Oleh: Guntur
Sudah bukan menjadi rahasia bahwa literasi di Indonesia sedang tidak baik-baik saja, bahkan bisa dibilang terbelakang atau tertinggal. Fakta dari riset yang dilakukan oleh UNESCO bahwa Indonesia menjadi negara terakhir nomor 2 dari 61 negara soal literasi dunia, ini menandakan bahwa minat baca masyarakat Indonesia rendah. Artinya, kecintaan masyarakat Indonesia kepada ilmu sangat minim sekali. Padahal, Imam Ahmad pernah berkata “kebutuhan manusia terhadap ilmu itu melebihi kebutuhannya terhadap makanan dan minuman. Hal itu karena seseorang membutuhkan makanan dan minuman hanya sekali atau dua kali (saja) dalam sehari, adapun kebutuhannya terhadap ilmu itu sebanyak tarikan nafasnya.”
Setiap tarikan nafas, ilmulah yang menjadi bekal kita dalam menjalani aktivitas, seringkali kita kebingungan dalam melakukan sesuatu, tidak lain dan tidak bukan adalah karena kita tidak mengerti ilmunya. Lalu dari mana ilmu itu didapat? Tentu saja ilmu didapat dari proses kita berliterasi, bagaimana kita mencari sumber pengetahuan dengan membaca banyak buku, memfilternya untuk kemudian dapat menarik kesimpulan menjadi ilmu pengetahuan yang sudah dipercaya kebenarannya, lalu diterapkan pada diri sendiri dan terakhir diamalkan untuk masyarakat sekitar.
Berliterasi tidak selesai hanya dengan membaca satu atau dua buku yang disuka, berliterasi tidak selesai hanya dengan kita mengetahui, tetapi literasi juga harus selesai hingga kita memahami makna dari suatu pembelajaran, literasi akan berguna ketika ilmu pengetahuan telah diamalkan, tahapan itu semua haruslah menjadi mindset kita dalam berliterasi. Mengapa demikian? Karena mempraktikan ilmu pengetahuan yang telah didapat perlu mencobanya dengan berkali-kali. Dengan mencobanya berulang-ulang, maka baik atau buruknya, kurang dan lebihnya dapat kita pahami, sehingga nantinya kita mampu memaksimalkan peran dari keilmuan yang telah kita pelajari tersebut.
Pada sisi lain, Viktor Frankl dalam bukunya yang berjudul Man’s Search for Meaning mengatakan bahwa pada abad ke-20-an orang-orang yang mendatangi psikiater dan psikolog didominasi bukan oleh orang-orang dengan gangguan psikis yang berat, tetapi oleh orang-orang yang merasa hidupnya tidak punya makna. Tentu hal tersebut dirasa aneh, di era serba modern, teknologi canggih, kita dapat mengakses apapun dengan mudah, namun faktanya orang-orang justru ada pada ambang kebingungan makna dalam hidupnya. Kenyataan hari ini, orang mengenyam pendidikan bertahun-tahun tidalah kemudian dapat menjawab makna hidup mereka dengan keilmuan yang didapakan dalam pendidikan. Hal tersebut menjadi perenungan saya beberapa waktu lalu, benarkah apa yang disampaikan Viktor Frankl dalam bukunya tersebut?
Jika melihat sistem pendidikan di Indonesia, maka kita akan menghabiskan waktu dalam mengenyam bangku pendidikan selama 18 tahun masa belajar formal yaitu masa Taman Kanak-Kanak (TK) 2 tahun, Sekolah Dasar (SD) 6 tahun, Sekolah Menengah Pertama (SMP) 3 tahun, Sekolah Menengah Atas (SMA) 3 tahun, dan jika diberi kesempatan akan melanjutkan di Perguruan Tinggi (PT) dengan total 4 tahun. Itu artinya, 18 tahun sudah kita berliterasi, tetapi apakah setiap dari kita mengetahui apa yang kita pelajari?
Kebanyakan hanya berisi rumus-rumus yang tentu nya sudah kita lupa seiring dengan semakin kompleksnya masalah hidup yang kita alami. Sekarang mari kita bedah, sejak TK kita sudah dikejar-kejar bimbel baca tulis agar bisa masuk ke SD favorit, di SD sibuk mengejar nilai dengan tambahan les agar masuk SMP favorit, di SMP sibuk mengikuti les agar diterima di SMA favorit, di SMA pun kita masih harus sibuk belajar tambahan agar masuk PT favorit, masuk perguruan tinggi sibuk dikejar cepat lulus agar bisa segera kerja. Ya ternyata tujuan kita berliterasi di sekolah selama ini adalah untuk bekerja.
Anehnya setelah bekerja dan ditanya lebih memilih “Senin pagi atau Jumat sore?”, saya yakin mayoritas akan menjawab Jumat sore. Apa artinya? Ternyata yang dicari bukanlah bekerja, melaikan hari libur. Lucu sekali, kok bisa, ya? Bisa, karena pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai, orientasinya adalah yang penting bekerja. Bagaimana kita akan bahagia, yang ada sengsara, padahal seharusnya 18 tahun kita belajar buahnya haruslah bahagia.
Hari-hari saya merenungi sampailah pada titik di mana saya mengalami kejadian sedang membaca ayat suci Alquran dalam surat An-Nahl Ayat 78 yang artinya “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur.” Di sanalah terjawab bahwa selama ini, ada orientasi yang salah dalam berliterasi, seharusnya belajarnya kita, membaca bukunya kita, berliterasinya kita adalah dalam rangka bersyukur. Ketika kita pandai dalam bersyukur maka kebahagian pun terasa dekat.
Editor : Dwi Novi Antari