Oleh : Tri Hanifah
Jika ada guru yang izin tidak masuk sekolah, lalu siswa berteriak “Horee!” Ini harus menjadi pertanyaan, mengapa siswa nampak sangat bahagia jika guru tidak masuk kelas? Bel berbunyi tanda habis jam tatap muka, atau bel istirahat atau bel pulang adalah irama terindah di telinga para siswa. Ekspresi kebahagiaan siswa bagaikan terbebas dari belenggu “penjara”. Namun ini sangat kerap terjadi di dunia pendidikan yang disebut dengan sekolah. Mengapa demikian?
Jika ini masih terjadi, maka pendidik harus mengevaluasi, bagaimana metode belajar yang selama ini telah digunakannya. Apakah membosankan, apakah tidak kreatif, tidak menyenangkan dan kurang melibatkan siswa dalam proses belajar mengajar.
Nah, berangkat dari sini, maka penulis akan mengajak untuk mengenal sebuah model pendidikan yang melibatkan peserta didik secara penuh dalam proses pembelajaran. Yaitu model Pendidikan Partisipatif.
Partisipatif dalam dunia kependidikan adalah pendidikan yang melibatkan semua elemen pendidikan, yaitu pendidik, peserta didik, dan orangtua. Partisipasi di sini adalah suatu konsep pembelajaran dengan menjadikan anak atau peserta didik sebagai konsentrasi pembelajaran. Pendidikan partisipasi mengutamakan adanya ruang partisipasi oleh peserta didik pada khususnya, untuk diberikan panggung belajar lebih luas.
Lingkungan dan interaksi sosial baik dengan orangtua (keluarga) maupun masyarakat menjadi laboratorium peserta didik untuk memperoleh ‘pengalaman’, dalam membentuk karakter dan budaya serta perilaku anak didik. Sehingga, sekolah merupakan proses untuk mengeksplorasi pengalaman, bakat dan minat siswa serta kemampuan dan kecerdasan yang telah dimiliki sang anak.
Muis Sad Iman, dalam Pendidikan Partisipatif, bahwa model pendidikan seperti ini bertumpu pada nilai-nilai demokrasi, pluralisme, dan kemerdekaan manusia (peserta didik), sehingga fungsi guru adalah sebagai fasilitator yang menyediakan kelasnya secara penuh bagi peserta didik untuk berekspresi, berdialog, dan berdiskusi.
Ini dapat dielaborasikan bahwa, pendidikan model partisipatif tidak menganggap bahwa anak hanya bagaikan gelas kosong yang harus diisi, dan dituangkan air. Namun, anak adalah kertas putih yang telah membawa titik-titik gambaran yang belum begitu nampak jelas, dan guru (pendidik) harus mampu menimbulkan titik-titik gambaran sehingga menjadi nampak jelas. Kejelasan ini berkat dorongan, arahan, fasilitasi, memberikan kebebasan berekspresi dari guru agar siswa tersebut mampu menjelma menjadi dirinya sendiri dan menemukan jati dirinya.
Metode pembelajaran dalam pendidikan partisipatif dapat sangat beragam. Guru harus jeli dalam menentukan metode yang dipilih dengan memperhatikan karakteristik siswa, kemampuan dan kecenderungan siswa dalam belajar. Menciptakan nuansa kegembiraan dalam belajar, kesesuaian metode dengan materi dan tingkatan satuan pendidikan, kemudahan serta adaptif dengan kondisi lingkungan dan peserta didiknya.
John Dewey dengan aliran progresivisme-nya, merupakan aliran filsafat pendidikan yang dapat digunakan sebagai basis epistomologis bagi pengembangan pendidikan partisipatif. Pandangan progresivisme tentang konsep belajar, bahwa anak didik adalah makhluk yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain, yaitu akal dan kecerdasan. Akal dan kecerdasan inilah yang membuat anak didik mampu memecahkan problema-problema. Sehingga dengan demikian tugas utama dalam lapangan pendidikan adalah meningkatkan dan memfungsikan akal dan kecerdasan secara optimal.
Faham ini mengasumsikan bahwa manusia mampu mengatasi berbagai pemasalahan yang mengancam manusia itu sendiri. Sejalan dengan itu progresivisme menolak corak pendidikan yang otoriter. Pendidikan yang otoriter diasumsikan bisa menghambat diri dalam mencapai tujuan-tujuan yang baik, karena kurang menghargai kemampuan yang dimiliki manusia. Padahal dalam pendidikan ibarat motor penggerak untuk mencapai kemajuan atau “progres”. (Imam Barnadib).
Konsep pendidikan partisipatif dalam progresivisme John Dewey berpijak pada asas-asas progresivitas. Di mana asas progresivitas berprinsip pada sikap optimistis dalam memandang kemajuan peserta didik dalam proses pendidikannya. Disinilah esensi dari sebuah pendidikan, yaitu adanya keterlibatan secara aktif bagi manusia (peserta didik) untuk menemukan kemampunnya secara pribadi dalam mengatasi permasalahannya, sebagai proses dari pendidikan partisipatif yang telah diterapkan. Pendidikan yang memanusiakan manusia, dan menjadikan anak didik adalah orang dewasa yang dihargai kemampuannya.
Editor : Dwi Novi Antari
LUAR BIASA!… sangat mencerahkan… Mudah2an kita bisa menjadi guru HIJRAH… Jazakillah mbak Hanifah, ilmunya…
Terima kasih Ibu Handayani, Insha Allah. Semoga bermanfaat 😉
Dapat ilmu baruu,ditunggu next karyanya ibuu🥰🎓
Terimakasih telah membaca.
Semoga tulisan menjadi inspirasi dan bermanfaat.
Ditunggu tulisan selanjutnya yabk???
Siap Bu, Insha Allah. Terimakasih 😉