Oleh: Mansurni Abadi (Wakil Presiden 2 graduate ambassador universitas kebangsaan Malaysia dan penggerak literasi bersama nadi siswa Malaysia)
Pekik teriakan lawan, lawan, lawan bergema dari depan dataran merdeka, tempat yang pada tahun 1957 itu menjadi saksi bisu berdirinya Federasi Malaysia. Tepat pada pukul 11 siang diakhir Juli yang selalu diromantiskan dengan banyak kenangan, rasanya dikala itu Juli memberikan salam perpisahannya dengan cara yang lain bagi Kuala Lumpur, kota yang sudah setahun lebih kehilangan keramaian turisnya, alunan gitar di tepian bukit bintangnya, apalagi sekedar tawa-canda rakyatnya di kedai mamak sembari menunggu lampu menara kembar padam.
Kala itu, sekumpulan anak muda berjumlah sekitar 500 orang dengan pakaian serba hitam, namun bukan anarko, karena mereka masih percaya pada kekuatan “Negaraku”, sembari mengibarkan bendera jalur gemilang (Malaysia) ditangan kanannya. Mereka menuntut agar Perdana Menteri untuk mundur. Tuntutan seperti itu terbilang berani dalam konteks Malaysia, dimana peraturan terkait hasutan jauh lebih kuat penegakannya ketimbang di Indonesia serta respon publik terhadap gerakan rakyat cenderung di persepsikan negatif.
Belum lagi gerakan mahasiswa di Malaysia juga tidak seaktif di Indonesia. untuk mengumpulkan mahasiswa turun demonstrasi itu perkara bukan cuma sulit, tetapi juga aneh . Bukan karena para mahasiswa di Malaysia Itu tidak memiliki kepedulian, hanya saja lingkungan sosial mereka sudah terbilang cukup memberikan kenyamanan dan isu yang terjadi dikalangan mereka pun berhasil di handle dengan baik oleh Universitas.
Bahkan, kenyamanan ini bukan sebatas angin surga ala seorang Menko, tetapi telah dibuktikan secara langsung melalui pembentukan badan penunjang kemudahan finansial dan fasilitas pendidikan bagi seluruh rakyat, seperti pendirian Perbadanan Tabung Pendidikan Tinggi Nasional (PTPTN) di tahun 1997 untuk skala nasional dan Majelis Amanah Rakyat (MARA) di tahun 1966 untuk rakyat diwilayah-wilayah di luar kota besar yang tujuan utamanya memberikan pinjaman pendidikan bahkan beasiswa dengan prosedur yang mudah, cepat, dan tanpa adanya potongan.
Disisi lain, para mahasiswanya telah lama diikat lewat normalisasi kehidupan kampus, kalau disini disebut dengan akta Universitas. Dalam akta itu, Universitas sebisa mungkin harus menjauhkan segala bentuk aktivisme di lingkungan pendidikan, apalagi yang bisa mengancam keamanan nasional. Hasilnya, untuk bergerak lebih jauh menyuarakan idealisme menjadi pertimbangan yang perlu di pertimbangkan sedalam-dalamnya, karena kalau tertangkap tamatlah riwayat.
Namun, krisis yang tak kunjung reda sepertinya memberikan sedikit goncangan terhadap internalisasi kenyamanan sekaligus ketakutan ini. Semua berawal pada pertengahan 2021, sekelompok anak muda mempopulerkan hastag keluar dan lawan dengan satu semboyan “kita telah lama mati dalam kepatuhan (pengendalian), maka sekarang hidup dalam derhaka (perlawanan)”. Hastag ini kemudian viral berdampingan dengan gerakan kibar bendera putih, jika gerakan putih hanya berfokus pada sosial, maka gerakan bendera hitam berfokus pada politik, yang menurut para penggagasnya dalam sektariat solidaritas rakyat bertujuan untuk melawan aawan al-zulmah (boneka kezaliman).
Karena sudah masuk ranah politis, pemerintah pusat pun akhirnya ketar-ketir, operasi untuk interograsi pun dilakukan oleh polisi Malaysia setelahnya dengan memanggil seluruh peserta aksi. Buat saya, yang menetas di negara dengan budaya demonstrasi yang menjadi keseharian dan selalu saya tonton, bahkan sesekali rasakan meskipun hanya menjadi bagian yang diam, berdiri, berfoto, lalu pulang. Sebenarnya, himpunan lawan ini, tidak tergolong demonstrasi yang besar secara kuantitas, apalagi terorganisir secara kualitas, karena hasil akhirnya polisi dengan mudah melacak para pencetusnya bahkan masyarakat Malaysia tidak mau ambil bagian didalamnya.
Tetapi dalam konteks studi tentang kondisi yang terkait dengan awal mula kemunculan gerakan rakyat yang organik pada situasi yang terbilang telah nyaman dan kuat dalam pabrikasi persetujuannya sebagai kata Chomsky, kehadiran protes sekecil apapun tetap perlu diwaspadai, bahkan harus dianggap sebagai ancaman karena menjadi tanda-tanda adanya perubahan di aspek kognitif dari kondisi yang selama ini telah di buat secara sempurna.
Tentunya ada alasan ilmiah kenapa bisa terjadi dan saya tertarik mengambil pendapat dari James C scoot dalam bukunya Domination and the arts of resistance yang mencatat ada tiga pra-kondisi alamiah yang mendorong terjadinya gerakan aktivisme di lingkungan mahasiswa yang sudah terkondisikan untuk anti terhadap aktivisme itu sendiri, yaitu pertama, adanya krisis multidimensional yang tidak terduga namun tidak kunjung terselesaikan. Kedua, adanya unsur dari dalam pemerintah yang mempertontokan sikap tidak profesional dan peka terhadap kemanusiaan. Ketiga, adanya kegagalan kampus dalam mengawal kesejahteraan mahasiswa dimasa krisis secara instan, seperti yang mereka lakukan sebelum pandemi.
Kombinasi ketiga hal itu akan memantik gerakan protes yang awalnya verbal menjadi aksi nyata dan meggoyahkan kenyamanan menjadi perlawanan. Perihal adanya kesadaran atau tidak itu urusan nanti, karena dalam prinsip aksi yang terpenting ada dorongan untuk berpikir secara diagnostik memecahkan kebuntuan dalam jebakan kenyamanan dan ada target massa yang akan digerakkan setelahnya. Menurut Gramschi dalam catatan dari penjaranya pada kesadaran itu proses yang panjang dan memang butuh konsistensi dalam level gerakan dan komitmen dalam level individual para penggeraknya untuk mewacanakan narasi-narasi yang berbeda dari perancangan penguasa. Apa yang dapat kita pelajari dalam konteks ini? Nyatanya, kenyamaman tidak bisa menutupi perlawanan, karena logika perlawanan akan selalu muncul dalam setiap celah-celah kesalahan yang dibuat oleh pemerintah, apalagi disaat berhadapan dengan krisis yang panjang. Apalagi di era media sosial, dimana setiap orang bisa mengetahui sekaligus menganalisa letak kesalahan pemerintah, kalau terlambat berbenah bisa saja gerakan ini akan semakin membesar, tetapi untungnya di Malaysia gerakan rakyat masih dipandang tabu, ada batasan-batasan adat tentang sejauh mana harus bergerak, meskipun terkadang batasan itu kini di langgar oleh anak mudanya, tetapi untuk sampai pada konteks yang lebih besar masih jauh lagi, karena prinsip budaya Malaysia lebih baik bertikam lidah daripada harus turun bertikam badan.
Editor: Renci