Oleh : Ibnu Mubarok
Saya mengamati kegiatan rutin pagi yang dilakukan emak-emak sungguh luar biasa. Bayangkan untuk sekedar menjual kue saja mereka harus bangun sebelum subuh, apalagi yang membuat kue mungkin saja semalaman mereka tidak tidur atau paling tidak, jam bermimpinya kurang dari cukup. Saya yakin mereka, emak-emak itu sudah menempuh S3 yakin Semangat, Serius dan Sungguh-sungguh. Yang jelas mereka menjadi tulang punggung atau pahlawan di keluarganya.
Para pengelola sekolah harusnya memiliki etos kerja sama seperti emak-emak yang saya ceritakan di atas. Kepala sekolah, guru, karyawan harusnya lebih hebat dari emak-emak penjual kue. Kenapa? Karena mereka bekerja tanpa melalui kuliah formal seperti kita. Kuliah mereka adalah pengalaman hidup, yang tidak ada remedial. Jika gagal maka menjadi musibah bagi dia dan keluarganya.
Banyak pengelola sekolah yang etos kerja dan semangatnya tidak nampak. Malas, miskin ide, tidak serius dan tidak sungguh-sungguh. Untuk menggambarkan itu ada sebuah istilah buka sebangunnya dan tutup semaunya. Datang dan pulang dari sekolah bukan sesuai aturan tetapi terserah semaunya. Bayangkan jika sekolah kita dikelola dengan manejemen yang seperti itu, maka hasilnya jelas sekolah kita tidak akan diminati oleh masyarakat. Tapi sialnya, masih banyak yang tidak muhasabah dan segera melakukan perbaikan. Kadang sibuk menyalahkan orang lain dan berkomentar, jika seperti itu pilihanya hanya satu maka bersiaplah untuk game over.
Pernah ketika saya, berbincang-bincang dengan beberapa rekan dalam sebuah forum, pada saat itu guru kami memberi nasehat dengan beberapa pertanyaan yang lucu menurut sebagaian orang. Bagaimana tidak, jika di sebuah forum muncul pertanyaan yang seperti ini, “bagaimana dengan tanaman kita hari ini, apakah semakin subur, atau malah lupa merawat, atau malah belum sempat menanam apapun? Mumpung masih ada waktu dan matahari masih bersinar, maka tanamlah untuk bekal, mumpung masih muda juga”.
Sebetulnya ada hal tersirat dalam pertanyaan yang demikian, jika kita teliti dan pandai menafsirkan. Ya, memang tidak mudah untuk memulai sesuatu jika kita tidak mau mencobanya, tapi tidak mudah pula untuk mengakui keterlambatan. Di sini telah ditentukan siapa yang berhak memanen dan menjadi penonton. Ingin murid kita menjadi pandai, maka jadikan “pandai” dulu diri kita. Kemudian jika ingin menjadikan guru-guru kita hebat, maka jadilah kita sebagai kepala sekolah yang hebat. Mengharapkan murid pandai menulis hanya dapat ditempuh jika gurunya pandai menulis. Memang mirip dengan beberapa istilah lain, jika pohon berbuah kemudian buahnya jatuh maka tidak akan jauh dari pohonnya.
Begitu pula dengan diri kita, merupakan sebuah gambaran dari peserta didik kita atau bawahan dalam sebuah kepemimpinan yang sedang kita laksanakan. Kemudian bagaimana kita akan menata manejemen yang tepat dan akan menghasilkan sesuatu yang hebat. Mari kembali bermuhasabah diri dan meperbaiki diri, lebih baik terlambat tetapi memiliki iktikad dari pada berdiam di tempat dan sudah merasa hebat.
Editor: Dwi Novi Antari