Oleh Hesti Qumaira
Semenjak Covid-19 mewabah di Indonesia di situlah masyarakat Indonesia menjalani kehidupan yang berbeda. Segala aktivitas yang dijalani dibatasi dan ini memberikan pengaruh terhadap kehidupan di segala lini. Termasuk dalam hal pendidikan. Pemerintahpun mengambil kebijakan demi keberlangsungan pembelajaran, yakni dengan menerapkan pembelajaran daring atau online. Hal ini menjadi salah satu upaya untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Pembelajaran daring yang berlangsung selama enam bulan ini menjadi sorotan. Menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak. Situasi yang dihadapi bukanlah situasi yang biasa, dan tentunya hal ini berdampak pada kesiapan peserta didik untuk melaksanakan pembelajaran daring. Meskipun pemerintah sudah memperbolehkan wilayah zona hijau dan kuning untuk memberlakukan pembelajaran tatap muka, namun tidak semua wilayah melakukan hal tersebut, daring masih menjadi pilihan.
Pemberlakuan belajar dari rumah telah membawa dampak. Kontrol yang berkurang dari guru dan banyaknya waktu luang bagi siswa. Penerapan pembelajaran jarak jauh, mengharuskan guru untuk berpikir keras agar materi tersampaikan secara komprehensif. sehingga diperlukan kerjama antara guru, siswa dan orang tua. Maka sangat diperlukan sebuah prinsip pembelajaran yang tetap berorientasi pada siswa, adaptif, terpadu, kolaboratif dan umpan balik meskipun pembelajaran dilakukan secara online.
Selain itu, guru juga bertugas untuk dapat menumbuhkan kepercayaan diri bagi siswanya, sebab pembelajaran jarak jauh adalah pembelajaran yang tidak berinteraksi secara langsung (tatap muka). Kiranya menjadi hal yang penting untuk dilakukan oleh seorang guru untuk memberikan ruang kepada siswanya, sejauh mana siswa percaya pada kemampuan dirinya untuk menyelesaikan suatu tugas, mengoptimalkan potensi untuk mencapai suatu keberhasilan, memiliki keyakinan untuk menghasilkan kesuksesan. Menumbuhkan kepercayaan diri pada siswa dalam mengikuti pembelajaran online, lebih mudah jika diterapkan bagi mahasiswa dan siswa SMA, tetapi tidak mudah untuk siswa SMP dan SD, apalagi untuk siswa Taman Kanak-kanak.
Self-efficacy atau efikasi diri, dalam teori sosial kognitif Bandura, adalah hal mempengaruhi pilihan aktivitas, usaha seseorang dalam menyelesaikan tugas-tugas yang dihadapi. Dalam kegiatan belajar, self-efficacy membuat siswa memilih mengerjakan atau menghindari suatu aktivitas belajar. Berdasarkan definisi di atas, dapat dimaknai bahwa self efficacy adalah penilaian seseorang atas kemampuan dirinya dalam mengerjakan tugas yang akan tercermin dalam tindakan-tindakan untuk mencapai tujuannya. Self-efficacy merupakan masalah persepsi subyektif artinya self-efficacy tidak selalu menggambarkan kemampuan yang sebenarnya, tetapi terkait dengan keyakinan yang dimiliki individu. (Bandura, 1997: 41).
Dalam Bahasa Indonesia, juga dijelaskan bahwa self-efficacy adalah judgement seseorang atas kemampuannya untuk merencanakan dan melaksanakan tindakan yang mengarah pada pencapaian tujuan tertentu. Konsep dasar teori self-efficacy adalah keyakinan bahwa pada setiap individu mempunyai kemampuan mengontrol pikiran, perasaan, dan perilakunya. Pervin dan Jhon (1997) juga mengatakan bahwa self-efficacy merupakan suatu unsur yang bisa mengubah getaran pemikiran biasa yang sangat terbatas menjadi suatu bentuk padanan yang masuk ke dalam koridor spiritual, sehingga dapat memotivasi diri, mengenali emosi diri sendiri dan orang lain serta memiliki kemampuan dalam membina hubungan dengan orang lain, oleh Goleman disebut kecerdasan emosional.
Menurut Bandura, perbedaan self–efficacy yang dimiliki oleh setiap individu terletak pada tiga kognisi atau dimensi yaitu : Magnitude atau tingkat kesulitan tugas. Berhubungan dengan kesulitan tugas di mana individu akan memilih tugas berdasarkan tingkat kesulitannya. Generality atau generalitas, berkaitan erat dengan luas bidang tingkah laku, di mana individu merasa yakin akan kemampuannya berdasarkan pengalaman sebelumnya. Strength atau kekuatan, berhubungan dengan keyakinan seseorang tentang sejauh mana ia yakin akan dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.
Self-efficacy tidak berkaitan dengan kecakapan yang dimiliki seseorang tetapi berkaitan dengan keyakinan mengenai hal yang dapat dilakukan dengan kecakapan yang ia miliki. Penting kiranya bagi seorang guru untuk menumbuhkan self-efficacy kepada siswanya, dengan tujuan agar siswa memiliki keyakinan belajar mandiri dengan bermodalkan kecakapan yang dimiliki siswa tersebut.
Menurut Ghufran dan Risnawita (2012) untuk menumbuhkan self-efficacy tersebut ada beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain : Pertama, Pengalaman keberhasilan (mastery experience). Merupakan sumber informasi efektif dalam mempengaruhi efikasi diri pada diri peserta didik, karena didasarkan pada pengalaman-pengalaman, baik berupa keberhasilan dan kegagalan pribadi secara nyata. Efikasi dapat ditingkatkan melalui pengalaman keberhasilan secara nyata, maka dengan demikian self–efficacy pada diri akan kuat dan berkembang, karena pada umumnya pengaruh negatif berpikir gagal akan berkurang sehingga motivasi untuk berhasil melakukan suatu tugas akan semakin meningkat.
Kedua, Pengalaman orang lain atau vicarious experience. Keberhasilan orang lain dengan kemampuan yang setara atau sebanding dalam mengerjakan suatu tugas dapat dijadikan pedoman untuk meningkatkan efikasi diri guna melaksanakan tugas yang sama. Begitu pula sebaliknya, kegagalan yang terjadi pada orang lain akan menurunkan penilaian diri terhadap kemampuannya.
Ketiga, Persuasi verbal atau verbal persuasion. Diharapakan agar individu diarahkan dengan saran, nasihat dan bimbingan agar ia dapat meningkatkan keyakinan terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk mencapai suatu tujuan. Keempat, Kondisi fisiologis atau physiological state. Informasi yang diterima akan dijadikan dasar untuk menilai kemampuannya. Ketegangan fisik atau kondisi fisik yang tidak stabil akan menumbuhkan pikiran sesorang untuk menilai dirinya tidak akan sanggup melakukan suatu pekerjaan, Ia memandang ketidakmampuan dirinya dan tentu ini akan melemahkan prestasi kerja seseorang tersebut. Seseorang akan menghindari tugas atau situasi yang diyakini di luar kemampuannya, dan sebaliknya seseorang akan mengerjakan aktifitas yang diyakininya bahwa ia mampu untuk mengatasi segala tantangan atau kesukaran yang ada.
Keempat langkah yang disampaikan tersebut dapat diterapkan dalam menumbuhkan self–efficacy siswa. Guru dapat melakukan langkah tersebut dengan menyisipkannya melalui strategi belajar yang dipilih. Belajar melalui daring bukan berarti guru kehabisan akal dalam menyampaikan materi dan menumbuhkan self–efficacy tersebut. Siswa yang memiliki self–efficacy tinggi memiliki suasana hati yang lebih baik yang ditunjukkan dengan rendahnya kecemasan atau depresi ketika mengerjakan tugas daripada seorang siswa yang efikasi dirinya rendah dan tentunya semua itu akan berdampak pada prestasi belajar siswa.
Editor : Tri Hanifah
Mantap Saudariku satu ni