Oleh: Muhammad Habibi (Mahasiswa Magister Hukum Universitas Lampung)
Nawacita “Mewujudkan Indonesia Maju 2045” mungkin sudah tidak asing lagi terdengar di telinga, bahkan tersimpan dalam memori kita. Saat ini, salah satu upaya menuju capaian besar tersebut dilakukan pemerintah Republik Indonesia pada sektor perekonomian melalui Undang-Undang Cipta Kerja. Dengan mahakarya hukum tersebut, pemerintah mencoba mengejar peningkatan ekonomi masyarakat pada Tahun 2024. Lantas, benarkah Undang-Undang Cipta Kerja dibentuk guna melandasi visi kesejahteraan ekonomi masyarakat mendatang?
Omnibus Law Cipta Kerja
Undang-Undang Cipta Kerja sendiri merupakan terobosan hukum baru yang dilakukan pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) menggunakan metode “Omnibus Bill” atau pengertian lainnya “Omnibus Law”. Istilah itu merupakan penggabungan berbagai Undang-Undang ke dalam satu Undang-Undang guna mencapai suatu tujuan tertentu, baik berkaitan maupun tidak berkaitan dengan tujuan tersebut. Metode pembentukan Undang-Undang seperti ini kerap digunakan berbagai negara yang menganut sistem hukum common law atau hukum kebiasaan seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada (walaupun campuran) dan lain sebagainya. Sedangkan Indonesia, menganut sistem hukum civil law atau hukum prosedural/administratif yang dianut Jerman, Perancis, Belanda dan Indonesia.
Prakarsa Undang-Undang Cipta Kerja ini ialah pemerintah sendiri. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah menyoroti sektor perekonomian masyarakat merupakan masalah klasik yang sulit diatasi. Pemerintah beranggapan, beragam sekali masalahnya, mulai dari banyaknya Undang-Undang yang mengatur persoalan perekonomian, tumpang tindihnya kewenangan pembentuk aturan dan izin oleh pemerintah pusat dan daerah hingga rumitnya birokrasi pemerintah. Sehingga, Undang-Undang Cipta Kerja ini salah satu tujuan pembentukannya untuk menaikkan jumlah invenstor lokal dan internasional, dengan harapan meningkatkan perekonomian masyarakat dimasa yang akan datang. Namun, apakah alasan tersebut menggambarkan begitu beragamnya masalah ekonomi Indonesia dengan menambah ruang bagi investor sebagai penyelesai masalah?
Cipta Kerja, Antara “Visi Kesejahteraan VS Realita”
Sejatinya, kita harus mengapresiasi upaya pemerintah memperbaiki kondisi perekonomian masyarakat saat ini lewat Undang-Undang Cipta Kerjanya. Namun perlu dicatat, bentuk apresiasi tersebut tidak serta merta menghilangkan keilmiahan analisis objektif suatu kebijakan pemerintah. Memang patut disadari, saat ini Indonesia harus cepat beradaptasi pada persaingan ekonomi global, jika tidak mau tertinggal dengan negara Asean lain, seperti Malaysia, Singapura maupun Thailand. Sebab, tingkat Pendapatan Domestik Bruto (PDB/GNP) negara kita masih mengalami kemandekan, dengan total hanya mencapai angka lima persen setiap tahunnya. Sayangnya, pemerintah kita terlalu berambisi mengejar ketertinggalan, tanpa sadar perlu adanya pembenahan terlebih dahulu kepada aspek pemerataan kesejahteraan masyarakat.
Undang-Undang Cipta Kerja ini memang menghendaki banyaknya investor yang akan menaruh modal usahanya dalam negeri. Upaya tersebut akan dilakukan pemerintah dengan langkah pemerataan pembangunan infrastruktur, kebijakan kemudahan berusaha dan membuka sebesar-besarnya lapangan pekerjaan melalui keberpihakan kebijakan pada usaha kecil menengah. Ditambah lagi, pemerintah pun akan meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) melalui pemanfaatan teknologi dan digitalisasi informasi. Jika dikaitkan visi pemerintah tersebut dalam Undang-Undang Cipta Kerja, mungkinkah visi tersebut dapat dilaksanakan dalam waktu realitf singkat? Terlebih, politik hukum pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja ini berdasar pada RPJMN 2020-2024.
Menganilisis suatu visi dan misi pemerintah tersebut tentunya harus dikaitkan pada kondisi nyata kehidupan masyarakat. Saat ini saja, pemerintah belum mampu mendata detail rasio tingkat perekonomian masyarakat di setiap Provinsi. Belum lagi, merebaknya virus Covid-19 yang tak kunjung mereda menjadi salah satu faktor naik turunya perekonomian masyarakat hingga saat ini. Pun halnya reformasi birokrasi yang terus dilakukan pemerintah melalui berbagai macam kebijakanya, belum menunjukan keberhasilan mengatasi permasalahan administrasi negara.
Sedikit hasil analisis saya terhadap Undang-Undang Cipta Kerja menunjukan jika Undang-Undang ini terlalu disusun terburu-buru. Undang-Undang yang mengatur sebelas klaster pengaturan (jenis-jenis aturan) yang menggabungkan delapan puluh dua Undang-Undang berlaku, dengan memasukan dua ribu lima ratus tujuh belas pasal dimana dalam jumlah tersebut beberapa ketentuannya ada yang sudah dicabut, direvisi atau dipadukan ke dalam seratus tujuh puluh empat pasal dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Saya dapat menyimpulkan, untuk sementara ini dalam pelaksanaanya Undang-Undang Cipta Kerja sulit dilaksanakan, sebagus apapun visi pembentukannya.
Alasannya, pertama, sistem hukum negara kita mendasari Undang-Undang sebagai sumber hukum tertinggi, berbeda dengan negara Amerika Serikat atau Inggris yang mendasari aturan tertingginya pada putusan hakim, bukan pada Undang-Undang. Artinya, menurut hemat saya, pemerintah bersama legislatif sejatinya harus terlebih dahulu melakukan harmonisasi (penyelarasan) seribu enam ratus sekian Undang-Undang yang masih berlaku sebelum melakukan simplifikasi (penyederhanaan) berbagai peraturan di Indonesia seperti Undang-Undang Cipta Kerja ini. Kedua, akibat hukum yang ditimbulkan dari pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja berpotensi menghilangkan kewenangan pemerintah daerah dalam membentuk peraturan dibawah Undang-Undang. Jelas saja, dengan karakteristik Indonesia sebagai negara yang menganut prinsip otonomi daerah atau pembagian kekuasaan pemerintah pusat dan daerah, Undang-Undang Cipta Kerja justru menghendaki segala bentuk pengaturan harus melalui pemerintah pusat.
Ketiga, dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja yang dibentuk dengan tujuan penyerdehanaan aturan dibawah Undang-Undang dengan memangkas jumlah Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri/Lembaga, serta Peraturan Daerah, justru alasan ini tidak sesuai pada penerapannya. Mengapa demikian? Undang-Undang Cipta Kerja yang mengatur seratus tujuh puluh empat pasal, dalam setiap pasalnya justru melahirkan peraturan-peraturan teknis baru dimana kita tidak tahu berapa jumlah peraturan teknis saat ini yang masih berlaku dan yang tidak berlaku lagi.
Dan terakhir, dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja ini memperlihatkan kepada kita jika pemerintah sendiri bersama legislatif nyatanya tidak benar-benar serasi menyusun aturan hukum. Hal tersebut terlihat dari menurunnya fungsi legislasi DPR-RI yang seolah-olah saat ini pemerintah yang fungsinya adalah eksekusi kebijakan, justru lebih banyak berperan dalam merancang legislasi di Indonesia (dalam praktiknya).
Evaluasi Aturan Cipta Kerja sebagai Penyelesai Masalah Dengan Masalah
Sebenarnya, jika dijabarkan lebih banyak lagi problem pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja, maka akan terlalu banyak penjabaran dalam tulisan ini yang dapat mengaburkan inti pemabahasan. Namun, setelah saya gambarkan beberapa masalah akibat dari pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja, setidaknya pembaca tahu ternyata Undang-Undang Cipta Kerja ini perlu dievaluasi. Saya menawarkan beberapa catatan evaluasi, baik dari segi proses pembentukan, implikasi serta tantangan pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja ini diantaranya. Pertama, dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja, pemerintah bersama legislatif belum sepenuhnya menyusun penataan pembentukan Undang-Undang di Indonesia ini secara sungguh-sungguh.
Kedua, pemerintah terlalu terburu-buru melakukan terobosan hukum guna menyelesaikan masalah perekonomian masyarakat dalam waktu yang sangat singkat, jenjang waktu empat tahun saja. Hal tersebut tercermin dari alasan pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja yang dilandasi oleh RPJMN 2020-2024. Sejatinya, baik itu proses penyusunan, perumusan, serta pengesahan Undang-Undang harus dilakukan dalam waktu yang lama, sebab saat ini masih banyak Undang-Undang yang harus dievaluasi terlebih dahulu, baru setelah itu terobosan hukum dapat dilakukan. Ketiga, pembenahan hukum di Indonesia hanya merujuk pada kepentingan politik jangka pendek semata, tidak dalam jangka waktu yang panjang yang dapat dilakukan oleh pemerintah selanjutnya.
Evaluasi yang ketiga ini wajar terjadi. Sebab, pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Indonesia merubah kepentingan politik pemerintah jangka panjangnya. Dimana sebelumnya tertuang dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN), berubah menjadi RPJMN maupun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang dirumuskan dalam bentuk Undang-Undang. Artinya, hal tersebut menandakan kepentingan pembangunan hukum jangka panjang Indonesia sulit terwujud. Pemerintah yang menjabat saat ini atau yang menjabat dimasa mendatang, belum tentu memiliki visi yang sama dalam menyusun aturan hukum di Indonesia. Terakhir, apakah benar dalam pelaksanaanya Undang-Undang Cipta Kerja ini menjadi landasan bagi pemerintah melakukan pemerataan ekonomi. Sedangkan, sebagaimana khalayak umum mengetahuinya, kesenjangan ekonomi masih banyak terjadi pada masyarakat kita. Justru saya khawatir, dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja ini menjadikan landasan hukum baru kepentingan kapitalistime terselubung melalui persaingan ekonomi bebas secara lokal dengan balutan kemudahan berusaha.
Editor: Renci
Analisis tajam dan mendalam..Mantap !
Visi dan misinya sangatlah tidak berkesinambungan dengan realita yang ada, yang ada rakyatlah yang di buat kebingungan, menderita, dan sengsara.
apalagi sudah mulai di gembor-gemborkan dengan baleho 2024 , 2021 saja sudah begini apalagi 2024. Mau jadi apa negeri kite ini? 🤡