Oleh: Mukhtar Hadi (Anggota Pleno PDM Kota Metro)
Jujur, jumlah anggota Muhammadiyah itu tidak banyak. Bandingkan dengan saudara kita, Nahdhatul Ulama (NU), anggotanya lebih besar dari Muhammadiyah. Walaupun jika disuruh menyebutkan berapa jumlahnya, baik Muhammadiyah dan NU sama-sama tidak punya data yang valid. Pak Amin dulu sering berseloroh, jumlah warga Muhammadiyah itu tergantung berapa orang NU menyebut jumlah anggotanya. Jika NU menyebut jumlah warganya 80 juta, maka Muhammadiyah 70 juta, tinggal dibuat selisih 10 juta saja. Pengurus NU dulu pernah menyebut jumlah anggotanya sekitar 100 juta. Lalu berapa jumlah wrga Muhammadiyah? Kalau mengikuti formula Pak Amin, jumlah warga Muhammadiyah kurang lebih 90 juta. Berseloroh tapi sebenarnya serius. Seriusnya sama-sama tidak berdasarkan data dan hitungan yang akurat.
Berdasarkan data anggota Muhammadiyah yang bernomor baku, hingga saat ini jumlahnya mungkin baru sekitar 1,2 juta. Untuk hal ini, saya sebenarnya juga tidak punya data, hanya kira-kira. Tidak banyak secara kuantitatif memang bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang berada sekitar 250-an juta. Hanya sekitar 0,5%, tidak sampai 1%. Wajar jika dalam kontestasi politik nasional maupun lokal yang membutuhkan suara mayoritas untuk memenangkan kontestasi, calon yang “didukung” Muhammadiyah sering kalah, walaupun juga tidak sedikit yang menang. Itukan perkiraan anggota berdasarkan nomor baku yang pernah dikeluarkan. Jika ditambah warga yang tidak bernomor baku, simpatisan dan pendukung Muhammadiyah tentu jumhlahnya tidak sekecil itu. Pasti lebih besar lagi, namun tetap saja secara prosentase masih kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia.
Tidak usah berkecil hati jika Muhammadiyah dinilai jumlah anggota dan simpatisannya tidak terlalu banyak. Ternyata dalam lintasan sejarah, kemajuan peradaban suatu bangsa tidak selalu ditentukan oleh jumlah pengikut atau jumlah anggota masyarakat dari bangsa itu. Dahulu Rasulullah dalam perang Badar, bala tentaranya hanya sekitar tiga ratusan saja, namun bisa mengalahkan kaum kafir Quraisy yang jumlahnya sekitar seribuan. Orang-orang Belanda yang dulu pertama kali datang di kepulauan nusantara tahun 1596 di bawah pimpinan Cornelis de Houtman, konon jumlahnya hanya sekitar empat kapal dengan jumlah orang sekitar ratusan saja. Namun mereka kemudian menguasai wilayah nusantara yang begitu luas dan menancapkan kukunya hingga kurang lebih 350 tahun. Saudara sebangsa dan setanah air kita, para etnis Tionghoa, di Indonesia jumlahnya juga tidak banyak akan tetapi berdasarkan data orang-orang terkaya di Indonesia, mereka selalu menduduki mayoritas sepuluh besar orang terkaya di Indonesia. Soal yang sedikit dapat mengalahkan yang banyak ini juga ditegaskan dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 249, Allah berfirman: “…berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah…”.
Lihatlah! Tidak selalu yang jumlahnya banyak itu dapat mengalahkan yang sedikit. Tidak selalu yang sedikit itu tidak bisa maju dan tidak bisa menguasai yang banyak. Lihatlah, betapa banyak orang yang terkagum-kagum dengan Muhammadiyah karena mereka melihat amal usaha Muhammadiyah dari lembaga pendidikan, kesehatan, lembaga sosial hingga lembaga ekonomi, jumlahnya sangat banyak dan karena itu terlihat dimana-mana. Mengapa kaum yang sedikit dapat mengalahkan kaum yang banyak? Mari kita belajar dari sejarah mereka. Ternyata mereka bisa maju, berkembang dan menguasai peradaban karena mereka punya ghirah (semangat yang tetap menyala), tidak pantang menyerah, berpikiran maju kedepan dan yakin pada cita-cita dan kebenaran (ideologi) yang diyakininya.
Dalam berbagai kesempatan baik waktu diskusi serius maupun waktu ngobrol santai, saya sering mendengar keluhan tentang kelangkaan kader di Muhammadiyah. Saya pribadi juga sering merasa begitu. Waktu berbicara soal siapa yang harus menjadi pimpinan persyarikatan, menjadi pimpinan amal usaha, atau mencari orang yang mau berkhidmat di amal usaha kita sering bingung, siapa dan siapa lagi. Ada kader kita yang merangkap jabatan pimpinan persyarikatan dari level bawah sampai beberapa tingkat di atasnya. Di ranting, dia menjadi ketua ranting. Lalu di cabang dia menjadi wakil ketua pimpinan cabang. Di daerah, dia jadi wakil ketua pimpinan pemuda dan juga jadi wakil ketua majlis pada Pimpinan Daerah Muhammadiyah. Jadi dia menjabat empat jabatan sekaligus, namun tingkatannya saja yang berbeda. Kondisi seperti dia itu, jumlahnya jangan-jangan banyak dan mungkin di tempat lain juga sama. Berarti tidak salah jika banyak kader mengeluh bahwa Muhammadiyah kekurangan kader. Kekurangan orang yang dapat berperan sebagai pelangsung dan penyempurna amal usaha Muhammadiyah.
Namun terkadang juga mengherankan. Katanya kekurangan kader, akan tetapi amal usahanya tetap tumbuh dan bertambah besar. Saya ingin menyampaikan ini dengan kasus Muhammadiyah Metro. Dalam sepuluh tahun terakhir, Muhammadiyah Metro telah mendirikan berapa amal usaha, yaitu PT. Metro Solar Investama dan rumah sakit, disusul kemudian mendirikan klinik di tiga kecabangan. Bahkan, dalam lima tahun terakhir berdiri SMP-Mu Ahmad Dahlan, sekarang sudah mulai membuka SMA-Mu Ahmad Dahlan, sebelum itu berdiri SD Aisyiyah dan SD-Mu Sang Pencerah. Terakhir Pondok Pesantren At-Tanwir mulai membuka SMP dan SMA Muhammadiyah At-Tanwir. Yang mengherankan lagi amal-amal usaha yang baru dibuka ini mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang menggembirakan untuk tidak mengatakan maju pesat. Amal-amal usaha ini semakin melengkapi keberadaan amal usaha lain yang sudah lama berdiri.
Terus terang saya selalu bertanya-tanya, disatu sisi kita mengeluhkan kekurangan kader dan kekurangan SDM namun di sisi lain kita malah menambah “pekerjaan” yang membutuhkan tenaga yang banyak. Padahal orangnya itu-itu saja. Ada sih tambahan satu-dua orang yang bisa dihitung dengan jari dari alumni perkaderan di organisasi otonom, namun tetap saja tidak berbanding lurus dengan kebutuhan. Dugaan saya, dan insya Allah dugaan saya ini benar, karena orang Muhammadiyah itu tidak pernah mau diam, selalu ingin bergerak secara dinamis untuk menjadi lebih maju. Amalannya ikhlas, bertanggungjawab dan berintegritas, dibalut dengan nilai-nilai tauhid. Sebagai pribadi, saya banyak belajar dari Muhammadiyah dan orang-orangnya.
Editor : Dwi Novi Antari