Oleh : Adis Setiawan
Demo bukan untuk menunjukan siapa yang paling berani atau paling jagoan, namun sebagai suatu bentuk menyampaikan pendapat di tempat umum. Beda kalau dibandingkan dengan aksi 212 yang damai, tempat bersih, bahkan rumput pun tak diinjak-injak, kecil kemungkinan tidak merusak fasilitas umum, tetapi itu pun masih mendapat celaan dari sebagian warganet.
Demo yang dilakukan mahasiswa seluruh Indonesia pada 08 Oktober 2020 di berbagai daerah, tetapi ada beberapa daerah yang dianggap oleh sebagian warganet bukan termasuk demo karena sempat terjadi perusakan fasilitas umum dan dianggap sebagai kerusuhan. Apapun itu, penulis yang juga ikut turun unjuk rasa tetap mengakui itu sebagai demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa, buruh, dan beberapa ormas.
RUU Cipta Kerja berdasarkan kajian akademis ada beberapa poin yang merugikan rakyat, maka demo mahasiswa yang merusak beberapa fasilitas umum tak sebanding dengan kerusakan alam yang akan terjadi di masa mendatang dengan menggunakan dalil UU Cipta Kerja yang sudah disahkan. RUU Cipta Kerja atauOmnibus Law tidak transparan dalam pembuatannya, menurut beberapa poin sikap pada kajian akademis menjadi demikian jelas.
Mengambil ke-mudhorot-an yang lebih kecil itu lebih baik dari pada mengambil ke-mudhorot-an yang lebih besar. Seperti keterangan pada Kajian Akademis RUU Cipta Kerja membawa beberapa kerugian bagi rakyat dan alam, manusia di bumi sebagai khalifah yang mampu untuk merawat alam, investasi penting tetapi perlu memperdulikan alam.
Pendemo Termakan Hoaks
Aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa mengenai omnibus law tersebut, dianggap sebagai suatu unjuk rasa yang berlandasan berita hoaks. Hanya karena masalah ketebalan halaman dari draft RUU Cipta Kerja menimbulkan sebuah presepsi jika semua mahasiswa tidak membaca seluruh isinya. Mahasiswa hanya dianggap membaca berita-berita viral atau hal-hal yang kontra terhadap RUU Cipta Kerja saja. Hal itu sama saja menuduh demo tersebut berdasarkan ketidakbenaran atau hoaks.
Menuduh para pendemo terkena hoaks, serta menyatakan mereka tidak membaca draft RUU Cipta Kerja merupakan bentuk lain dari hoaks. Mahasiswa bergerak berdasarkan Kajian Akademis RUU Cipta Kerja dari beberapa lembaga kajian yang kemudian dijadikan bahan landasan.
Adanya anggapan bahwa belum tentu draft RUU Cipta Kerja yang dikaji oleh beberapa ahli dalam Kajian Akademis RUU Cipta Kerja itu bukan berasal dari draft RUU yang asli,. Padahal setiap akademisi memiliki langkah-langkah ilmiah dalam pembahasan suatu permasalahan.
RUU Tak Transparan
Bahkan draft RUU Cipta Kerja sendiri juga ada beberapa versi misalnya terkait jumlah halaman. Jika draft RUU itu penulis simulasikan sebagai kitab rujukan utama, maka sebagai mahasiswa yang bukan bidang hukum lebih baik ikut imam atau para tokoh Kajian Akademis tentang Omnibus Law RUU Cipta Kerja, yang mana mereka sudah melakukan beberapa kajian multi disiplin di bidangnya tentang Omnibus Law RUU Cipta Kerja itu. Kami mahasiswa mengikuti madzab para pengkaji akademis, walaupun belum membaca semua isi draft RUU karena bukan bidang semua mahasiswa,.
Demo Dapat Apresiasi
Tak kalah dengan Aksi 212, demo mahasiswa juga mendapat dukungan dari beberapa lapisan masyarakat. Walaupun, tak seperti Aksi 212 yang beberapa lembaga menyedikan keperluan para peserta. Demo mahasiswa yang lalu hanya dukungan semangat dari berbagai lapisan masyarakat. Misalnya mulai dari berangkat sampai pulang penulis yang ikut demo juga mendapat dukungan. Dukungan itu dari beberapa kelompok pemulung yang sedang kumpul di pinggir jalan melihat pendemo yang sedang longmarch, mereka meneriakkan dukunganya kepada mahasiswa.
Ada juga dari kumpulan tukang ojek juga meneriakkan dukunganya, hingga beberapa warung sembako yang memberikan minuman berkardus-kardus. Ada juga rumah warga yang menyedikan makanan banyak untuk makan para pendemo setelah lelah untuk istirahat. Pihak petugas kereta api pun mengratiskan para penumpang mahasiswa yang ikut demo.
Editor : Dwi Novi Antari