Ber-Muhammadiyah Dengan Gembira
Menjadi pimpinan di Muhammadiyah adalah suatu kehormatan bagi saya. Tidak tahu alasannya mengapa dalam beberapa kali Musda, setidaknya sudah tiga kali musda saya termasuk dalam urutan 9 besar yang dipilih oleh musyawirin. Mungkin karena waktu diberi surat kesediaan untuk menjadi pimpinan oleh panitia pemilihan saya menyatakan bersedia. Coba kalau tidak bersedia mungkin tidak akan pernah jadi pimpinan. Pasti. Namanya tidak bersedia pasti nggak mungkin namanya ada dalam daftar urut yang akan dipilih. Tetapi kadang-kadang tetap saja, kalau kita tidak bersedia, ada saja yang datang untuk membujuk supaya bersedia menjadi calon pimpinan. Akhirnya karena dibujuk terus, tergoda. Jadilah calon pimpinan karena menandatangani surat pernyataan kesediaan. Namun di sinilah uniknya Muhammadiyah, terkadang untuk jadi calon pimpinan Muhammadiyah saja, membujuknya setengah mati supaya orang mau. Malah kadang saling nyorongkan yang lainnya. “Dah dia saja, jangan saya. Saya nggak bisa jadi pimpanan, khawatir nanti nggak bisa maksimal”, begitu kira-kira alasannya. Untuk yang seperti ini, bandingkan dengan organisasi yang lain. Di tempat lain kadang-kadang malah musyawarahnya ribut, deadlock, karena rebutan jadi pimpinan.
Menerima amanah tentu tidaklah mudah dan tidak ringan, membayangkan tanggung jawabnya dunia akhirat, kata orang. Walaupun kalau mau mblenyon sebenarnya tidak akan membuat negara ini runtuh. Wong cuma jadi pimpinan organisasi, sukarela dan nggak digaji. Tapi tetap saja, jika kita tidak aktif rasanya berat di hati. Apalagi kalau ingat menandatangani kesediaan jadi pimpinan persyarikatan dan dipilih oleh musyawirin. Apabila tidak bisa aktif rasanya seperti membohongi diri sendiri dan malu sama yang telah memberikan kepercayaan.
Kata para sesepuh Muhammadiyah, jika jadi pimpinan dan tidak bisa aktif dalam kegiatan ya setidaknya hadirlah dalam rapat pimpinan. Ini sudah jadi pimpinan, diundang rapat tidak pernah datang, apalagi hadir di acara dan kegiatan. Babar blas. Apa ada yang seperti itu? Ya ada dan tidak sedikit sudah diberi amanah menjadi pimpinan persyarikatan tapi kalau diundang rapat nggak pernah datang. Apa tidak boleh, tidak hadir rapat? Ya bolehlah, namanya di organisasi itu sukarela dan tidak ada hukumannya kalau tidak hadir. Beda di pemerintahan, jika tidak disiplin bisa dipecat atau diberi sanksi indisipliner. Tetapi tetap saja, rasanya nggak enak kalau rapat saja tidak datang. Malu. Kena sanksi sosial, yaitu jadi omongan orang terus.
Pesan sesepuh Muhammadiyah, jika tidak bisa aktif di kegiatan tapi kalau diundang rapat mbokyao datang karena efeknya sangat besar. Awal mulanya hanya hadir rapat, namun setelah hadir rapat itu skenario selanjutnya dalam ber-Muhammadiyah itu dimulai. Begitu kita menghadiri undangan untuk rapat, maka kita ikut berpendapat, memberi saran dan masukan, terkadang secara tidak sengaja mengusulkan program, lalu akhirnya ikut mengambil keputusan. Setelah rapat mengambil keputusan tentu merealisasikan keputusan-keputusan itu. Karena ikut memutuskan bahkan terkadang mengusulkan lalu jadi keputusan, kita seolah-olah ikut bertanggungjawab secara penuh dari akibat keputusan itu. Akhirnya ada rasa bersalah jika tidak aktif dalam kegiatan di persyarikatan, wong kita ikut memutuskan, masak nggak mau tahu. Di situlah saya mengambil pelajaran bahwa kunci sebuah organisasi yang hidup itu adalah adanya rapat dan kunci menjadi pimpinan itu selalu hadir jika diundang rapat. Dari rapat itulah, segalanya dimulai. Ingat kuncinya adalah rapat.
Kapan waktu rapatnya supaya semua anggota pimpinan punya waktu dan tidak punya alasan mangkir dari rapat karena alasan kesibukan atau tumburan dengan kegiatan lain? Nah, ini pengalaman di Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Metro. Di tempat lain mungkin juga sama. Kami biasa dan sepertinya sudah jadi kesepakatan tidak tertulis yaitu rapat di hari Minggu jam 06.00 sampai dengan jam 08.00 maksimal. Mengapa dipilih waktu ini untuk rapat? Jelas, hari Minggu adalah hari libur, dipilih jam 06.00-08.00 maksudnya supaya kalau ada yang punya kegiatan liburan dengan keluarga, mau kondangan, pertemuan keluarga, dan lain-lain masih sempat dan tidak terganggu. Terkadang kalau agendanya padat, rapat dimulai habis subuh dan selesai jam 08.00 itu. Di luar waktu ini, terkadang jika agendanya banyak seminggu bisa dua-tiga kali rapat, waktu untuk tambahan rapat itu dipilih malam habis isya atau habis ashar. Capek memang, tapi ingat, itu amanah. Kalau ingat itu, capek-nya jadi hilang.
Saya suka kalau rapat pagi hari di persyarikatan, di samping rapatnya sambil ngobrol ringan, sarapannya enak. Menunya nasi uduk, telur dan tempe goreng dan minumnya teh manis hangat. Tidak tahu mengapa, kalau di rumah jika istri saya menawarkan sarapan nasi uduk saya sering menolak karena memang tidak seberapa suka. Namun kalau nasi uduk itu dimakan di sela-sela rapat Muhammadiyah, kok rasanya ueenak tenan. Saya lihat anggota pimpinan yang lain juga habis nasi uduknya. Mungkin karena tidak ada yag lain ya? Atau mungkin jika kita menjalankan amanah dengan gembira itu membuat segala sesuatu yang kita tidak suka lama-lama menjadi suka. Wallahu a’lam bishawab.
Editor : Dwi Novi Antari