Oleh : Andi Pebriudin
Tabuh bedug mengiringi lantunan takbir, tahmid, dan tahlil yang menyemarakkan malam Idul Fitri. Namaku Toha. Lima belas tahun lalu aku terlahir dan dibesarkan dari keluarga yang berada. Apapun yang kumau selalu dipenuhi.
Malam ini adalah malam ke-15 kalinya aku menjumpai Idul Fitri. Idul fitri yang kerap disapa orang-orang pada umumnya dengan sebutan lebaran. Di setiap malam lebaran, di kampung selalu diadakan pawai dan festival keluarga bahagia, tepat di lapangan alun-alun kampung.
Setiap tahunnya, festival keluarga bahagia diikuti 100 tim. Festival ini selalu dibanjiri peserta karena selain semarak lebaran terdapat hadiah menarik. Tahun kemarin keluargaku yang menjadi juaranya dan tahun ini aku ingin mempertahankan juara tersebut. Festival yang dimainkan dengan anggota tim berisikan tiga orang terdiri dari ayah, ibu dan satu anak. Peserta diharuskan terus mengumandangkan kalimat takbiran hingga lomba selesai. Sementara, alat dan bahan sudah disediakan oleh panitia untuk setiap peserta berupa kompor gas, daun kelapa yang muda, panci, beras 5 ons, air satu galon, dan, bumbu masakan. Festival pun berlangsung tiga babak yaitu babak penyisihan, semifinal, dan final.
Pertama, babak penyisihan peserta harus menyelesaikan permainan beregu berkaitan dengan kerja sama yaitu membuat ketupat. Siapa yang cepat membuat 10 ketupat dalam waktu 10 menit disertai kumandang takbir dia akan melaju ke babak berikutnya. Karena peserta berjumlah 100 tim maka panitia membagi dalam empat kelompok. Dari setiap bagian di ambil tiga pemenang yang akan ditandingkan di babak berikutnya.
Kedua, babak semifinal peserta diberikan tugas memasak ketupat berjumlah 10 ketupat dalam waktu 45 menit. Peserta yang keluar jadi pemenang ialah yang terdahulu dan matang dalam menyajikan ketupat hasil masakannya di meja juri. Babak ini akan diambil empat terbaik yang akan melaju ke babak final.
Ketiga, babak final sebagai penentu siapa yang akan keluar menjadi juara yaitu lomba menyajikan ketupat dan lezat kepada tim juri. Dalam babak final ini peserta diberikan tugas menyajikan olahan ketupat dengan bahan masakan yang telah ditentukan oleh panitia dalam waktu 30 menit. Ketentuan penilaian 40% dari pergaulan dengan tetangga baik atau tidak selama 1 tahun dan 60% dari hasil lomba malam itu.
Aku dan orangtuaku sangat bersemangat dalam berlomba begitu juga peserta yang lain. Pada babak penyisihan kami berhasil membuat ketupat 10 buah dalam waktu 8 menit 30 detik. Kami menjadi terbaik kedua dalam kelompok A. Niat kami memang selalu diasah. Setiap pekannya kami secara bersama-sama membuat ketupat. Ibu, ayah, dan aku bisa dalam membuat ketupat.
Kami melenggang ke babak semifinal, tantangan berikutnya adalah mengisi beras dan memasak ketupat. Ayahku memasak air sedangkan aku dan ibuku mengisi beras dalam ketupat. Kami berbagi tugas karena waktu yang disediakan oleh panitia hanya 30 menit. Setelah air mendidih kira-kira 10 menit kami dipanaskan dengan putaran maksimal kompor gas. Resep pengisian beras dalam ketupat pun ada tentunya, jika ingin ketupat tekstur lembek maka isi dengan perbandingannya 2:5 dan jika mau tekstur keras maka isi 1:2.
Kami secara bergantian memasukkan ketupat ke dalam panci dengan air setengah panci besar. Ketika dimasukkan dalam panci usahakan semua ketupat tenggelam dalam air. Sekitar 30 menit ketupat matang dan kami dengan segera mengangkat dan menyajikan kepada tim juri. Pada saat kami menghidangkan ke meja juri sudah 3 peserta lainnya rupanya yang sudah mendahului kami. Ucapku dalam hati, “untung masih yang keempat.”
Kami pun berhasil melaju ke babak final dengan diberi tugas menyajikan hasil olahan ketupat kepada tim juri dengan rasa yang enak dan lezat dalam waktu 30 menit. Setelah diberikan bahan oleh panitia kami saling berbisik. Ibu mengusulkan membuat opor ketupat. Sementara, ayahku mengusulkan rendang ketupat, dan aku karena suka sate, maka kuusulkan sate ketupat. Seketika itu kami bermufakat karena Ibu yang sering memasak dan juga bahan yang disediakan mendekati opor. Maka kami bersepakat untuk membuat opor ketupat.
Tugas pun dibagi aku diperintahkan untuk mengupas bawang merah dan putih, membersihkan cabai, mengupas mentimun, dan mencuci tomat. Ayahku bertugas mengupas ketupat menyediakan piring, dan menyediakan air membuat opor. Ibuku si ratu masak otomatis meracik bumbu dan mengatur tata rupa sajian opor ketupat.
Waktu sudah berlalu selama 15 menit. Opor belum siap tersaji, baru yang timbul di dalam panci gelembung-gelembung kecil. Beberapa kali aku mengusap mukaku karena aku khawatir masakan kami tidak matang pada waktunya. Ibuku dengan tenangnya membelah kecemasan dengan mencicipi rasa masakan dengan tangan berpengalamanya.
“Sudah siap,” sergap Ibu. Ayah pun dengan sigap mengangkat kuah opor itu dengan cekatan. Ayah membuat konsep penyajian opor dengan bentuk bedug takbiran.
Riuh teriakan suara takbiran mengitari suasana lomba. Dalam keadaan memasak kami pun tak henti-hentinya mengumandangkan kalimat takbir. Sampai waktu tersisa tinggal 5 menit. Dengan trengginas kami pun berhasil menyajikan opor ketupat bedug takbiran.
Pukul 22.15 WIB tepat pengumuman lomba pun diumumkan oleh tim juri. Kami optimistis akan menang di festival kali ini. Juri berusaha mengumumkan. Meski optimis menang, semua keputusan yang telah dilakukan aku serahkan kepada Allah. Dagdigdug, begitu bunyi detak jantungku saat menunggu juri yang berusaha mengumumkan dengan ekspresi yang menegangkan.
“Juaranya adalah…” kata Juri yang menghentikan pengumumannya.
Selang 30 detik kemudian, “Keluarga Toha,” pekik dewan Juri, yang juga membuatku senang. Ibu dan ayah juga mengekspresikan kemenangannya dengan memelukku.
Namun, itu adalah cerita kenangan masih yang tak terlupakan olehku. Tiga bulan lalu, kedua orang tuaku telah pergi meninggalkan dunia ini. Kecelakaan pesawat saat mengemban tugas dinasnya menuju Malaysia. Tahun ini aku hanya dapat menonton dengan bibir bertakbir, tahmid, dan tahlil disertai deraian air mata karena mengenang almarhumah kedua orang tuaku. Kini aku tinggal bersama dengan pamanku yang tak memiliki anak.
Meski sekedar menjadi penonton, pada festival tahun ini aku harus ikhlas tidak bisa mengikuti festival tahunan itu lagi dikampung. Gelar juara pun telah kurelakan menjadi miliki orang lain.
Editor : Dwi Novi Antari