Oleh Muhammad Habibi (Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Lampung)
Wacana perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tahun 1945 selalu mengemuka setiap tahunnya. Mulai dari gagasan mengembalikan Garis Besar Haluan Negara (GBHN), pemilihan Presiden secara tidak langsung dan lain sebagainya. Artinya, wacana amandemen selalu mengarah kepada persoalan kekuasaan dan pelaksanaannya. Lantas, apakah problem ketatanegaraan kita hanya terletak pada persoalan kekuasaan semata?
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, wacana amademen UUD 1945 selalu menjadi pemberitaan media massa setiap tahunnya. Namun, realisasi wacana tersebut tak kunjung terlaksana mengingat para anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) urung menyepakatinya (Harian Media Indonesia 19/8/21). Amandemen UUD 1945 bukan suatu hal mustahil dilakukan, walaupun perubahan dilakukan dalam batasan tertentu. Lalu, problematika apa saja yang menjadi hambatan wacana amandemen UUD 1945 urung terealisasi?
Amandemen UUD NRI 1945, Perjalanan dan Problematika.
UUD I 1945 telah berkali-kali dilakukan perubahan. Perubahan pertama dilakukan terhadap pembatasan kekuasaan Presiden dan penguatan fungsi utama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dalam hal legislasi (pembentukan Undang-Undang) dan pengawasan pemerintahan. Perubahan kedua dilakukan terhadap penguatan fungsi otonomi daerah, penguatan fungsi DPR dibidang angket (penyelidikan pelaksanaan fungsi pemerintahan), merumuskan secara komprehensif jaminan Hak Asasi Manusia (HAM) serta penyempurnaan pertahanan dan keamanan negara sebagai atribut negara.
Perubahan ketiga terfokuskan kepada penguatan asas kedaulatan rakyat, pengaturan impeachment (pemakzulan/pemberhentian) Presiden, pembentukan DPD, pembentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan sistem pemilu, penguatan MA, pembentukan Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi. Serta, pada perubahan keempat difokuskan pada perubahan susunan anggota MPR-RI, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), menguatkan Presiden selaku penyelenggara jaminan sosial masyarakat, memprioritaskan anggaran negara sebanyak 20% kepada pendidikan serta penyempurnaan perubahan UUD 1945 dan penambahan aturan peralihan (naskah komprehensif perubahan UUD 1945 MKRI).
Sistem hukum Indonesia yang menganut civil law atau hukum prosedural yang merujuk pada Jerman, Perancis dan Belanda ternyata tidak serta merta dianut sepenuhnya dalam melaksanakan amandemen konstitusi. Indonesia justru merujuk pada sistem atau mekanisme perubahan konstitusi Amerika Serikat yang notabene mengadopsi common law atau hukum kebiasaan. Hal tersebut dapat dilihat jika Indonesia mengadopsi sistem Presidensial check and balances dan penguatan trias politica Monstesqiue. Namun tidak sepenuhnya teradopsikan pula seperti adanya lembaga Bank Indonesia, KPU dan Badan Pemeriksa Keuangan yang diatur secara ekspilisit tidak menjalankan fungsi eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Maka wajar apabila terjadi carut marut ketatanegaraan Indonesia, sekalipun UUD 1945 telah dilakukan perubahan sebanyak 4 kali. Walaupun konstitusi merupakan hukum dasar/tertinggi suatu negara, pelaksanaan sistem pemerintahan tetap terlihat bagaimana pengaturannya dalam konstitusi. Dan, bagaimanapun bentuk perubahan UUD 1945, tetap ada pembatasan dalam perubahannya. Pembukaan UUD 1945, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, kedaulatan rakyat yang dijalankan UUD 1945 serta negara hukum Indonesia, mutlak tidak boleh dirubah. Tepat jika beranggapan Indonesia dalam mengamandemen konstitusi sepenuhnya mengadopsi Amerika Serikat dalam melakukan perubahan konstitusi, yakni tidak merubah sepenuhnya, melainkan melakukan perubahan pada pengaturan tertentu dan terbatas (konstitusi rigid).
Problem Pengaturan Partai Politik Dalam UUD 1945
Sejatinya, setiap negara pasti memiliki lembaga partai politik yang berfungsi mengirimkan anggotanya kedalam lembaga pemerintahan. Pun halnya di Indonesia, merujuk pada UUD 1945 dalam Pasal 6 ayat (2), partai politik berfungsi mengusung dalam Presiden dan Wakil Presiden dengan pembatasan, partai politik tersebut sebagai peserta pemilu. Selebihnya, tidak ada frasa maupun pengaturan lain tentang partai politik. Sekalipun partai politik memiliki fungsi menjadi pengusung keanggotaan parlemen, namun pengaturannya terdapat dalam Undang-Undang, bukan secara mendasar diatur tersendiri dalam UUD 1945.
Disinilah letak problem dasarnya, mengapa partai politik yang memiliki fungsi besar namun pengaturannya tidak secara eksplisit (khusus) dalam UUD 1945? Konstitusi secara umum hanya mengatur fungsi partai politik sebagai pengusung penguasa, bukan sebagai lembaga yang berfungsi secara mendasar menjadi lembaga demokrasi masyarakat. Maka wajar saja jika anggapan selama ini muncul, partai politik tidak terlalu dominan berfungsi mencerdaskan rakyat dalam berdemokrasi.
Problem mendasar tersebut perlu mendapat atensi khusus dalam wacana amandemen UUD 1945 ke-5 (jika hal tersebut dilakukan). Sebab, konstitusi sebagai hukum dasar harus mengatur bagaiamana pelaksanaan sistem pemerintahan dan pembatasan kekuasaan berjalan. Perlu adanya pengaturan tersendiri dalam satu bab mengenai partai politik sebagai lembaga demokrasi masyrakat. Jika tidak, maka bola salju problem fungsi partai politik terus terjadi dikemudian hari.
Problem Lembaga Kejaksaan dalam UUD 1945
Penulis pun akan menyoroti persoalan penegakan hukum (law enforcement) sebagai salah satu fungsi pemerintahan dan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Coba kita lihat bersama, negara mana yang tidak memiliki lembaga penuntut/kejaksaan, seluruh negara pasti memilikinya. Secara umum pun lembaga penuntut disetiap negara memiliki fungsi yang sama, yakni sebagai lembaga pemerintahan yang berfungsi sebagai kepanjangan tangan kepala negara dibidang penuntutan. Bagaimana halnya dengan Kejaksaan Indonesia? Ternyata lembaga yang satu ini memiliki pijakan hukum yang abstrak dalam pengaturannya di Indonesia.
Kejaksaan diatur secara tidak khusus dalam UUD 1945, tepatnya dalam pasal 24 ayat (3), “Badan-Badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dengan Undang-Undang”. Tentu Kejaksaan memiliki fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, namun dengan abstraknya frasa tersebut menjadikan posisi kejaksaan tidak jelas secara fungsinya. Apakah lembaga tersebut merupakan lembaga yudisial dbawah MA atau lembaga eksekutif yang menjalankan fungsi Presiden dibidang yudisial.
Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan, peran dan fungsi kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang membantu Presiden melaksanakan fungsi penuntutan. Namun, penulis rasa pijakan pembentukan UU tersebut sangat lemah apabila didasari pada Pasal 24 ayat (3). Harus diatur secara ekspilisit terlebih dahulu bab tersendiri mengenai lembaga ini dalam UUD 1945, dimana Pasal 24 ayat (3) menjadi dasar pasal rujukan pengaturan pembentukan bab baru mengenai kelembagaan lembaga penuntutan. Pengaturan demikian guna memperjelas sekaligus memperkuat posisi kelembagaan. Kejaksaan sebagai lembaga penuntut dibawah kendali Presiden, artinya lembaga ini murni lembaga pemerintahan sekalipun tugasnya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.
Sebagaimana pengaturan lembaga Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang diatur eksplisit dalam bab 12 Pertahan dan Keamanan Negara pada pasal 30 ayat (4). Polri memiliki fungsi utama, salah satunya penegakan hukum. Sama seperti halnya kejaksaan, fungsi utama Polri dalam hal penegakan hukum pasti berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Polri pun secara fungsionalnya merupakan lembaga pemerintahan yang langsung dibawah kendali Presiden. Namun, mengapa kejaksaan tidak diatur sedemikian Polri pengaturannya dalam UUD 1945?
Perlu ada pengaturan khusus mengenai kejaksaan dalam UUD 1945. Sebab, jika pengaturan kejaksaan hanya sebatas dalam UU tanpa ada dasar pijakan ekspilisit dalam UUD 1945, dikhawatirkan lembaga ini dapat dibubarkan oleh DPR jika dikehendaki atau melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui pengujian formil Undang-Undangnya. Hal tersebut bukan suatu kemustahilan yang dapat terjadi, jika merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010. Pada putusan tersebut, Prof. Yusril Ihza Mahendra (pakar hukum tata negara) selaku pemohon meminta MK memberi penjelasan terhadap masa jabatan Jaksa Agung selama masa jabatan Presiden.
Dari permohonan tersebut dapat kita lihat, beruntungnya pemohon hanya meminta MK menfasirkan masa jabatan Jaksa Agung. Seandainya pemohon menguji formil UU kejaksaan secara keseluruhan dan putusannya membatalkan pemberlakuan UU tersebut, penulis tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi dalam proses penegakan hukum di negara ini. Bukan tidak mungkin dikemudian hari permohonan demikian dilakukan oleh masyarakat yang dirugikan hak konstitusionalnya oleh UU Kejaksaan. Maka penting pengaturan ekspilisit mengenai lembaga kejaksaan diatur dalam UUD 1945 guna menghindari kemungkinan negatif yang terjadi dikemudian hari.
Pengalaman penulis mengkritisi persoalan konstitusionalitas kejaksaan ini bukan tanpa tantangan. Penulis pernah beberapa kali diintervensi oleh beberapa jaksa dilaman media sosial, penulis dianggap menghina lembaga kejaksaan akibat beberapa kritik penulis mengenai kejaksaan. Pertanyaannya sederhana, dalam kritik penulis mengenai kejaksaan ini dimana letak pengihanaanya, lagipula apa pentingnya penulis menghina lembaga kejaksaan. Namun, dari sinilah kita merefleksikan bahwa suatu kritik yang diajukan masyarakat bukan semata-mata untuk menghina. Kritik seperti ini penting dilakukan demi kepentingan jaksa-jaksa yang bekerja dilembaga kejaksaan itu pula. Bayangkan jika kekhawatiran penulis apabila permohonan pembubaran kejaksaan akibat tidak jelasnya pengaturannya dalam UUD 1945 tersebut terjadi, jaksa-jaksa tersebut diberhentikan dari tugasnya secara konstitusional akibat dibubarkannya lembaga kejaksaan.
Amandemen UUD 1945, Wacana dan Refleksi.
Sejatinya, konstitusi bukanlah suatu wujud yang tidak dapat disentuh melalui perubahan. Konstitusi tetap dapat dirubah melalui prosedur tertentu dengan batasan tertentu guna menghindari inkonstitusionalitas penyelenggaraan sistem pemerintahan negara dikemudian hari. Namun, sebelum perubahan dilakukan, baiknya refleksi menjadi bahasan utama yang harus digalakkan MPR-RI terhadap perubahan apa saja yang mesti dikehendaki. Jika perubahan dilakukan tanpa refleksi, dikhawatirkan konstitusi hanya menjadi landasan bagi keberlangsungan kekuasaan tanpa didasari pada semangat membangun bangsa secara konstitusional. UUD 1945 sebagai dasar hukum tertinggi negara yang melandasi pembentukan UU hendaknya terus dibahas oleh berbagai kalangan, baik pada subtansinya, maupun terhadap wacana-wacana perubahannya. Pun halnya menurut penulis, dua instrumen pengaturan diatas, yakni pengaturan mengenai partai politik dan kejaksaan perlu menjadi bahasan utama dalam wacana amandemen UUD 1945 kelima. Jika perubahan hanya didasari pada pemberlakuan GBHN atau Pokok-Pokok Haluan Negara, hal tersebut sudah menjadi perdebatan klasik mengenai amandemen UUD 1945, baik sebelum dan sesudah reformasi. Pendapat demikian penulis ajukan guna masyarakat secara luas memahami, makna pembentukan konstitusi bukan hanya sebatas pengaturan dan pembatasan kekuasaan semata. Lebih dari itu, konstitusi mengatur segala hal mendasar terkait penyelenggaraan negara sebagai pengejawantahan amanat Pancasila dalam pembukaan UUD NKRI 1945.
Editor: Renci