Oleh: Samson Fajar
Dalam paradigma ilmu, tasawuf menjadi perdebatan, antara kelompok yang mendukung dan menolak eksistensinya. Akan tetapi, saya akan memaknai tasawuf sebagai sebuah istilah dalam sejarah peradaban, bahwa tasawuf adalah ilmu untuk melakukan proses pensucian diri (tazkiah dan tashfiah). Selanjutnya, bisa dimaknai pula sebagai sof (barisan), suf (kain wol), hingga ke bahasa Yunani sophos (hikmat). Kata al-suffah misalnya, menggambarkan keadaan orang yang rela mencurahkan jiwa-raga, harta-benda, dan lainnya hanya untuk Allah SWT, setia mengikuti dakwah Rasulullah selagi susah.
Namun demikian, dari sisi linguistik, tasawuf dapat dipahami sebagai sikap mental. Sikap mental yang senantiasa memelihara kesucian diri, ibadah, menjalani kehidupan dengan sederhana, hingga sikap rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bijaksana. Dari sisi istilah, pengertian tasawuf, manusia yang memiliki keterbatasan berupaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia. Kemudian mereka memusatkan perhatian hanya kepada Allah SWT.
Sehingga disimpulkan bahwa, tasawuf pada intinya adalah upaya untuk melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia. Hal itu dilakukan guna tercermin akhlak yang mulia dan senantiasa pelakunya dekat dengan Allah SWT. Dari pengertian-pengertian tersebut, hakikatnya tidak ada yang perlu diperdebatkan, karena tasawuf sama dengan tazkiyatun nafsi (istilah Ibnu rajjab, Ibnu Qayyim dan Al Ghazali). Karena tashawuf melatih hidup sederhana, hidup dengan kesucian hati, dan bijaksana. Sehingga ilmu tasawuf lebih mengedepankan mengkaji nilai-nilai hati, nilai-nilai kebijaksanaan.
Mengapa tashawuf penting di masa pandemi?
Dalam perkembangan ilmu kesehatan, diakui bahwa sebab penyakit fisik sebenarnya bukan karena penyebab fisik saja, akan tetapi mental spiritual seseorang sangat mempengaruhi. Hal ini dapat dilihat dari beberapa penelitian, Menurut meta analisis Universitas Harvard pada 2012, orang yang punya optimisme memiliki jantung yang lebih sehat dan bahkan dapat menurunkan laju perkembangan penyakit. Faktor-faktor lain, seperti kepuasan hidup dan kebahagiaan, dikaitkan dengan penurunan risiko penyakit kardiovaskular, terlepas dari faktor-faktor seperti usia seseorang, status sosial ekonomi, status merokok, atau berat badan.
Emosi negatif seperti kemarahan ternyata juga bisa memicu serangan jantung dan masalah fisik lainnya. Melansir dari Mental Health Foundation, orang dengan tingkat kesusahan tertinggi punya peluang 32 persen meninggal karena kanker. Sedangkan seseorang yang mengalami depresi, diketahui mengalami peningkatan risiko penyakit jantung koroner. Emosi positif ternyata berkorelasi dengan keadaan mental seseorang, begitu pula sebaliknya. Stres adalah contoh yang paling umum. Menurut American Psychological Association (APA), seseorang yang mengalami stres seringkali mengalami sakit perut. Lantas, bagaimana jadinya kalau seseorang mengalami stres kronis? Stres kronis yang tidak kunjung diobati mampu melemahkan tubuh dari waktu ke waktu.
Demikianlah bagaimana kesehatan mental sangat besar pengaruhnya dalam kesehatan fisik. Sehingga untuk menjadi sehat dalam masa pandemi saat ini, salah satu jalan sehatnya adalah menguatkan kesehatan mental spiritual. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini saya membangun istilah tasawuf pandemic, artinya menyikapi pandemi dengan tasawuf, sebagai salah satu jalan sehat yang efektif.
Mengapa tashawuf menjadi jalan sehat? Karena tasawuf menekankan pada inti kajian zikrullah atau mengingat Allah SWT. Dengan mengingat Allah SWT, maka hati akan tenang. Sebagainya Allah SWT berfirman yaitu “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (Ar ra’du ayat 28).
Ketentraman hati akan menjadi obat, kepanikan akan menjadi penyakit, bahkan sebab memperparah kondisi sakit. Orang yang selalu mengingat Allah dan bersandar kepada Allah SWT, tidak akan fokus pada sakitnya, tetapi dia akan fokus kepada kebahagiaan ketika dia diberikan musibah sakit. Sehingga ketika orang yang selalu ingat kepada Allah SWT, penyakit serasa kecil, dan tidak mempengaruhi rasa syukurnya kepada Allah SWT. Rasa syukur ini akan membuat dirinya merasa bahagia, dan tidak terpengaruh dengan segala kondisi yang ada.
Di masa pandemi, bagi orang yang sakit, kemudian selalu mengingat sakitnya, dan apalagi dengan berita kematian setiap hari, maka akan menambah rasa sakitnya. Sehingga dalam kondisi pandemi, nilai ketenangan dan optimisme (roja’) adalah paling penting. Menghadirkan Allah SWT sebagai penyembuh, akan menghapus dosanya, memberikan pahala kepadanya dan akan menjadi pelindungnya. Optimis bahwa kesembuhan akan datang, optimis bahwa akan berkumpul dengan berkeluarga dan lainya.
Jangan terpengaruh dengan kabar kematian, walau mungkin di depan mata, tetapi yakinlah bahwa ajal ada ditangan Allah SWT. Amaliah shufiah dimasa pandemi ini sangat penting, mungkin kita sedikit tidak sepakat dengan pernyataan “Jangan takut dengan korona, takut hanya kepada Allah”. Hakikatnya jika dimaknai positif, ini bukan berarti sombong, kemudian berlaku seenaknya, tidak menjaga diri dari virus, tidak menjaga prokes dan lainya. Akan tetapi, saya lebih pada nilai sufiah, bahwa ini memotivasi bahwa Corona tidak memberi mudhorot, kecuali atas izin Allah. Jikalau ada yang sakit Corona, maka fokus saja sama Allah, karena corona tidak ada mudhorot sedikitpun tanpa izin Allah. Sehingga ketenangan ini akan hadir.
Dalam riwayat tersebut diceritakan pada suatu masa, muncul segerombolan makhluk Allah berupa wabah penyakit ganas yang hendak memasuki Kota Damaskus. Dalam perjalanan menuju Kota Damaskus, mereka bertemu dengan salah satu Wali Allah. Kemudian, terjadilah percakapan. Waliyullah bertanya, “Mau ke mana kalian?” Wabah menjawab, “Kami diperintah oleh Allah untuk memasuki Damaskus.” Waliyullah bertanya lagi, “Berapa lama dan berapa banyaknya korban?” Wabah itu pun menjawab, “Dua tahun dengan seribu korban meninggal.”
Dua tahun kemudian, jumlah korban meninggal ternyata mencapai 50 ribu orang. Ketika Sang wali bertemu kembali dengan wabah penyakit ini, ia pun bertanya, “Kenapa dalam dua tahun kalian memakan korban 50 ribu orang? Bukannya kalian janji hanya seribu orang meninggal?” Wabah itu pun menjawab, “Kami memang diperintah Allah untuk merenggut seribu korban. Empat puluh sembilan ribu korban lainnya meninggal dikarenakan panik.”
Kisah ini ada dalam kitab Hilyatul Auliya, mungkin bagi orang-orang modern akan sedikit menolak kisah ini, karena ketidakmungkinan manusia berbicara dengan wabah. Tetapi dalam pendekatan karomah kewalian, hal ini bukan suatu hal mustahil. Hikmah yang bisa diambil adalah hindari kepanikan, fokuskan pada ketenangan, zikrullah, Karena bagi orang beriman, tidak ada rasa sedih pada dirinya. Ibnu Qayyim memesankan bahwa janganlah kita bersedih, karena sedih adalah pintu syetan, melemahkan tekad dan membuat kita semakin terpuruk. Maka, ciri orang beriman adalah selalu bahagia dalam kondisi apapun.
Bagi seorang yang ingin hatinya tenang dan mendapatkan pertolongan Allah SWT, maka hendaknya selalu bersandar dan berdoa kepada Allah SWT. Doa juga dapat meringangkan musibah yang datang. Doa merupakan senjata orang mukmin. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Hakim dari Ali bin Abi Thalib RA, Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya doa itu adalah senjata bagi orang yang beriman, tiang agama, dan sinar langit dan bumi.” Dalam Kitab Al Hakim, diriwayatkan sebuah hadits dari Aisyah RA, Rasulullah bersabda:”Kewaspadaanmu tidak ada gunanya dalam menghadapi takdir. Doalah yang berguna untuk mengantisipasi musibah yang turun maupun yang belum turun. Sesungguhnya musibah ketika turun dihadapi oleh doa dan keduanya bertarung hingga Hari Kiamat.”
Apa yang saya paparkan adalah salah satu jalan sehat, yaitu selalu mengingat Alalh SWT, tidak bersedih dengan kondisi apapun, karena Allah bersama kita. Jalan ini bukan jalan fatalistik, kemudian menegasikan ikhtiar kesehatan, tetapi ini adalah ikhtiar kesehatan ruhani yang akan menguatkan dan menenangkan jiwa manusia di masa pandemi, sehingga jauh dari panik.
Editor: Renci