Oleh. Agus Wibowo
Dialog merupakan peristiwa terjadinya interaksi secara langsung antara dua pihak yang dijadikan kesempatan dalam tukar menukar informasi, berbagi pengalaman dengan bertatap muka dan melihat kehadiran yang lain sebagai subjek. Salah satu penyebab terjadinya kemacetan dalam proses dialog adalah cara pandang masyarakat yang sudah banyak dipengaruhi oleh modernisasi. Bagi individu yang narsistik akibat bekal keyakinan pada diri yang menganggap dirinya sudah mengerti sepenuhnya, maka mendengarkan orang lain berbicara merupakan hal yang sulit, dan yang kemudian terjadi adalah peristiwa monolog atau komunikasi satu arah. Secara kasat mata mungkin kita seperti melihat sebuah peristiwa dialog, dengan saling melontarkan argumen masing-masing, namun sejatinya dialog tidaklah benar terjadi jika hanya lebih mengedepankan berbicara dari pada saling mendengar. Sehingga yang dihasilkan dari peristiwa monolog tersebut hanyalah kebisingan tanpa memahami dari apa yang dibicarakan.
Dewasa ini dialog bisa menjadi salah satu alternatif dalam memecahkan berbagai masalah, baik antar individu ataupun kelembagaan. Pergeseran kultur dan pengaruh globalisasi tentu akan membawa dampak besar terhadap pola berpikir masyarakat, sebut saja satu contoh pengaruh globalisasi yang membawa berkembangnya teknologi, yang semakin memudahkan masyarakat untuk berinteraksi tanpa harus bertatap muka. Selain itu arus informasi semakin cepat dan mudah untuk diakses, keadaan ini yang menjadikan dialog dianggap tidak penting hingga menjadi hilang. Individu sudah seperti kehilangan nilai sosial kemasyarakatannya disebabkan oleh informasi yang didapat kemudian masuk ke dalam pikiran dan mengkonstruksi cara pikir yang menjadikannya individu narsistik.
Kesadaran untuk melakukan dialog menciptakan keharmonisan dengan kesalingpahaman antara satu sama lain menjadi sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara yang besar tentu akan besar pula tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan keharmonisan bernegara. Mengingat kembali perkataan salah satu presiden ke empat Indonesia Abdurrahman Wahid (1999) yang pernah mengatakan “Sebagai bangsa kita terlanjur heterogen dan pluralistik”. Bagi seorang pemimpin negara, tidak ada pilihan lain untuk menjaga kesatuan dan persatuan di tengah masyarakat yang heterogen dan plural selain menempuh jalan dialog untuk saling memahami apa yang dirasakan oleh rakyatnya. Seorang pemimpin negara yang juga sebagai individu bisa saja memiliki pengetahuan, namun belum tentu memiliki pemahaman, sebab pemahaman tidak hanya dimaksudkan untuk memperoleh data melainkan juga untuk menangkap makna.
Persoalan yang muncul diakibatkan oleh hilangnya dialog menjadi hal yang sangat disayangkan, mengingat negara ini adalah negara yang berbudaya, dengan memegang teguh toleransi kebhinekaan, sehingga bisa disimpulkan bahwa dialog seharusnya digunakan sebagai akses membuka diri untuk menerima masukan dan kemungkinan-kemungkinan lain dalam menentukan sikap dan kebijakan yang akan diambil. Hal ini disebabkan karena negara dan rakyat memiliki relasi dan hubungan yang erat. Tugas negara ialah untuk menjamin setiap hak warganya, dan dialog menjadi alasan dasar dari semua kemungkinan setiap kebijakan yang akan diambil oleh negara. Karena jika tidak, maka keharmonisan dan kesejahteraan hanya akan menjadi mimpi belaka.
Gagasan-gagasan ideal tentang dialog yang dikemukakan dan dipraktikkan oleh pendiri negara ini harusnya menjadi memorial yang tak terlupakan, sekaligus juga menjadi referensi untuk membaca tentang apa yang menjadi tujuan awal dari terbentuknya negara ini. Namun fakta yang banyak muncul dipermukaan justru berseberangan, banyak kebijakan-kebijakan yang digelontorkan justru malah banyak menimbulkan kegaduhan, dan lahir dari kepentingan lingkaran oknum tertentu. Sehingga keharmonisan dalam bernegara hanya akan menjadi lamunan bagi masyarakat yang tak berdaya.
Kedaulatan merupakan basis utama pada eksistensi sebuah negara. Dinamika dialektika bernegara akan menentukan bagaimana pola hubungan dialogis antara penguasa dengan rakyatnya dalam kerangka berbangsa dan bernegara.
Editor : Tri Hanifah