Oleh Samson Fajar
Bias Iman
Kata iman saat ini menjadi banyak penafsiran, karena mayoritas menganggap bahwa iman adalah sholat, puasa, zakat dan haji. Iman adalah masjid, zikir, majlis taklim, berjenggot dan berpeci.
Pemahaman ini adalah pemahaman simbolistik manusia yang secara mayoritas mereka menafsiri dengan pandangan empiris, pandangan inderawi. Ini dipengaruhi pola berpikir ilmiah yang meletakkan dasar keilmiahan hanya pada fakta empiris. Sehingga penyebutan iman adalah pada gejala yang ditimbulkan oleh iman itu, sedangkan iman bukanlah gejalanya, tetapi lebih universal dari itu.
Pandangan iman hanya melihat pada gejala yang nampak hasil pengaruh dari iman, hakikatnya tidak salah, akan tetapi sangat berbahaya ketika ini menjadi dasar beripikir atau berlogika, karena ini akan mengarah pada kesalahan justifikasi dan kesimpulan.
Kesalahan justifikasi menganggap iman pada level simbol ini sangat berbahaya, karena ini akan mengantarkan manusia kepada paham khawarij. Sebagaimana dalam sebuah riwayat: Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di antara umatku ada orang-orang yang membaca Alquran, tetapi tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka membunuh orang Islam dan membiarkan penyembah berhala. Mereka keluar dari Islam secepat anak panah melesat dari busurnya. Sungguh, jika aku mendapati mereka, pasti aku akan bunuh mereka seperti (Nabi Hud) membunuh kaum Aad,” (HR Muslim No 1.762).
Pehamaman iman berdasarkan gejala iman saya sebut sebagai pemahaman iman sumbu pendek, karena tidak komprehensif dan tidak universal. Pemahaman ini bisa terjadi pada orang sekuler dan juga orang yang over fundamental.
Hakikat iman
Iman dalam pengertian bahasa adalah berasal dari kata amana, yu’minu, iimaanan yang bermakna mempercayai dan membenarkan, jika dalam bentuk mujarrad tsulasi bermakna tenang atau tumakninah. Artinya secara bahasa dapat dimaknai suatu kepercayaan, keyakinan dan pembenaran yang menghantarkan pada ketenangan.
Secara istilah iman adalah keyakinan dalam hati, ucapan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan. Makna inilah hakikat iman, yang universal dan komprehensif. Sehingga iman lebih pada keyakinan (i’toqad) yang berkaitan erat dengan keyakinan hati, nalar fikir dan pemahaman yang mendalam dan rasional. Iman juga keberanian mengungkapkan nilai iman dengan lisannya, karena kepercayaan dirinya akan kebenaran iman tersebut, kata-kata yang keluar hanyalah sesuatu yang sesuai dengan iman. Iman juga implementasi dalam amal nyata, berbentuk segala kebaikan yang menuju ridho Allah, baik ubudiah, akhlak maupun muamalah akhlakiah. Sebagaimana dalam QS. Al hujurat ayat 14 -15, dalam ayat ini menunjukkan bagaimana Allah SWT membedakan mana Islam dan iman, Islam adalah sesuatu yang hanya ungkapan saja, sedangkan iman adalah ungkapan, keyakinan tanpa ragu dan amal. Sehingga iman tidak mungkin dikaitakan hanya pada ruang dzahir dan simbolistik.
Dengan pemahaman sekulerisme, masyarakat yang menganggap iman adalah hanya masjid dan ritus keagamaan ini akhirnya menghasilkan pemahaman agama tidak ada kaitannya dengan ruang kehidupan manusia, ruang politik, budaya, hukum, pendidikan dan tekhnologi. Sedangkan iman adalah ruh dari setiap bidang hidup manusia, karena dengan iman semua akan menjadi nilai ibadah, akan lebih terarah dan jauh dari nilai-nilai kerusakan yang membuat dunia semakin jauh dari ridho Allah SWT.
Iman dan kecerdasan
Umat Islam hendaknya memiliki keyakinan dan kepercayaan diri untuk mengatakan bahwa iman adalah kecerdasan tertinggi, karena dengan iman mereka mampu memahami kehendak Allah SWT, memahami tujuan hidupnya dan bagaimana dirinya harus hidup. Orang beriman adalah orang yang memahami tujuan penciptaan dirinya, bahwa Allah SWT menciptakan dirinya untuk dua hal, yaitu ibadah dan khilafah.
Tujuan ibadah adalah menguji manusia akan ketaatan dirinya kepada Allah SWT, bagaimana ketundukan dirinya. Karena sebelum dirinya naik level mengambil hak khilafah, dirinya harus telah tuntas hak ibadahnya. Sehingga ketika dia mengambil peran sebagai seorang khilafah, dirinya benar-benar terkontrol dengan nilai ibadahnya. Dari sini akan terhindar dari segala penyimpangan sebagai khilafah. Akan tetapi faktanya, banyak yang obsesi kekhilafahanya tinggi, tetapi lupa akan hak ibadahnya, yang terjadi kerusakan dan kehancuran.
Tujuan khilafah diberikan karena manusia diciptakan memiliki akal, akal yang aktif, kreatif dan produktif. Khilafah adalah mengaktifkan fungsi akal, sedangkan ibadah mengaktifkan fungsi hati. Dengan dasar ini, hendaknya manusia mendahulukan fungsi hati dari pada fungsi akal. Karena hati adalah penenang akal, pengontrol hidup manusia, tanpa hati manusia akan merasa capek dan lelah, karena tidak ada ketenangan. Itulah yang terjadi saat ini, betapa banyak orang cerdas yang bunuh diri, korupsi dan melakukan penyimpangan, karena fungsi hati yaitu ibadah di abaikan.
Dengan memahami tujuan ini, maka orang beriman akan merencanakan kehidupannya, membuat forcasting hidupnya, bagaimana menjalani hidup dengan bimbingan Allah SWT dalam Al Qur’an dan as Sunnah. Islam diyakini oleh orang yang beriman adalah sistem hidup yang universal, dengannya manusia akan bahagia dunia dan akhirat. Bukan agama yang hanya berkaitan dengan ritus keagamaan yang rutin, tetapi agama yang membimbing seluruh gerak hidup manusia.
Sudah waktunya umat Islam, terutama generasi muda Islam memiliki konfidensi untuk membawa iman dalam ruang publik dan mengikrarkan sebagai kecerdasan tertinggi manusia. Semua lembaga pendidikan hendaknya berani menjadikan iman sebagai visi terdepan, yang akan ter-breakdown dalam misi, tujuan dan program nyata. Bukan Visi yang simbolistik untuk kelengkapan administrasi yang menipu. Iman yang mencerahkan kehidupan manusia, menerangi kegelapan jahiliah manusia, yang mana mereka lupa akan tujuan hidupnya, terlena dengan dunia yang hanya fana dan fatamorgana. Jangan ditunda-tunda untuk beriman dengan benar, jadikan iman sebagai jalan hidup dan jalan sukses, agar mampu merebut peradaban mulia akhir zaman.
Editor: Renci