Oleh: Mukhtar Hadi
Kata muadzin, secara denotatif berarti seseorang yang bertugas mengumandangkan adzan untuk memanggil orang agar melaksanakan shalat. Bagi umat Islam, kata ini sudah sangat akrab dan maknanya juga sudah dipahami. Namun sejak reformasi, kata ini memiliki juga makna konotatif, yaitu muadzin diartikan sebagai orang yang menyeru, mengajak dan menggerakkan perubahan di dalam masyarakat. Kata ini pernah digunakan media untuk menyebut tokoh gerakan reformasi, Amien Rais tahun 1998. Amien oleh media saat itu pernah dijuluki sebagai muadzin gerakan reformasi, yaitu orang yang sangat getol untuk mengajak masyarakat melakukan perubahan politik, bahkan tidak hanya mengajak, tetapi juga menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan.
Beberapa waktu yang lalu, setelah ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haidar Nashir menyampaikan pidato kebangsaan yang berjudul “Indonesia Jalan Tengah – Indonesia Milik Semua”, harian terkemuka Kompas menyebut Haidar adalah seorang muadzin. Sebagai seorang muadzin, Haidar mengingatkan dan menyeru agar Pancasila sebagai jalan tengah, atau pilihan yang moderat, jangan ditarik ke kanan atau ditarik ke kiri. Tetaplah ia ditempatkan di posisi moderat sebagaimana telah ditetapkan oleh para pendiri bangsa. Seruan dari seorang muadzin, begitu kata Kompas menanggapi pidato Haidar Nashir.
Untuk membedakan makna muadzin sebagai panggilan shalat dan muadzin sebagai ajakan untuk perubahan, maka saya menyebut makna yang kedua ini dengan istilah muadzin sosial. Yakni setiap orang atau sekelompok orang atau lembaga yang berusaha untuk menyeru, mengajak, dan menggerakan orang lain untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, maju, bebas dari kebodohan dan struktur yang menindas. Tujuannya adalah untuk membangun kesadaran diri agar menjadi masyarakat yang sejahtera, maju dan berkeadilan.
Muadzin sosial adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam sejarah kehidupan manusia. Dalam setiap masa akan selalu muncul orang atau sekelompok orang yang mengajak dan menggerakan perubahan. Jumlahnya memang tidak banyak, namun kehadirannya selalu dinanti oleh panggilan sejarah. Mereka ini para pengukir sejarah, pencipta lakon sosial yang mewarnai perjalanan kehidupan manusia. Maka kita perlu memberikan apresiasi kepada para muadzin sosial ini, meskipun terkadang suaranya terdengar sayup-sayup patah.
Potret Muadzin Sosial Yang Gelisah
Sekelompok anak muda di sebuah kota kecil membuat sebuah Web Portal yang diberi nama mahanpedia yang dibuat dengan maksud untuk mengajak anak muda khususnya dan masyarakat pada umumnya dalam menumbuhkembangkan budaya literasi, khususnya literasi tulis. Portal ini mengundang siapapun yang memiliki minat dalam tulis menulis untuk menuangkan gagasaannya dan mengirimkan tulisannya ke portal mereka. Dalam waktu satu tahun, ratusan tulisan masuk ke redaksi yang membahas banyak persoalan. Dari masalah yang serius, karena sangat akedamik, sampai tulisan yang ringan dan segar yang bisa dibaca sambil minum kopi. Portal ini bahkan sudah mengkompilasi tulisan yang berasal dari banyak penulis itu dalam sebuah buku.
Dalam portalnya dinyatakan bahwa mahanpedia adalah media belajar bersama untuk saling menginspirasi membangun kemajuan melalui gerakan literasi. Wajar jika kemudian mahanpedia bukan hanya sekedar wadah untuk mereka yang punya minat untuk menulis, tetapi juga fokus pada gerakan sosial yang mengkampanyekan pentingnya budaya literasi. Untuk tujuan yang terakhir ini, maka mahanpedia secara rutin mengadakan seminar untuk membahas persoalan perbukuan, penerbitan dan publikasi tulisan.
Di tengah maraknya penggunaan sosial media yang dipergunakan hanya untuk kepentingan komunikasi, hiburan, politik, ekonomi bahkan tidak sedikit pula yang menggunakannya sebagai media penyebaran hoaks dan penipuan, maka kehadiran mahanpedia laksana seperti oase di tengah padang pasir yang gersang. Mahanpedia memilih jalan yang sepi dan tidak populer di tengah kegandrungan banyak orang terhadap budaya popular semacam K-Pop, sinetron picisan dan tik tok-an. Mahanpedia tentu bukan yang pertama, sebelum itu sudah banyak portal yang memilih dan mengambil genre yang sama dengannya. Namun kemunculannya yang berasal dari sebuah kota kecil, yaitu Metro, menggambarkan adanya kegelisahan akademik dan kegelisahan budaya yang semakin dirasakan dimana-mana.
Di tempat lain, dengan cara yang berbeda, ada sebuah gerakan yang diinisiasi beberapa anak muda dengan mengajak masyarakat di sebuah lingkungan untuk melakukan gerakan pemberdayaan ekonomi berbasis lokalitas. Gerakan warga ini diberi nama Payungi, singkatan dari Pasar Yosomulyo Pelangi. Simbol gerakan ini gambar payung warna warni, mungkin untuk menggambarkan bahwa gerakan ini akan mampu memayungi siapapun yang terlibat dalam pemberdayaan dan siapapun bisa bergabung tanpa melihat latar belakangnya. Gerakan utama payungi adalah pasar kuliner mingguan. Pedagangnya adalah penduduk lingkungan setempat dan yang dijual adalah kuliner tradisional. Orang datang kesana tinggal memilih jajanan atau panganan yang diminati sembari bernostalgia menikmati kuliner tradisional yang dulu, dulu sekali, pernah menjadi makanan sehari-hari.
Payungi kini bukan hanya menawarkan jajanan tradisional, namun berkembang menjadi wadah tempat belajar rakyat yang diberi nama Payungi University, sebuah gerakan untuk proses belajar masyarakat dalam berbagai keahlian dan keterampilan. Paket-paket belajar ditawarkan dengan biaya sukarela dari peserta atau bahkan tidak perlu bayar karena semua dilakukan dengan sukarela, baik pesertanya maupun fasilitatornya. Gerakan sosial dan pemberdayaan di payungi dilakukan dan dipromosikan dengan memanfaatkan platform digital, sebab itu wajar jika daya jelajah dan jangkauan gaungnya telah melintasi wilayah yang sangat luas, jauh melampaui lokasi asal-usulnya yang hanya sebuah kelurahan, bahkan lebih sempit lagi hanya sebuah lingkungan.
Dua gambaran sebagaimana potret di atas menggambarkan sebuah kegelisahan intelektual sekaligus kegelisahan moral para penggeraknya melihat kenyataan sosial yang ada disekelilingnya. Dan memang para muadzin sosial biasanya lahir dari membaca masyarakat dan bacaan zaman. Kegelisahan yang dikumpulkan dan kemudian diwujudkan dalam gerakan sosial. Gerakan sosial dimanapun dan di zaman apapun selalu berangkat dari kegelisahan intelektual dan moral seperti ini. Para Nabi dan Rasul, para pemikir, cendekiawan dan ilmuwan, tokoh politik, semuanya berangkat dari kegelisahan. Karena kegelisahan itulah mereka menyeru, mengajak dan melakukan perubahan. Perubahan yang kemudian dicatat dalam sejarah kehidupan manusia. Mereka-mereka ini sesungguhnya para muadzin sosial. Sebab itu menularkan kegelisahan intelektual dan moral terhadap persoalan masyarakat adalah tugas sejarah yang semestinya dilakukan oleh semua orang. Dengan kegelisahan itu, maka akan banyak lahir muadzin sosial. Berbahagialah orang-orang yang selalu gelisah dengan persoalan masyarakatnya. Selamat datang jiwa-jiwa yang gelisah.
Editor: Renci