Karya : Amiruddin Awalin
Malam tak selalu sama. Tapi malam punya gaya tersendiri untuk dikenang dan mengenang malam-malam sebelum ia datang. Malam yang ini juga. Semestinya ia sudah pulang kepada tidur panjang pemuda kurus. Ia membuat mata pemuda kurus itu tak mampu menyelipkan matanya di sudut yang lain. Layar yang terkembang di depan wajahnya harus dipelototi sembari kesepuluh jari tangan mengelus lembut huruf demi huruf yang dicetak di keyboard. Matanya dipaksa melek. Otaknya diputar-putar.
Secangkir kopi yang mulai kering menjadi teman setia sejak pikirannya digelayuti oleh keinginannya mengucap terimakasih pada wanita hebat —terhebat bahkan baginya— yang sedang berdoa dalam keletihan dan susahnya. Karpet hijau tempatnya melipat lutut. Lagu milik Sigma mendegupkan jiwanya tanpa sedikitpun berusaha berhenti. Baru beberapa paragraf asing yang ia hasilkan. Otaknya masih terus diputar-putar. Sebentar ia berhenti. Tidak. Dia masih berkutat dengan otak, jari, dan mata menuju waktu yang semakin menghimpit.
Dia masih ingat betul. Otaknya terus berputar. Ini bahannya.
*****
Sekarang ini belum lewat ayam berkokok. Aki Didih ataupun Wak Dayat belum meniup microphone masjid. Tapi wanita di rumah geribik itu sudah terjaga. Mengusap matanya yang masih sayu. Tengok kanan-kiri, suaminya masih terlelap. Turun dari amben. Melangkah menuju kubangan air sumur dengan cahaya dari dian. Dengan tenaga yang masih belum maksimal tangannya meraih tali hitam yang mengikat ember kecil. Mengambil air wudu dan air untuk dipanaskan. Salat malam, nanti selesai salat, mendidih juga air di dalam ceret alumunium itu.
Suara Aki Didih memecahkan keheningan dalam kegelapan itu. Holilah segera membangunkan suaminya. Suami-istri itu kemudian berbaris rapih. Membentuk saf. Takbir-salam. Ceuk Lilah, begitu wanita ini dipanggil oleh tetangganya. Ceuk Lilah sudah saja sibuk memasukkan kayu bakar, mematangkan beras yang tadi sudah ia cuci dan beri air untuk keluarga kecilnya.
Setengah jam berikutnya kedua anak lelakinya, yang duduk di bangku SD, bangun. Cepat-cepat melakukan apa yang dilakukan kedua orangtuanya sebelum mereka bangun. Ceuk Lilah sudah berkemas. Memasukkan beberapa sembako dagangannya, juga beberapa pesanan pelanggan ke dalam bakul yang terbuat dari anyaman bambu. Sebentar lagi temannya datang, membawa pisang goreng dan kue kumbu. Yang ditunggu datang bersama yang lain. Lalu berbagi dengan Ceuk Lilah. Wanita-wanita ini kemudian menunggangi sepeda tua mereka. Dengan bakul berada di boncengan sepeda mereka. Menerobos kabut dan waktu. Suaminya pergi menjajakan kerupuk ke setiap warung sampai ke beberapa desa tetangga.
Beberapa menit yang lama, mereka sampai di Kem, begitu warga di sana menyebut sebuah dermaga kecil. Kemudian kendaraan wanita-wanita ini berganti menjadi perahu kecil. Di tengah hari yang masih berkabut, bakul mereka pindahkan ke atas perahu-perahu. Kemudian mulai menyalakan mesin. Menuju tempat yang sedikit jauh. Beberapa menit berselang, terlihat rumah-rumah panggung di tepian sungai berair payau yang masih juga menjadi tempat buaya berkeliaran. Di sana Tuhan membagi keberkahan kepada wanita-wanita ini. Perahu disandarkan, diikat pada kayu-kayu penyangga rumah panggung.
Ceuk Lilah tak berhenti di situ. Ia harus berjalan kurang lebih tiga kilometer. Di sana tempat para kaki-tangan Tuhan. Bakulnya ia gendong dengan kain jarik, bekas dulu menggendong anak-anaknya waktu masih bayi. Berat bakulnya hampir sama dengan berat badannya yang memang tak besar itu. Kakinya mulai melangkah. Menapaki tanggul pembatas antar tambak yang tak lebar. Belum lagi ini musim hujan. Jelas jalannya tak semulus biasanya. Walaupun biasanya juga tak mulus. Belum lama ia melangkah, sela-sela jarinya sudah penuh dengan tanah basah.
Wajahnya berubah ceria. Senyumnya mulai menyembul. Matanya jelas melihat istri-istri penambak sudah berada di depan gubuk mereka.
“Pesanan yang kemarin ada, Ceuk?” seorang istri bertanya. Yang lain ikut menimpali. Tangan istri-istri penambak itu menulusuri setiap sudut bakul Ceuk Ilah.
“Sayurannya apa aja, Ceuk?”
“Bawa bawang merah sama cabai, nggak hari ini?”
“Itu kumbu-nya jangan lupa, Mak!” teriak seorang petambak kepada istrinya dari dalam gubuk.
Lembaran-lembaran rupiah sudah di tangan. Tapi tak banyak. Hanya beberapa perak. Banyak yang belum bayar hutang hari ini, sudah berhutang lagi.
“Ceuk, besok, ya. Hari ini suami saya belum ngangkat impes.”
Sambil senyum Ceuk Lilah mengeluarkan buku catatan. Jelas tulisannya. Ceuk Sarah, Senin, 29 April 2004, cabai rawit, kue kumbu, dau belas ribu. Pikirannya tak lepas dari kedua anaknya. Kemarin kedua anaknya menggunakan karet sebagai pengencang kaus kaki dan penghapus pensil. Beruntung, anaknya tak pernah minta belikan buku. Anaknya sudah dapat buku waktu bagi rapot waktu akhir semester kemarin. Lalu ia segera beranjak menuju gubuk yang lain. Tak ada gubuk yang berdekatan. Dia harus berjalan melewati dua petak tambak baru bertemu dengan gubuk yang lain.
Begitu. Setiap hari. Sorenya, terkadang siang hari ia baru bertemu dengan anak-anaknya. Tak ada kata istirahat. Jika di rumah ia dan suami membantu anak-anaknya mengerjakan PR setelah mengaji.
*****
*Juara 1 Lomba Cerita Inspiratif BEM U KBM Unila 2014