Oleh: Fathan Faris Saputro (Alumni pengurus Ikatan Pelajar Muhammadiyah MTs. Muhammadiyah 13 Solokuro Lamongan)
Karakter merupakan nilai-nilai yang dimiliki seseorang, terbentuk melalui proses interaksi dengan lingkungan. Karakter tersebut dibangun melalui diri seseorang, terbentuk karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan yang membedakan dengan orang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Adapun karakter seseorang akan terpancar melalaui hasil olah pikir, hati, rasa dan karsa, serta olah raga seseorang atau kelompok (Kemendikbud, 2011).
Pembudayaan pendidikan karakter dapat dilakukan dengan cara menempatkan ungkapan hikmah yang ditempelkan pada dinding sekolah dasar seperti “Rajin Pangkal Pandai” atau “Kebersihan adalah Sebagian dari Iman”. Dewantara (Dewantara, 2011) menjelaskan pemahaman terkait pendidikan yakni menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai kemaslahatan serta kebahagiaan yang setinggi-tingginya.” Singkatnya, pendidikan bagi Ki Hajar Dewantara berarti upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelektual) dan jasmani peserta didik.
Ki Hajar Dewantara, selain mengkaji budi pekerti juga membahas tentang ilmu adab dan etika. Pengertian dari ilmu adab atau etika yaitu ilmu yang mempelajari segala soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia. Khususnya terkait pikiran dan rasa yang dapat menjadi pertimbangan hingga terjadi suatu perbuatan.
Ki Hajar Dewantara menjelaskan pemahamannya terkait dengan pengajaran budi pekerti yang menurutnya merupakan bagian dari pendidikan. Ki Hajar Dewantara menyebutnya sebagai pengajaran pendidikan karena lebih pada hal yang bersifat metodik terkait budi pekerti. Pengajaran budi pekerti dimaknai untuk menyokong perkembangan hidup peserta didik, lahir dan batin, dari sifat kodratnya menuju arah peradaban dalam sifatnya yang lain, menolong teman, hormat kepada orang yang lebih tua, dll.
Pengajaran budi pekerti diberikan pada peserta didik disesuaikan dengan tingkat umur. Peserta didik yang masih kecil, pengajaran dilakukan dengan membiasakan agar Ia bertingkah laku baik. Pada tahap ini, guru memberi contoh, anjuran atau perintah. Pada tingkat kedua pengajaran merupakan tingkat ‘hakikat’ yang bermakna ‘kenyataan’ atau ‘kebenaran’. Pada tahap ini pengajaran diberikan kepada peserta didik yang sudah mampu berpikir berupa pengertian dan pemahaman tentang kebaikan atau keburukan pada umumnya. Peserta didik tidak lagi terikat pada pembiasaan. Bagi para peserta didik yang sudah dewasa, pengajaran dilakukan dengan cara disengaja supaya mereka terlatih melakukan kebaikan meskipun sukar dan berat.
Pembelajaran Ideal
Pembelajaran yang ideal adalah pendidikan yang tidak hanya transfer of knowledge, tetapi juga transfer of value. Dengan demikian, pendidikan tidak hanya menghasilkan peserta didik beratribut ‘robot cerdas’, tetapi juga peserta didik dengan karakter yang baik. Pada tahap ini, guru dan sistem pendidikan memiliki andil yang signifikan. Hal ini dijelaskan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan berkaitan dengan olah pikiran, budi pekerti, dan jasmani. Untuk itu, pembelajaran yang ideal harus mengusung nilai-nilai kebermanfaatan, peserta didik harus diarahkan untuk menjadi siswa yang memiliki kepedulian terhadap sosial.
Pengembangan pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi peserta didik, pemerintah sebagai pengembang sistem pendidikan perlu kiranya mempertimbangkan pemikiran tersebut untuk modal perbaikan pendidikan ke depan, dan guru sebagai pelaksana sistem pendidikan harus memposisikan diri bukan hanya sebagai komando, tetapi juga sebagai tukang kebun atau pamong yang mengawal dan mengawasi proses yang dijalani.
Hikmah Nilai Peduli Sosial
Berbicara mengenai peran Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dalam sikap dan tindakan yang mencerminkan peduli sosial harus dibiasakan dengan cara memberi bantuan kepada orang lain yang membutuhkan, contoh ungkapan hikmah yang bernilai peduli sosial “Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi yang lain”. Ungkapan tersebut mengandung nilai pendidikan karakter peduli sosial yang dapat diwujudkan dengan cara membantu orang lain yang sedang dalam kesusahan.
Hikmah Nilai Tanggung-jawab
Selanjutnya, tentu saja kerja-kerja rasa tanggung jawab harus tercermin melaui sikap dan perilaku oleh kader-kader IPM untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, baik kepada diri sendiri, pada ranah masyarakat dan lingkungan (budaya dan alam), serta negara dan Tuhan yang Maha Esa.
Nilai karakter seseorang terlihat dari ucapannya, sedangkan nilai fisik seseorang terlihat dari pakaian yang dikenakan. Ungkapan tersebut bersumber dari paribahasa Jawa yang bermakna nilai karakter seseorang tercermin dari ucapan ang biasa diucapkan. Artinya, orang yang memiliki tutur kata baik paling tidak ia tidak jauh dari kebaikan. Begitu pula sebaliknya, seseorang yang memiliki tuturan yang tidak baik paling tidak ia tidak jauh dari keburukan.
Selain itu, pribahasa di atas memberikan pengertian nilai fisik seseorang dapat dilihat dari pakaian yang dikenakan. Pribahasa di atas relevan di tempatkan di sekolah dasar atau sekolah menengah ke atas supaya peserta didik dalam bertutur kata memperhatikan apa yang diucapkan. Prinsip merupakan cermin dari sikap hidup yang sederhana, tidak boleh berpakaian sesuka hati, harus disesuaikan situasi dan konteks ketika berpakian.
Untuk itu, ke depan, perlu kiranya partisipasi aktif kader-kader IPM dengan tujuan agar kader-kader IPM memiliki kemampuan akademik yang baik sekaligus memiliki karakter atau akhlak karimah (mulia). Sebab gerakan IPM tidak hanya selesai dengan dialektika dan retorika. Namun, lebih dari itu, kader IPM harus bisa membumikan nilai-nilai karakter yang baik agar bisa dirasakan oleh masyarakat.
Editor: Renci