Oleh : Zidan Fathur Rahman (Mahasiswa di STIA Bandung)
“Bagaikan kayu yang ditancapkan paku, meskipun sudah dilepas, namun masih ada bekas.”
Bukan hal aneh lagi, perilaku bullying seringkali terjadi, baik di kalangan pelajar, mahasiswa, bahkan dewasa. Bullying dalam bahasa Indonesia disebut penindasan, juga dengan kata lain yakni perundungan. Kadangkala bullying dijadikan hobi dan menjadi habits atau kebiasaan pada sebagian kelompok hingga kalangan obnum. Alasannya karena mereka lebih kuat dan disegani, menjadikan dirinya semena-mena berucap dan bertindak. Tentunya, banyak yang tak suka, namun tak bisa berbuat apa-apa.
Bully ada beragam macam, tapi yang sering kita jumpai; penindasan verbal. Di mana para pelaku bersembunyi dibalik kata “cuma bercanda, kok”. Barangkali mereka, para pelaku itu hanya ingin bercanda dengan temannya, namun justru temannya yang menjadi korban merasa dipermalukan ditengah-tengah kerumunan teman lainnya. Bukan sekali atau dua kali, tapi berkali-kali. Dan hal ini menyebabkan psikologisnya terganggu.
Di rumah atau di mana saat sedang sendiri, perasaan korban akan muncul entah rasa malu dan cemas menghiasi pikirannya. Memang bagi pelaku tak seberapa apalagi ini bukan fisik yang menjadi medianya bullying, tapi korban ‘kena mental’-nya luarbiasa. Sebuah istilah masa kini. Jika dibiarkan, ini pelaku akan terus-terusan menjadikannya bahan bully-an, atau mencari korban lainnya yang ia rasa bisa ditindas dan memiliki psikis lemah.
Lingkungan keluarga pun bisa menjadi faktor penentu, apakah anaknya menjadi pelaku atau korban dari bullying itu sendiri. Pola asuh orang tua yang otoriter dan yang permisif atau memanjakan sama-sama membentuk kecenderungan anak menjadi korban pengintimidasian. Sebaliknya, pola asuh orang tua yang otoritatif menghindarkan remaja dari keterlibatan sebagai pelaku maupun korban.
Faktor lain yang dapat menyebabkan seseorang menjadi pelaku maupun korban perundungan adalah sejarah pribadi di masa lalu. Begitu juga adanya rasa empati kurang atau hilang bisa menjadi cela hadirnya perundungan, sebuah alasan untuk bisa berbuat sesuka diri.
Budaya ‘Ospek’ pun termasuk kategori bullying, mengapa? Sebab jika tidak ada unsur kekerasan, tentunya pemerintah takkan menghapusnya. Toh, namanya juga ‘pengenalan kampus’, kenapa bisa ada siswa atau mahasiswa yang pingsan, bahkan meninggal dunia. Sudah saja namanya ganti menjadi pendidikan militer.
Kekerasan di ruang lingkup sekolah juga tidak terelakkan. Berdasarkan data ICRW yang diliris tahun 2015, menyebutkan sebanyak 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah, dan menjadikan Indonesia salah satu negara dengan jumlah kasus tertinggi di Asia.
Ketika melihat data seperti itu, pastinya miris, melihat kondisi yang tak pernah berubah, yang mandeg di situ saja, bahkan persentasenya bisa saja menaik sewaktu-waktu. Seperti; tawuran di kalangan pelajar sekolah menengah. Mungkin, berawalan dari seseorang atau permasalahan pribadi dari masing-masing yang berbeda sekolah, kemudian kerena beraninya membalas dengan beramai-ramai, dan tidak bisa diselesaikan dengan bijak dari kedua belah pihak, kekerasan antar kelompok sekolah pun menjadi akhirnya.
Itulah mengapa peranan orangtua, guru, dan teman dekat adalah sinergitas, sepemikiran, menuju ke arah kebaikan bukan keburukan. Menurut penulis, sampai kapanpun bullying takkan pernah berhenti, bila tidak ada kesepahaman dan harus ada pihak ketiga yang berani membantu, melawan segala bentuk penindasan.
Maka, siapa saja yang menjadi korban pun harus mulai berani, membuka mulut, dan menceritakan apa yang selama ini terjadi terhadap dirinya, entah itu kepada orang tua, guru atau dosen, atau mungkin kepada teman yang dapat dipercaya. Meski sulit, tetapi para korban sedapat mungkin harus menghindar, agar tak lagi menjadi sasaran. Mulailah belajar bela diri, bukan diniatkan untuk membalaskan dendam, melainkan menangkis bila terjadi lagi serangan, bahkan bila perlu digunakan untuk membela kebenaran, menolong orang yang berada dalam zona perundungan.
Tuhan memang pada awalnya menciptakan manusia dalam kondisi lemah, namun sesudah keadaan lemah itu dikuatkan. Semuanya telah disempurnakan, diberikan kelebihan dan kekurangan. Seharusnya kita bisa mengacu kepada sabda Nabi Muhammad yang artinya, “Mukmin yang kuat lebih baik, daripada mukmin yang lemah”.
Perlu diingat baik-baik, setiap perbuatan pasti ada timbal-baliknya. Ketika berbuat yang baik, pasti kebaikan itu akan datang kembali. Begitupun sebaliknya. Semoga kasus bullying semakin berkurang, bahkan lenyap di muka bumi ini, sehingga setiap orang dapat bebas dari segala ancaman, dan hidup dengan aman dan damai.
Editor : Dwi Novi Antari