagai tantangan, termasuk tantangan dunia pendidikan. Tidak mudah memang dalam menghadapi arus besar teknologi dalam pendidikan. SDM pendidik dan generasi Z seolah menjadi dua mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Karakteristik pembelajaran abad-21 tentu berbeda dengan sebelumnya. Salah satu yang paling menonjol dalam pembelajaran abad-21 adalah akses digital yang begitu masif. Digitalisasi pada era ini sangat luar biasa percepatannya. Kreativitas yang baik sangat dituntut pada era ini. Generasi Z memiliki potensi untuk itu. Berfikir tingkat tinggi dalam setiap kegiatan menjadi sebuah keharusan. Generasi Z menginginkan kebebasan belajar, hal baru yang praktis adalah hal yang disukai mereka, tidak bisa jauh dari internet, tidak menyukai hal verbal, aktif di sosial media. Ini merupakan potensi yang harus dilihat oleh semua steakholder.
Literasi hari ini harusnya melihat dunia pendidikan, berkaca pada mereka yang berjuang di garis depan pendidikan. Digitalisasi sudah dan akan terus berkembang seperti mekarnya bunga di musim semi. Perpustakaan atau yang semacamnya harus meng-upgrade kemampuan TIK nya dalam menghadapi gencarnya arus teknologi sekarang ini. Para pejabat dari tingkat atas sampai bawah seharusnya melihat hal ini sebagai sebuah kebutuhan walau dimana-mana terjadi kesenjangan. Kesenjangan kompetensi pada dirinya harus dipahami oleh dirinya sendiri dengan cara belajar mandiri dan meningkatkan kompetensinya. Literasi hari ini dituntut berkembang sesuai dengan abad-21. Pengembangan literasi tersebut yaitu pengembangan diri para pegiatnya, melakukan publikasi ilmiah, dan karya inovatif. Sehingga literasi yang di elu-elukan itu tidak hanya sebatas pendirian perpustakaan yang menghabiskan banyak anggaran. Sialnya lagi kalau ramainya perpustakaan hanya musiman.
Editor : Tri Hanifah