Oleh Hasbullah
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sudah semestinya memberikan kepastian terhadap alih kepemimpinan dan kekuasaan (transfer of laeder and power) secara konsititusional tentunya. Sehingga melahirkan pemimpin yang legitimatif yaitu pemimpinan yang berjalanan melaksanakan kedaulatan rakyat (soverignty) lalu demokrasi bisa berjalan secara baik dan benar. Selain itu Pilkada merupakan wahana formal untuk membentuk pemerintahan yang menghadirkan keteduhan, kenyamanan, kepuasan rakyat terhadap aturan pemerintah serta pemerintah yang mampu mengurai sekat-sekat kekuasaan dengan rakyatnya.
Perlu diketahui, Pilkada 2020 akan digelar di 270 daerah dengan berbagai situasi, kondisi dan kesadaran masyarakat yang berbeda-beda yang sudah pasti akan melahirkan beragam macam persoalan dan permasalahan. Dasar hukum pelaksanaan Pilkada serentak berdasarkan pada Undang-undang 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, UU No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota, yang merupakan revisi atas UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2014.
Pilkada serentak merupakan reformasi sistem Pilkada yang sebelumnya dilaksanakan sesuai dengan berakhirnya masa jabatan kepala daerah. Pelaksanaan Pilkada serentak merupakan usaha untuk mengakhiri ritual politik yang berlangsung sepanjang tahun. Namun, yang lebih penting lagi, Pilkada serentak diharapkan menjadi solusi atas ongkos demokrasi berbiaya tinggi dari APBN dan APBD.
Pilkada serentak merupakan model pemilihan kepala daerah yang menitikberatkan pada proses Pilkada secara serentak di tiap-tiap daerah secara periodik. Konsep ini diperkenalkan pada tahun 2015 melalui UU 8 tahun 2015, dengan tujuan penyelenggaraan Pilkada yang efektif dan efisien, serta berorientasi pada kerja sama yang baik antar partai politik di daerah sehingga menghasilkan soliditas politik daerah untuk demokrasi yang berkeadaban.
Maka, dari sinilah Pilkada diharapkan dapat melahirkan pemimpin yang berkualitas baik secara keilmuan terutama secara kepemimpinan, yaitu pemimpin yang berketuhanan, berkemanusiaan, mendahulukan persatuan, pemimpin yang merakyat serta pemimpin yang mampu melahirkan keadilan baik bagi dirinya dan bagi masyarakat.
Seusai Pilkada sudah semestinya tidak meninggalkan persoalan setelahnya. Sebagai pengingat saja, pada tahun 2018 sebanyak 171 daerah menggelar Pilkada serentak, dari jumlah tersebut sebanyak 72 perkara diajukan dan ditangani di Mahkamah Konstitusi (MK). Dari 72 perkara, sebanyak 67 perkara merupakan perselisihan hasil pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, sementara tujuh perkara merupakan perselisihan hasil pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. Artinya di sini masih banyak kerunyaman Pilkada, yang sudah seharusnya Pilkada serentak tahun ini mengambil pelajaran dari Pilkada sebelumnya.
Bukan lagi cerita bohong, jika pelaksanaan pemilihan kepala daerah menimbulkan permasalahan hukum bukan saja dalam proses bahkan pada pelaksanaan dan hasil pun sering menimbulkan persoalan hukum. Ha ini menjadi terlihat bahwa seolah-olah Pilkada menjadi syarat legitimasi kepemimpinan dan dalam pandangan lain bahwa suara pemilih terkesan sia-sia sebab dipermainkan oleh pemimpin yang tidak siap menerima kekalahan atau mendapatkan kemenangan dengan cara kecurangan.
Dengan kapasitas dan kredibilitas penyelenggara Pilkada baik itu Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang juga dipilih dengan proses yang pajang dan dapat dipertanggungjawabkan. Sudah semestinya Pilkada bukan hanya sebagai tempat legitimasi kekuasaan saja, tetapi harusnya lebih dari itu Pilkada mempertontonkan demokrasi yang menyehatkan, mencerahkan serta mencerdaskan masyarakat dan pemimpin yang dihasilkan dari proses Pilkada tersebut.
Perlu diingat, sejuk dan tidaknya arah dan suasana mata angin Pilkada juga sangat dipengaruhi oleh sikap, perilaku serta kebijakan KPU dan Bawaslu. Sebab di tangan mereka peraturan-peraturan Pilkada dijalankan atau tidak. Dengan jelas bahwa kontestan Pilkada sangat membutuhkan anggota KPU dan Bawaslu. Mereka merupakan penyelenggara yang mengetahui data pemilih, memiliki jaringan penyelenggaraan sampai tingkat tempat pemungutan suara (TPS) dan ini bisa menjadi alat strategis untuk mengarahkan konstituen.
Pilkada serentak tahun 2020, dari beberapa pengamat melihat sebagai hal yang dipaksakan karena dalam keadaan ujian global dunia yaitu pandemi covid-19. Terlepas dari itu, bahwa legitimasi Pilkada serentak tahun 2020 ini yang digelar di 270 daerah seyogyanya berjalan untuk memantapkan sistem hukum yang bersumber kepada Pancasila dan UUD 1945. Ini artinya bahwa Pilkada tidak bisa berdiri sendiri harus ada sinkronisasi dan harmonisasi dengan semua perangkat agar legitimasi Pilkada diaku secara hukum dan diakui oleh rakyat apapun hasilnya.
Selain itu legitimasi Pilkada juga memberikan jaminan kepastian hukum, serta menjamin ketertiban dan keadilan dalam pelaksanaan Pilkada. Legitimasi Pilkada juga menjamin para kontestan untuk menyampaikan visi-misi dengan baik dan benar serta meminimalisir kesalahan dan konflik-konflik kepentingan dan tetap mengedepankan protokol kesehatan yang telah ditentukan. Oleh sebab itu, langkah strategis yang harus ditempuh dalam penguatan legitimasi Pilkada adalah memperkokoh sumber daya manusia, menguatkan kelembagaan, menjalankan legislasi, kelengkapan infrastruktur dan menghidupkan budaya hukum.
Editor : Dwi Novi Antari