Oleh Fathin Robbani Sukmana
Minggu kemarin, saya harus melakukan perjalanan ke Bandung menggunakan bus umum. Dengan tarif new normal saya kira bus tersebut menerapkan social distancing. Awalnya demikian, semua penumpang dibatasi satu kursi, namun perlahan ternyata semua kursi terisi penuh.
Saya sebagai penumpang yang membayar sesuai tarif new normal berusaha untuk memprotes kondektur bus tersebut.
“Pak, saya bayar tarifnya sesuai loh, mengapa kursi samping saya terisi?”
Lalu sang kondektur menjawab “Tidak apa mas, dia turunnya engga jauh kok”.
Selanjutnya penumpang di samping saya pun ikut menjawab, “iya mas, dekat kok dan kelamaan kalau nunggu bus selanjutnya”.
Akhirnya saya mengalah dan memakai masker tambahan sebagai langkah protes. Mereka tanpa rasa bersalah “menghilangkan” peraturan social distancing yang harus diterapkan di berbagai tempat di Indonesia.
Selain itu, angkutan umum tersebut juga tidak menurunkan tarifnya. Padahal jika kursi terisi seharusnya tarifnya menjadi normal dan kembali seperti semula tapi sayangnya saya tidak mendapatkan uang kembali tersebut.
Melihat perilaku ini, sebetulnya banyak masyarakat yang menganggap Coronasudah usai. Padahal jika melihat grafik data, tidak sedikit kasus positif yang bertambah setiap harinya, walaupun jumlah yang sembuh pun terus naik.
Ada contoh lain, bahwa dugaan saya terhadap masyarakat menganggap Indonesia sudah normal atau Covid-19 sudah tidak ada adalah saat kepulangan HRS dari Arab Saudi. Bisa dilihat betapa ramainya manusia dan berdempet dempetan, padahal dia baru saja pulang dari luar negeri.
Belum lagi saat pernikahan anaknya, kerumunan massa tidak memakai masker menghadiri acara tersebut. Bahkan para pejabat juga ada yang menghadirinya. Padahal mereka tahu bahwa kasus Covid-19 terus naik.
Saya tidak yakin, jika mereka semua sehat atau tidak terinfeksi virus Covid-19. Bukan saya berprasangka buruk atau mendoakan yang tidak baik, tapi hal tersebut bisa diikuti oleh masyarakat lainnya di berbagai tempat.
Jika kita lihat, yang menghadiri acara pernikahan dan maulid nabi yang diselenggarakan oleh HRS dihadiri ribuan orang, bahkan ada yang mengatakan jumlahnya hingga 10.000 orang. Ini jelas melanggar UU Kesehatan dan juga berpotensi memunculkan klaster baru Covid-19.
Walaupun saya mendengar bahwa kelurahan tersebut telah memberikan surat denda karena yang bersangkutan melanggar protokol kesehatan, tapi akan ada dampak besar jika ada orang yang terkonfirmasi positif setelah acara tersebut.
Saya khawatir, setelah acara tersebut banyak masyarakat juga yang menuntut untuk menyelenggarakan acara serupa dengan jumlah massa yang banyak dan meminta bantuan masker kepada pemerintah.
Seandainya saja, ada masyarakat yang menyelenggarakan resepsi pernikahan dengan jumlah massa yang banyak dan menggunakan masker. Lalu, ketika ditegur oleh aparat setempat mereka akan menjawab “loh, undangan kita cuma 2000, mereka saja yang 10.000 biasa saja”. Jika seperti ini aparat akan menjawab apa?.
Belum lagi, jika benar bahwa ada orang yang terkonfirmasi positif. Pasti akan menambah jumlah kasus dan menyebabkan daerah itu kembali menjadi zona merah. Kalau sudah kembali menjadi merah, siapa yang akan bertanggung jawab?
Itu dari satu resepsi pernikahan saja, bayangkan jika hal tersebut terjadi di banyak resepsi pernikahan? Dan banyak yang terkonfirmasi positif? Saya yakin akan ada ribuan pasien yang harus di rawat dan rumah sakit kembali menjadi penuh.
Dampaknya bukan hanya itu, bisa saja Indonesia kembali ke periode Maret hingga Mei 2020 lalu, di mana rumah sakit penuh, tenaga kesehatan banyak yang berpisah dari keluarganya bahkan gugur dalam mengobati pasien Covid-19.
Lalu, aktivitas masyarakat seperti bekerja, sekolah dan aktivitas ekonomi bisa terhenti kembali seperti awal pandemi di Indonesia. Saya yakin, masyarakat akan dirugikan jika aktivitas kembali seperti awal Maret lalu, semua bekerja dari rumah bahkan parahnya dikeluarkan dari perusahaan karena pendapatan usaha menurun dan aktivitas ekonomi terhenti.
Ini dampak besar yang harus dipikirkan oleh para tokoh agama seperti HRS dan juga tokoh-tokoh yang duduk di pemerintahan. Sebaiknya menunda acara besar yang menimbulkan kerumunan dan berpotensi untuk memunculkan klaster baru.
Jangan sampai usaha pemerintah khususnya tim penanganan Covid-19, organisasi masyarakat serta tenaga medis untuk menurunkan angka positif dan melakukan pencegahan menjadi sia-sia karena keegoisan dan ketidaksabaran tokoh-tokoh di atas. Ini harus menjadi evaluasi bersama dan juga dilakukan penyadaran bersama.
Kita ketahui bersama, kondisi Indonesia saat ini sedang berusaha untuk membangkitkan kembali sektor ekonomi setelah beberapa waktu lalu sempat jatuh. Bahkan beberapa perusahaan sudah kembali menerapkan Work from Office.
Selain itu, kita sempat mendengar bahwa Warga Negara Indonesia sempat dibatasi untuk berkunjung ke sejumlah negara dalam rangka apapun, dan saat ini perlahan berjalan kembali seperti semula.
Ingat, kondisi Indonesia belum kembali normal, sehingga kita semua harus terus bekerja sama dalam menangani Covid-19, dari pemerintah mempertegas aturan serta pengawasan dan kita sebagai masyarakat mengikuti aturan tersebut agar Indonesia tidak kembali seperti periode Maret hingga Mei 2020 lalu.
Jika sikap pemerintah, tokoh publik, tokoh agama masih saja acuh dalam penanganan ini seperti tetap berkerumun dalam jumlah banyak. Ini menjadi satu pertanyaan bagi saya, apakah sikap tersebut mengonfirmasi bahwa data Covid-19 itu fiktif? Atau bahkan Covid-19 di Indonesia hanya konspirasi?
Editor : Dwi Novi Antari