Oleh : Yoga Hasdi Ariantoro
Guru adalah ujung tombak pendidikan. Dalam kisah pewayangan, guru diidentikkan sebagai Resi, Pandito, atau orang suci yang sejenis. Memiliki kemampuan di atas rata-rata manusia yang lain. Apalagi kemampuan dalam berinteraksi dengan Tuhan Yang Maha Pencipta. Secara spiritual dan sosial, kedudukan guru amat tinggi dalam kisah pewayangan. Selain menjadi pemberi nasihat bagi murid-muridnya, guru senantiasa diberi kewajiban memberikan pengetahuan-pengetahuan yang bermakna. Seringkali guru dalam kisah pewayangan sangat dimuliakan oleh raja. Petuah-petuahnya dijadikan sebuah jalan hidup. Sebagai contoh dalam kisah pewayangan, guru para Pandawa dan Kurawa, bernama Durna. Peran serta Guru Durna dalam membentuk spiritual, intelektual, emosional para muridnya sangat luar biasa. Sehingga menjadikan muridnya memiliki nilai hidup yang mereka gunakan sebagai jalan kehidupan murid-muridnya, walaupun pada akhir cerita mereka saling bunuh dan saling berseberangan paham.
Di dunia nyata, guru acapkali dipandang sebelah mata. Secara politik, guru tidak seberapa memiliki kekuatan untuk menguasai sesuatu. Tugas sebagai seorang guru membuatnya tidak sempat berpolitik. Bahkan hasil dari produk politik seperti undang-undang yang berkaitan dengan pendidikan. Guru hanya bisa menjalankan dengan sukarela.
Hal lainnya, kesenjangan guru yang ada di Indonesia cukup sangat beragam. Dari masalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan honorer misalnya. Kesejahteraan antara keduanya menjadi pembicaraan yang hangat setiap hari. Dengan tidak mengecilkan guru PNS, kisah para guru honorer yang menerima gaji di bawah upah minimum pun cukup beragam. Beban kerja dan kebutuhan yang mewarnai kehidupan menjadi suatu hal yang tidak dapat dipisahkan.
Kesejahteraan guru-guru honorer seringkali terabaikan atau tidak sengaja diabaikan oleh beberapa pihak yang berkepentingan. Banyak sekali cerita-cerita yang membuat hati miris. Gaji di bawah kecukupan, berbagai masalah yang ada di pendidikan menambah daftar panjang pemerintah terkait keberpihakannya pada guru honorer. Tidak selesainya masalah ini menjadi pertanyaan bersama, apakah negara benar-benar memikirkan guru-guru honorer? Mereka yang bergaji di bawah standar kelayakan itu sungguh berjasa. Maka, tidak heran jika pada akhirnya ada beberapa rekan guru mencari penghidupan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selain mengajar. Ada yang berjualan online, menjadi buruh, bertani, dan lain sebagainya. Otomatis tugas sebagai guru menjadi terganggu dan pasti akan berimbas ke semua lini pendidikan. Mutu pendidikan bisa dipastikan sangat terpengaruh.
Sebenarnya pemerintah sudah mulai memberikan ruang untuk guru supaya dapat meningkatkan pendapatan atau kesejahteraanya. Banyak program yang digagas pemerintah melalui beberapa program seperti program sertifikasi guru. Namun tidak semua guru mendapat kesempatan ini. Harus guru yang memiliki kualifikasi tertentu yang dapat mengikuti program tersebut. Proses mendapatkan sertifikasi tersebut juga tidak mudah. Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) menjadi sebuah tahapan yang harus dilalui setiap guru untuk mendapat gelar guru profesional yang bersetifikasi dan berhak mendapatkan insentif dari pemerintah.
Akhirnya masih banyak sekali guru honorer yang tidak berhenti berharap akan baiknya nasibnya di masa depan. Walau secara logika menjadi guru tidak akan membuat mereka kaya raya. Namun setidaknya, ada sebuah kepastian hukum yang menjamin kesejahteraan mereka.
Maka, seharusnya pemerintah berkaca pada kisah pewayangan di atas. Guru seharusnya dekat dengan pemerintahan. Pendapat guru seharusnya didengar. Untuk kemajuan bangsa. Tentu juga, pemerintah harus memberikan penghargaan yang lebih terhadap guru.
Editor : Dwi Novi Antari
Sukses Lee..tapi kritik yooo ..you are a beground do’nt waer a t-shirt.
Terimakasih atas kritiknya Bu..
Semoga tulisan menjadi inspirasi dan bermanfaat