Oleh: Abdurrahim Hamdi, M. A.
Ibnu Khaldun menceritakan, ketika al-Rasyid menyerahkan anaknya, al-Amin kepada seorang guru, ia mengatakan, “Wahai Ahmar, sesungguhnya Amirul Mukminin telah menyerahkan kepadamu belahan jiwa dan buah hatinya. Maka, bukalah tanganmu lebar-lebar dan ketaatanmu kepadanya adalah kewajiban. Tetaplah kamu bersamanya sebagaimana kamu kepada Amirul Mukminin. Bacakanlah kepadanya al-Qur’an dan ajarkanlah kepadanya hadits-hadits. Riwayatkanlah kepadanya syair-syair dan ajarkanlah kepadanya sunnah. Perlihatkanlah kepadanya fenomena-fenomena dan dasar-dasar ilmu kalam. Laranglah dirinya tertawa bukan pada waktunya. Janganlah ia bertemu denganmu sesaat saja kecuali kamu menyampaikan kepadanya pelajaran-pelajaran yang dapat diambilnya, dengan tidak menyembunyikannya, sehingga pikirannya menjadi mati. Janganlah kamu biarkan dirinya berleha-leha, sehingga ia suka menganggur dan bersenang-senang. Luruskanlah dirinya sesuai kemampuanmu dengan pendekatan yang lembut. Jika ia menolaknya, maka lakukanlah dengan kekerasan.”
Keterangan di atas merupakan pelajaran bagi orang tua dan pendidik dalam proses pendidikan anak-anak mereka. Sesungguhnya anak kecil itu merupakan amanah bagi setiap orang tuanya. Hatinya masih suci, bersih, dan kosong. Jika dibiasakan dan diajari kebajikan, ia akan tumbuh pada kebajikan dan berbahagia di dunia maupun di akhirat. Nabi SAW bersabda: “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, lalu kedua orang tuanyalah yg menjadikannya sebagai seorang Yahudi, Nasrani & Majusi (penyembah api). Apabila kedua orang tuanya muslim, maka anaknya pun akan menjadi muslim.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah RA)
Kesuksesan dalam mendidik anak, paling tidak akan ditentukan oleh tiga kekuatan, yaitu orang tua, pendidik di sekolah, dan tatanan lingkungan masyarakatnya. Di sini, terlihat bahwa peran yang menentukan dan strategis dalam periode awal kehidupan seorang anak ialah pola didik dan asuhan dari kedua orang tuanya di rumah.
Mendidik dengan Moral Islam
Dalam mendidik anak sesuai moral Islam, menurut Syaikh M. Jamaluddin Mahfuzh (2003), ada beberapa unsur yang perlu diperhatikan: Pertama, menanamkan aqidah yang sehat. Bersumber dari Rafi ra, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah saw menyerukan adzan shalat ke telinga Hasan bin Ali ra, ketika ia baru saja dilahirkan oleh Fatimah.” (HR. At-Tirmidzi). Kedua, latihan ibadah dan beri hukuman. Bersumber dari Abdullah bin Umar ra, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, “Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat ketika mereka telah berusia tujuh tahun. Dan pukullah mereka, karena meninggalkan shalat ketika mereka telah berusia dua belas tahun. Dan pisahkanlah mereka pada tempat tidur.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Hakim)
Ketiga, mengajarkan kepada anak sesuatu yang halal dan haram. Keempat, membangun aktivitas belajar. Rasulullah saw bersabda, “Hak anak atas ayahnya ialah diajari menulis, berenang, dan memberinya rezeki dari yang halal saja.” (HR. Al-Baihaqi). Kelima, membangun persahabatan orang tua terhadap anak. Keenam, membiasakan meminta izin. Ishak Al-Ghazari berkata, “Aku pernah bertanya kepada Al-Auza’i, apa batasan anak kecil yang diharuskan minta izin terlebih dahulu?” Ia menjawab, “Kalau ia sudah berumur empat tahun. Pada usia ini, ia tidak boleh menemui wanita tanpa izin terlebih dahulu.” Dan menurut Az-Zuhri, “Seseorang yang menemui ibunya harus minta izin terlebih dahulu.”
Jangan Salah Langkah
Kebanyakan orang tua memahami tentang kewajiban mendidik anak, yaitu menyekolahkan anak sampai tinggi, atau bagaimana supaya anak menjadi cerdas, pintar, dan tidak gagap teknologi. Mereka tidak peduli apakah anak-anak mereka mengerti dan mematuhi tuntunan agamanya, ataukah malah menjauh dari itu semua dan tidak mempedulikannya. Mereka hanya mengenal Islam pada momen-momen tertentu saja, setelah itu mereka kembali melupakan dan tidak mempedulikannya. Apalah artinya kesuksesan dalam kehidupan dunia yang singkat ini, jika ditempuh dengan cara yang berakibat pada kesengsaraan tiada akhir di akhirat nanti?
Untuk itu, dalam mendidik generasi agar selamat dunia akhirat, para orang tua perlu memperhatikan beberapa hal yaitu: pancangkanlah cita-cita untuk anak-anakmu di negeri akhirat, ajarkanlah mereka tentang cita-cita ini. Bolehlah mereka memiliki beragam cita-cita dunia, namun janganlah sampai ada yang tak mau punya cita-cita akhirat. Setelah memancangkan cita-cita untuk anak-anakmu, maka cobalah memulai memahami anak-anakmu. Ada dua hal yang perlu kau diamati: amati sifat-sifat khasnya masing-masing. Tidak ada dua manusia yang sama serupa seluruhnya. Tiap manusia unik. Pahami keunikan masing-masing, dan hormati keunikan pemberian Allah swt. Selain itu juga, pahami di tahap apa saat ini si anak berada. Allah swt mengkodratkan segala sesuatu sesuai tahapan atau prosesnya. Pendidikan anak dalam Islam, menurut Ali ra dapat dibagi menjadi 3 tahapan/ penggolongan usia, yaitu tahap la’ibuhum (ajaklah mereka bermain), dari lahir sampai kira-kira 7 tahun, tahap ’addibuhum (ajarilah mereka adab/ kedisiplinan), dari kira-kira 7 tahun sampai 14 tahun. Terakhit tahap râfiquhum (jadikanlah mereka sebagai sahabat/kemitraan) kira-kira mulai 14 tahun ke atas.
Kira-kira, gambaran pribadi seperti apakah yang kita harapkan akan muncul pada diri anak-anak kita setelah hal-hal di atas kita lakukan? Mudah-mudahan seperti yang ada dalam sepuluh poin target pendidikan Islam ini: selamat aqidahnya, benar ibadahnya, kokoh akhlaqnya, mempunyai kemampuan untuk mempunyai penghasilan, jernih pemahamannya, kuat jasmaninya, dapat melawan hawa nafsunya sendiri, teratur urusan-urusannya, dapat menjaga waktu, dan berguna bagi orang lain.
Mengajak generasi meniti jalan yang lurus untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, Allah swt akan membalas dengan pahala terbaik atas penjagaan amanah yang merupakan perhisan dunia. Allah swt berfirman, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (QS. Al-Kahfi: 46). Ibnul Qayyim ra berkata, “Barangsiapa menelantarkan pendidikan anaknya dan meninggalkan apa yang bermanfaat buat mereka, maka dia telah merusak masa depan anak. Kebanyakan anak tidak bermoral hanya karena bapak mereka tidak peduli terhadap pendidikan mereka, sehingga para bapak tidak dapat mengambil manfaat dari anak, dan anak (pun) tidak akan memberikan manfaat kepada bapaknya ketika telah besar.”
Oleh sebab itu, mari didik anak-anak kita di tempat yang tepat. Pilihkan tempat pendidikan mereka yang tidak hanya berorientasi pada dunia semata. Tetapi, orientasi akhirat lebih utama dan mulia. Sungguh ilmu dan iman itu lebih utama untuk diwariskan daripada emas dan permata. Semoga Allah SWT memberikan petunjuk untuk mendidik anak-anak kita dan menjadikan mereka keturunan yang shalih dan shalihah.
Editor: Renci