Oleh : Asri Kusumaningrum
Rasa kehilangan merupakan bagian dari rasa memiliki, karena adanya keterikatan atas sesuatu atau seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mengalami rasa kehilangan, misalnya kehilangan benda, kehilangan orang yang berarti, kehilangan harga diri, kehilangan kesempatan yang tidak terulang, dan sebagainya.
Setiap orang pernah mengalami kehilangan, terlepas dari perbedaan hal yang hilang, reaksi atas kehilangan, cara menyikapi, mengatasi, mengartikan, dan dampak atas kehilangan tersebut. Kehilangan sebuah benda yang sama, tapi dialami oleh orang yang berbeda, maka akan memberikan dampak yang berbeda, begitu pun kehilangan seseorang yang berarti. Kehilangan sesuatu atau seseorang bisa menyebabkan kehilangan harapan dan conscience (kesadaran). Akibatnya kehilangan bisa mengubah perilaku dan persepsi seseorang terhadap hidup yang dijalani.
Ada beberapa kasus yang akan penulis ceritakan di sini. Di mana “kehilangan” akan mempengaruhi perilaku seseorang, sebagai berikut :
Cerita si B anak bungsu, yang ditinggal ibunya pergi selama-lamanya saat umurnya baru 8 tahun, lingkungan keluarga tidak memberikan support psikis ketika itu, ditambah ayahnya menikah lagi dan tidak tinggal bersama B. Kini umurnya 24 tahun, namun perilakunya masih seperti anak-anak. Sehari-hari mengurung diri di dalam kamar, tantrum ketika menginginkankan sesuatu. Tantrum adalah ledakan emosi yang muncul saat keinginan tidak terpenuhi, umumnya ditemukan pada anak-anak, namun jika terjadi pada orang dewasa, bisa menjadi tanda adanya gangguan mental tertentu.
Kehilangan lain dialami oleh R, anak pertama dari pasangan orangtua yang berpendidikan tinggi. Rasanya dengan pendidikan ibunya yang seorang doktor dengan profesi pendidik dan ayahnya lulusan S2, meskinya cukup mumpuni untuk memberikan pola asuh yang sesuai. Namun bagi si R, tetap merasa kehilangan. Saat ia kecil, ayahnya tidak tinggal bersamanya karena alasan pekerjaan. Setiap 10 hari atau 2 minggu sekali bertemu dalam beberapa hari, lalu berpisah kembali. Si R tidak benar-benar kehilangan ayah tetapi juga tidak merasakan kehadirannya dan sumbangsih dalam pembentukan perilaku R. Lalu ketika remaja, R mulai terlihat berbeda dengan teman sebayanya, ia seperti punya kehidupannya sendiri. Sebagai anak tertua seharusnya ia menjadi contoh bagi adiknya, namun ia masih mempermasalahkan hal-hal kecil. R enggan berbagi sekedar makanan bersama adik-adiknya, bahkan ia membenci adiknya dan ingin melakukan kekerasan terhadap adiknya.
Lain lagi cerita W, anak perempuan satu-satunya ini hidup tanpa kekurangan dari kecil, ayahnya yang pejabat sangat menyayanginya, apapun yang W minta dituruti. Sampai usianya 20 tahun hidupnya terlihat normal saja. Ketika merantau karena kuliah, semua menjadi berubah. Seperti orang kebanyakan, ketika kuliah W berkenalan dengan seorang laki-laki dan sangat menyukainya, namun tidak berjalan baik dan W diputuskan hubungan oleh laki-laki tersebut. Bagi sebagian orang mungkin masalah ini terlihat sepele, namun bagi seseorang yang dalam hidupnya selalu mendapatkan apapun sesuai keinginannya, maka kehilangan adalah hal yang sangat menyakitkan. Sangat terpukul, tidak tahu apa yang harus dilakukan, bahkan setelah itu dan pada akhirnya perilaku W mengharuskannya dirawat di rumah sakit jiwa.
Cerita di atas hanya segelintir contoh beragam kehilangan yang dialami oleh anak-anak bangsa ini. Lalu bagaimana “kehilangan” pada era covid-19? Dalam kondisi unpredictable, kesulitan ekonomi, belajar dan kuliah luring/daring lalu tertimpa musibah kehilangan orang yang sangat berarti. Sebagai teman, keluarga, atau orang yang mengetahui dampak kehilangan, baiknya kita melibatkan diri untuk memberi edukasi sebagai langkah awal menjaga kesehatan jiwa.
Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial (DKJPS)
Istilah Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial (DKJPS) digunakan dalam panduan Inter Agency Standing Committee (IASC) dalam situasi kedaruratan, yang berarti dukungan jenis apa pun dari luar atau lokal yang bertujuan melindungi atau meningkatkan kesejahteraan psikologis dan/atau mencegah atau menangani kondisi kesehatan jiwa.
Perlindungan bagi kelompok rentan seperti anak-anak ketika mengalami kehilangan, dukungan dari orang sekitar dengan prinsip-prinsip psikososial utama seperti harapan, keamanan, ketenangan, hubungan sosial dan efikasi diri dalam masyarakat berfungsi memastikan, melindungi dan meningkatkan kesejahteraan bagi setiap yang kehilangan. Menjaga kesehatan jiwa orang-orang di sekitar anda, terutama yang mengalami kehilangan dengan berbagai cara yang dianjurkan.
Adapun pesan-pesan yang dapat disampaikan dalam menghadapi “stress”, terutama saat wabah covid-19, seperti yang dilansir dari Coping with Stress During the 2019 COV Outbreak, WHO, antara lain :
- Jika merasa sedih, tertekan, khawatir, bingung, takut atau marah saat krisis itu normal, maka bicaralah pada orang yang Anda percayai. Hubungi teman dan keluarga.
- Jika Anda harus tetap tinggal di rumah, jaga gaya hidup sehat (seperti pola makan, tidur, olah raga yang sesuai dan kontak sosial dengan orang-orang terkasih di rumah). Tetaplah berhubungan dengan keluarga dan teman melalui surat elektronik, telepon dan penggunaan platform media sosial lainnya.
- Jangan mengonsumsi tembakau, alkohol atau obat-obatan lain untuk mengatasi perasaan Anda.
- Jika Anda merasa tidak sanggup, hubungilah psikolog, konselor, tenaga kesehatan, tenaga sosial, petugas serupa, atau orang lain yang Anda percayai di komunitas Anda.
- Dapatkan fakta yang tepat tentang risiko Anda dan cara pencegahan. Gunakan sumber terpercaya sebagai sumber informasi, seperti situs web WHO atau kementerian kesehatan atau dinas kesehatan.
- Kurangi waktu Anda dan keluarga menonton atau mendengarkan liputan berita yang meresahkan.
- Gunakan cara-cara yang telah Anda gunakan sebelumnya dalam masa-masa sulit untuk mengelola emosi Anda selama wabah ini.
Editor : Tri Hanifah