Oleh: Renci
Sebagai seorang mahasiswa, saya diharuskan untuk pulang-pergi dari rumah ke kampus dengan jarak tempuh yang memang cukup jauh, meski saat ini intensitas kunjungan ke kampus sudah jarang, apalagi dengan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), akan tetapi setiap hari saya diharuskan tetap bepergian, tentu dengan mematuhi protokol kesehatan. Dengan seringnya saya bepergian, tentu kebutuhan akan Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk mengisi motor agar tetap jalan sangat banyak dibutuhkan, alasan ini yang kemudian mengharuskan saya untuk kurang lebih dua kali dalam seminggu mengisi BBM di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, seringnya saya membeli bensin di SPBU membuat saya merasakan kejanggalan dan keluhan. Bukan soal harga maupun takaran yang tidak sesuai, akan tetapi masalah pelayanan yang menurut saya perlu mendapat perhatian. Hal yang menjadi perhatian saya adalah ketika saya acapkali mengisi bensin dengan mengatakan akan mengisi full, kadang setelah pengisian selesai kita akan bisa melihat jumlah harga yang seharusnya kita bayar, biasanya jumlah harga yang kita bayar tidak genap, semisal kita membeli bensin full dan ternyata secara nominal harga adalah 24.300, maka tanpa permisi dan konfirmasi petugas SPBU akan membulatkan harga tersebut menjadi 25.000.
Memang terlihat sepele, akan nampak kecil apabila yang merasakan hanya saya sendiri. Tetapi coba bayangkan, apabila dalam sehari ada 100 orang yang mengalami hal serupa, maka recehan 700 yang tanpa konfirmasi dikali dengan 100 bisa menghasilkan 70.000 dalam sehari. Itu sekedar contoh. Hampir sama dengan kasus bantuan sosial yang diambil 10.000/paket sembako.
Sebenarnya bukan seberapa besar atau kecil nominalnya, namun keresahan saya terletak pada tidak adanya penjelasan dari pihak petugas SPBU, apakah uang itu akan di donasikan atau akan dikemanakan? Hal ini menurut saya bisa menjadi benih-benih korupsi, dengan pembiasannya tidak ada kejelasan, baik hanya 100 rupiah pun, bagi saya itu adalah pembiasaan yang tidak baik.
Mungkin iya, ini tidak bisa dikategorikan sebagai sebuah tindakan korupsi, tetapi jika kita merujuk pada pengertian korupsi menurut Henry Cambell Black dalam Black’s Law Dictionary yang menjabarkan bahwa korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud memberikan beberapa keuntungan yang bertentangan dengan hak orang lain. Dari pengertian tersebut kita bisa mengambil benang merah bahwasanya kita tidak pernah tau apakah uang 700 rupiah/pelanggan ini dijadikan sebagai upaya untuk mengambil keuntungan atau maksud lainnya. Sederhananya, uang itu masih hak kita, meski hanya 700 rupiah, itu tetap milik kita, artinya petugas SPBU tetap belum berhak membulatkan uang tersebut tanpa izin.
Memang benar, dalam kaidah matematika jika angka bisa di bulatkan dengan catatan jika lebih dari 5, maka bisa dinaikkan, tetapi jika kurang dari 5 bisa diturunkan. Tetapi apakah kaidah itu bisa digunakan dalam permasalahan ini? Tentu tidak. Kita sepakat bahwa hal besar dimulai dari sesuatu yang kecil, kita sering memaklumi kalimat “Tidak apa-apa hanya uang segitu”, tapi justru hal-hal semacam itu yang kemudian dijadikan kebiasaan lantas akan membentuk sebuah karakter. Karakter-karakter ini yang kemudian mendarah-daging dan membuat kita terbiasa dengan pejabat yang sering korupsi. Mungkin korupsi bantuan sosial yang sempat memenuhi layar juga berawal dari anggapan “Tidak apa-apa, hanya diambil 10.000/paket”.
Maka, kita seharusnya memulai hal-hal kecil dengan tetap mempertimbangkan kebaikan dan keburukannya, memulai membiasakan diri untuk berhati-hati. Dari keresahan saya terhadap SPBU tersebut mengajarkan saya menjadi pribadi yang ketika diberi amanah, serupiahpun itu adalah milik ummat, maka jangan sampai kita menjadi pribadi yang memanfaatkan peran kita untuk mengambil keuntungan.
Kita, khususnya pemuda, sebagai estafet penerus kepemimpinan selanjutnya, harus membiasakan diri sejak sekarang untuk senantiasa berkomunikasi dan teguh pendirian, tidak membiasakan hal-hal kecil yang ternyata jika itu sering dilakukan malah menjadi karakter buruk dalam diri kita. Benar kata Kasino bahwa negeri ini tidak kekurangan orang pintar, tetapi kekurangan orang jujur. Untuk itu, mulai dari sekarang, kita harus mengawali menjadi pribadi yang jujur. Apalagi sebagai seorang pemimpin, Shidiq adalah termasuk salah satu sifat yang harus dimiliki oleh pemimpin.
Editor : Dwi Novi Antari