Oleh : Eni Maryam
Salah satu hal yang membuat lega ibu-ibu adalah berkurangnya pemakaian diapers (popok sekali pakai) pada anak. Berkurangnya penggunaan diapers menjadi kebahagiaan bagi para bunda karena bisa menandakan anak semakin dewasa dan tentu dompet jadi lebih hemat, karena biaya diapers yang tidak murah. Awalnya berdasarkan pengamatan dan literatur yang saya peroleh, mengajarkan anak buang air di toilet itu mudah. Ternyata praktiknya tidak seindah angan-angan, bahkan bisa membuat frustasi.
Anak perempuan saya mulai melakukan toilet training saat usia 2 tahun. Resiko awal membiasakan anak tanpa diapers biasanya akan pup dan pipis di popok sembarang tempat, di mana saja yang dia inginkan. Kurang lebih satu bulan anak saya melakukan hal itu, pup dan pipis saat di kasur, di ruang tamu, dapur dan sembarang tempat lainnya. Sayangnya, saya sebagai ibu kurang sabar karena bekerja sambil mengurus anak ditambah harus membersihkan berkali-kali kotoran tersebut selama masa adaptasi. Meski suami mau ikut terlibat membantu langsung, mulai dari membersihkan tempat yang terkena kotoran, menghantar ke kamar mandi sampai mencuci celana tetap saja hal itu menghabiskan energi dan pikiran.
Untuk anak laki-laki biasanya frekuensi buang air akan jauh lebih intensif daripada anak perempuan. Sampai usia 3 tahun anak saya tetap menggunakan diapers. Saya mencoba lagi toilet training beberapa kali tapi tetap belum berhasil. Akhirnya atas saran beberapa sahabat mencoba menggunakan potty training (kursi buang air) yang bisa di bawa kemana-mana dan ternyata berhasil. Ya, meskipun cuma berhasil beberapa waktu aja selebihnya anak tidak mau lagi. Karena rasa penasaran, saya bertanya ke beberapa kolega tentang toilet training, ternyata ada yang usia 1,5 tahun sudah lepas diapers namun ada juga yang usia 5 tahun baru lepas diapers. Ternyata, tidak semua anak siap dengan toilet training tergantung perkembangan biologi, psikologi dan ketekunan orangtua.
Waktu dan Pendekatan yang Tepat Menerapkan Toilet Training
Umumnya, anak siap menjalani toilet training pada saat berusia 1 tahun 6 bulan, tapi kebanyakan anak siap memulainya pada saat berusia 1 tahun 10 bulan hingga 2 tahun 6 bulan. Adapun anak sudah bisa memakai toilet dengan sempurna sekitar usia 3 tahun. Nyatanya setiap anak kondisinya berbeda-beda. Seperti yang saya ceritakan di awal tentang anak saya yang sudah diperkenalkan sejak usia 2 tahun tapi maju-mundur bahkan macet berbulan-bulan. Saat ini, anak saya berusia 3 tahun 5 bulan dan masih dalam tahap proses toilet training. Dari pagi sampai sore sudah bisa lepas diapers dan pipis di kamar mandi. Namun, kalau malam hari belum sepenuhnya bisa. Sempat sedikit stres karena anak-anak lain seusianya sudah bisa lepas diapers dengan mudah.
Toilet training bisa berhasil jika diterapkan pada waktu yang tepat. Terlalu dini menerapkannya besar kemungkinan si anak belum mau lepas diapers sedangkan terlalu lambat juga akan membuat anak kesulitan melepas diapers. Jadi harus jeli melihat tanda si kecil sudah siap atau belum menerapkan toilet training. Secara umum ciri-ciri anak yang sudah siap seperti berikut: Pertama, anak terlihat tidak nyaman dengan kondisi popok yang basah. Kedua, bisa berjalan sendiri ke kamar mandi dan membuka celana sendiri. Ketiga, jadwal buang air besar anak bisa diprediksi. Keempat, anak dapat menerima perintah sederhana. Keenam, anak bisa memberikan tanda lewat ekspresi, postur, ataupun kata-kata ketika dia ingin buang air kecil atau besar.
Selain faktor-faktor yang sudah disebutkan di atas, ada faktor medis yang membuat toilet training tidak berjalan dengan lancar, contohnya seperti enuresis. Dalam ilmu kedokteran enuresis atau bahasa awamnya mengompol, ini merupakan ketidakmampuan dalam mengendalikan keluarnya urine pada seseorang termasuk anak. Enuresis dapat terjadi pada anak dan memerlukan penanganan medis, biasanya ditandai dengan anak masih mengompol setelah usia 7 tahun, mengompol diikuti rasa sakit pada berkemih, rasa haus yang berlebihan, urine berwarna merah muda atau merah, tinja menjadi keras, anak kembali mengompol setelah beberapa bulan sudah tidak mengompol. Jadi jangan ragu-ragu datang ke dokter jika menemukan gejala-gejala tersebut.
Pada usia 5 tahun jika ada anak masih males, ogah-ogahan bahkan tidak mau buang air di toilet bukan berarti orangtua tidak berhasil mendidik dan melatih anak. Setiap anak punya kesiapan dan keunikannya masing-masing, termasuk toilet training ini. Ada yang siap saat usianya 2,5 tahun bahkan ada yang usianya 4 tahun baru bisa lepas diapers. Selama itu masih wajar, jangan khawatir kecuali jika di atas usia 7 tahun masih belum siap, maka perlu dikonsultasikan dengan dokter anak atau ahli lainnya.
Pengalaman saya selama memperkenalkan potty training sempat berhasil selama seminggu namun setelah itu anak saya tidak mau lagi sampai berbulan-bulan. Hingga suatu hari kulitnya sudah tidak nyaman lagi dengan diapers, di situ saya mencoba dialog dengan anak secara perlahan bahwa memakai diapers terlalu lama akan membuat kulitnya terluka. Akhirnya dia mau lagi pipis di kamar mandi tanpa potty training. Setelah diselidiki ternyata potty training bagi anak saya membuat tidak bisa mengeluarkan urine secara maksimal. Di lain waktu ketika anak diajarkan berjongkok langsung di kamar mandi pun ternyata ada masalah lain lagi, anak saya tidak mau pipis karena jijik dengan urine-nya sendiri. Dari situ kita tidak bisa langsung menilai anak malas ke toilet, tapi bisa kita identifikasi apa saja penyebabnya.
Orangtua, baik ayah maupun ibu memang harus berkolaborasi untuk mendampingi si kecil. Kuncinya jangan dipaksakan dengan membentak, memberi hukuman apalagi memukul, itu semua hanya akan membuat anak tambah tertekan dan trauma sehingga semakin sulit untuk memulai kembali. Biarkan saja dulu sementara waktu sampai dia benar-benar siap. Di saat-saat break orangtua perlu memperbanyak sabar, memohon kepada Allah dan tentu juga memperbanyak membaca buku tentang parenting maupun seputar pendidikan anak usia dini, Googling atau konsultasi langsung dengan para ahli dan orang tua yang berhasil menerapkan toilet training.
Editor : Dwi Novi Antari