Karya : Amiruddin Awalin
Anak pertama Ceuk Lilah masuk usia SMP. Kini dia membuka warung sembako di rumah. Tubuhnya mulai lelah. Bertahun-tahun ia menggendong bakul. Di tengah lelahnya, ada anaknya yang selalu membuatnya tersenyum. Juara kelas tak pernah lepas. Anaknya mengerti, ini adalah kebahagiaan besar untuk mengganti lelah orang tua.
“Anak siapa dulu?” begitu anaknya menghibur. Ceuk Lilah memang hanya lulusan sekolah dasar tapi ia begitu keras berjuang agar anaknya menjadi yang terbaik dan melebihi apa yang didapat orang tuanya. Pendidikan di rumah begitu penting. Ia sadar terkadang anaknya enggan dimarahi. Tetapi terkadang perlu untuk membuat jera dan mengerti. Hidup keras dan penuh rintangan.
Anak pertamanya duduk di kelas IX dan adiknya kelas VII, Ceuk Lilah kembali melahirkan seorang jagoan. Ini keberkahan baginya dan suami.
Si anak pertama dan kedua akhirnya bisa sekolah menengah atas di luar kampung. Dengan jerih payah yang dilakukannya selama ini. Ia berhasil menyulut semangat anaknya, hingga anaknya berada di kelas unggulan di sekolahnya. Anak ketiga masih kecil. Masih belum mengerti bagaimana ibunya berjuang.
*****
Anak pertamanya tengah berjalan di tengah hiruk pikuk dunia kampus. Anak ini selalu dibuat terpukau dan keheranan dengan tingkah dan cara ibunya membuat ia tersengat kebahagiaan. Ibunya tak pernah membuat anaknya merasa jauh dari ibunya. Tak pernah anaknya merasa berada di tempat sepi jika sudah berhadapan dengannya.
“Pulang dulu sebentar, syukuran kecil-kecilan. Mamak sudah janji. Kalau kamu bisa kuliah dan dapat beasiswa,” suara di seberang sana amat sumringah. Satu lagi kebahagiaan bagi anak ini. Ibunya bahagia. Tapi dari mana bisa syukuran? Sedang sebelum berangkat ke kota, ibunya menangis saat ia mengemasi pakaian ke dalam tas.
“Kalau mamak punya uang. Nggak usah kamu kuliah payah-payah, Ceng.”
Memang ini adalah salah satu kelebihan orangtuanya. Mungkin berhutang, atau membongkar dari tabungan mereka. Yang pasti Ceuk Lilah selalu pandai membagi hasil warungnya untuk ketiga anaknya. Ceuk Lilah nggak pernah kecolongan. Tak ada kata eman-eman kalau sudah menyangkut anaknya. Apa lagi pendidikan.
Sekarang ini Ceuk Lilah menikmati apa yang sudah dilakukannya dulu. Tubuhnya cepat lelah. Tubuhnya cepat terserang penyakit. Jika kakinya sudah mulai kedinginan, Ceuk Lilah tak akan sanggup beranjak.
*****
Pukul 2:16. Pemuda kurus ini masih saja menyelami apa yang diingatnya dari wanita yang biasa ia panggil mamak, yang saat ini jauh dari pandangan matanya. Page-nya mulai penuh. Targetnya sebentar lagi. Tapi ingatannya masih saja bergerilya. Terlalu banyak.yang ia ingat. Terlalu sedikit ruang yang dibagikan untuknya.
Anak mamak dan bapak nggak boleh cuma jadi sarjana. Pesan wanita yang menjadi salah satu alasan pemuda ini melek hingga sepertiga malam ini. Malam yang sebetulnya tak pernah juga ia rencanakan untuk bertemu. Sebelumnya ia merencanakan bertemu malam yang seperti ini tiga hari yang lalu.
“Mak, Aceng ikut lomba. Doakan, ya,” kalimat ini sering ia berikan kepada wanita yang baru ia ingat. Malam ini ia kembali mengirimnya lewat pesan singkat.
“Nggak perlu kamu minta. Mamak selalu berdoa buat kamu.”
Mata pemuda ini lama-lama sayu. Dahi nya mulai berkerut. Dagunya sebentar sudah menunduk. Berkali-kali ia terbangun dari tidur kecilnya. Layar di depan wajahnya mulai pucat. Suara musik malah makin menderu. Selamat malam. Kenangan malam adalah kenangan.