Oleh Hendri Suryadi
Khutbah Jumat hari itu saya merasakan suasana yang berbeda, suara khotib begitu menggema terdengan jelas menggelegar seolah-olah sedang bicara lantang di depan saya. Mata dan pikiran ini serasa tertarik untuk mendengarkannya. Konten materi yang aktual, jelas, gamblang dan tidak terlalu panjang membuat mata ini tak jadi terpejam. Saya duduk, diam dan mendengarkan tepat di depan pintu masuk keluar masjid di serambi masjid sebelah utara. Dalam benak, saya mencoba memahami apa yang disampaikan khotib. Sebuah hadits yang dinukil dari kitab tentang pengobatan Islam karya Ulama, yang ada keterkaitannya dengan pandemi Covid-19.
Khotib menjelaskan menurut hadits tersebut bahwa ikhtiar yang sudah kita lakukan selama ini boleh jadi ikhtiar tersebut tidak akan merubah takdir dan ketentuan Allah. Bila kita telaah maksud hadits ini dan dikaitkan dengan kondisi saat ini, tentu sangat bertolak belakang dengan protokol kesehatan. Khotib kemudian menceritakan tentang sahabatnya seorang pekerja kantoran di Jawa yang telah menerapkan aturan ketat protokol kesehatan untuk dirinya sendiri, namun ia tetap terkena virus corona. Pendek kata, kita memakai masker atau tidak, menjaga jarak ataupun tidak, kalau Allah menakdirkan kita sakit, ya akan sakit juga.
Lantas kenapa hal itu bisa terjadi, apakah ikhtiar kita tidak ada artinya? Tentu bukan begitu kita menyikapinya. Bukankah berkah Allah dari langit dan bumi itu dilimpahkan kepada penduduk negeri-negeri yang beriman dan bertakwa kepada-Nya? Bisa jadi, musibah dan wabah yang datang di negeri kita ini sebagai teguran dan peringatan atas dosa-dosa dan maksiat yang kita lakukan. Bisa juga, ujian bagi orang-orang yang beriman atau hukuman bagi mereka yang ingkar. Boleh jadi, ikhtiar yang kita lakukan tidak kita iringi dengan doa-doa perlindungan dan ampunan kepada Allah sehingga wabah penyakit lebih dominan menyerang kita. Ikhtiar dan doa itu sebagai upaya tawakal kita kepada Allah agar dijauhkan dari musibah dan wabah.
Kemudian, yang jadi pertanyaan adalah apakah hadits ini apakah shahih atau ada hadits lain yang menghapus hadits ini? Khotib menjelaskan, tidak ada hadits lain yang menghapus hadits ini, yang ada, Syeh Al-Albani seorang peneliti hadits mengatakan hadits ini hasan, yang berarti boleh dijadikan hujjah. Meskipun begitu, lanjut khotib, hadits ini juga bertolak belakang dengan hadits lain yang menganjurkan kita untuk berikhtiar, sebagaimana kisah Umar bin Khattab tatkala harus mengambil keputusan saat di Negeri Syam sedang diserang wabah penyakit. Umar dan pasukannya disarankan untuk tidak meneruskan perjalanan mereka. Namun, salah seorang sahabat mengatakan, apakah lantas dia sebagai pemimpin lari dari takdir Allah? Umar menanggapi bahwa dirinya dan pasukannya lari dari takdir Allah yang satu (buruk) ke takdir Allah yang lain (baik). Hal ini menandakan, lanjut khotib, bahwa Umar lebih memilih kehati-hatian dan kewaspadaan. Artinya saat itu, Umar telah menerapkan protokol darurat. Sama hal dengan kita menerapkan protokol kesehatan.
Adapun doa-doa yang biasa diamalkan Rasulullah adalah doa-doa di pagi hari dan petang hari atau yang biasa disebut dzikir pagi dan petang hari. Salah satu isi doanya adalah dengan nama Allah yang bila disebut, segala sesuatu di bumi dan langit tidak akan berbahaya, Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Wallaahua’alam.
Editor : Dwi Novi Antari