• Tentang
  • Kontak
  • Tim Redaksi
  • Beranda
  • Teras Mahan
  • Artikel
    • Opini
    • Essay
    • Reportase
    • Profil
  • Sastra
    • Puisi
    • Cerpen
    • Resensi
  • Resonansi
No Result
View All Result
Mahanpedia
No Result
View All Result
Home Essay

Ilmu dan Ketepatan

mahanpedia by mahanpedia
1 tahun ago
in Essay
5 min read
1
0
SHARES
130
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh Ust. Samson Fajar

Ilmu Adalah Cahaya

Bicara tentang ilmu tentu merupakan hal yang sangat menarik, saya akan awali dari pernyataan Imam Syafii, al-‘ilmu nurun wa nurullah laa yuhda lil-‘ashy artinya ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah tak akan pernah masuk kepada ahli maksiat.

Atsar di atas sangat menghujam dada kita sebagai penuntut ilmu maupun pendidik, karena ini adalah dasar dari baik tidaknya sebuah pengetahuan. Ilmu adalah cahaya, sedangkan kebodohan adalah kegelapan. Artinya, ilmu akan menerangi kehidupan manusia, dari kegelapan menuju jalan yang terang benderang. Ilmu itu adalah ilmu Allah SWT yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu agam Islam.

Mungkin ada yang bertanya, bagaimana jika bukan ilmu agama? Maka penulis menjawab, semua ilmu hakikatnya dari Allah SWT, selama ilmu itu berangkat dari dasar agama, maka ilmu itu akan menjadi penerang kehidupan. Misalkan ilmu kedokteran akan menjadi penerang bagi manusia, ketika kedokteran didasari oleh pondasi tauhid yang benar, sehingga seorang dokter akan menyampaikan tauhid dalam kapasitas kesehatan, Allah swt sebagai pemberi sehat, dokter sebagai manusia yang berikhtiar dalam menghadirkan wasilah kesehatan pasien.

Sebagai seorang enginering, dia akan menyampaikan bahwa Allah SWT adalah pemberi segala kemampuan manusia, dialah yang menciptakan akal manusia yang kompleks, sehingga mampu mendesain sebuah bangunan. Allah SWT yang menurunkan biji besi, sehingga manusia mampu mengumpulkanya, mencetaknya menjadi bahan produksi, dan seterusnya. Berangkat dari dasar tauhid, niat ibadah dan cara yang sesuai dengan akhlak mulia untuk tujuan kemaslahatan manusia, maka ilmu apapun itu menjadi penerang kehidupan.

Sehingga ilmu agama menjadi dasar awal bagi semua ilmuwan, karena hal itu akan membersihkan hati mereka sebelum menjadi ilmuwan. Mengapa? Karena cahaya Allah SWT yang ilmu pengetahuan tidak akan dihidayahkan kepada pelaku maksiat. Ketika ilmu diberikan kepada ahli maksiat, maka ilmu itu akan digunakan untuk keburukan, walau itu ilmu agama.

Banyak para cerdik pandai agama, mereka memberikan fatwa yang sesat dan menyesatkan, mengapa? Karena hati mereka penuh kemaksiatan, penuh kepentingan, penuh nafsu syahwat yang membuat mereka menggunakan ilmu untuk merengkuh dunia belaka.  Oleh sebab itu, As Syafii menggunakan kata la yuhda lil Ashiy , tidak akan memberikan hidayah bagi pelaku maksiat. Karena hati yang kotor walau hadir kepada ilmu, ilmunya tidak akan membimbingnya, oleh sebab inilah mengapa semua orang yang akan belajar ilmu hendaknya belajar adab, agar memiliki kebersihan hati, ketika memiliki ilmu dia akan mampu memanfaat ilmu untuk kehidupan yang bermanfaat.

Ilmu Harus Tepat Sasaran

Rasulullah saw bersabda: “Telah menceritakan kepada kami, Hisyam bin Ammar berkata, telah menceritakan kepada kami Hafs bin Sulaiman berkata, telah menceritakan kepada kami Katsir bin Syinzhir dari Muhammad bin Sirih dari Anas bin Malik ia berkata; Rasulullah Saw telah bersabda: Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim dan orang yang meletakkan ilmu kepada orang yang bukan ahlinya (orang yang enggan untuk menerimanya dan orang yang menertawakan ilmu agama) seperti seorang yang mengalungkan mutiara, intan dan emas ke leher babi (HR.Ibnu Majah)

Menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban, akan tetapi kewajiban memiliki syarat, yang pertama akil dan yang kedua baligh. Artinya, ilmu hendaknya diberikan kepada mereka yang sudah akil dan sampai pada fasenya. Sengaja penulis menggunakan makna esensi dari istilah akil baligh, untuk memudahkan pemahaman kita. Artinya, ilmu harus tepat sasaran, jangan sampai ilmu diberikan kepada mereka yang enggan menerima, tidak membutuhkan bahkan mengejek atau meremehkan ilmu. Karena hal itu sama dengan mengalungkan mutiara intan dan emas ke leher babi, sungguh tidak manfaat dan menyesatkan, karena banyak manusia mengejar kalung tersebut, sehingga babi lari ke kubangan lumpur, dan semua yang mengejar ikut tercebur ke dalamnya.

Sangat berbahaya memberikan ilmu kepada orang yang enggan belajar, karena hal ini hanya akan menjadi beban kepada mereka. Bahkan akan membuat sang pendidik sia-sia dalam menyampaikan karena muridnya enggan menerima. Kalaupun toh si murid menerima, maka dia enggan mengamalkan, disinilah letak bahayanya. Karena jika dia seorang sarjana, yang enggan menerima ilmu, apalagi ilmu agama, kemudian lulus bersandang sarjana, maka dia akan memiliki posisi tertentu di masyarakat, sungguh dia akan menyampaikan sesuatu yang bukan dari hatinya, bahkan enggan mengamalkanya. Ketika jadi pendidik sungguh rusaklah murid-muridnya.

Lebih berbahaya lagi adalah mengajarkan ilmu kepada mereka yang menertawakan ilmu agama, mereka yang mencemooh agama, menjadikan agama sebagai senda gurau belaka. Karena mereka akan menjadikan ilmu agama sebagai bahan ejekan, maka yang terjadi adalah kerusakan. Hari ini sangat banyak kita mendengar, melihat bagaimana statemen para ahli ilmu, bahkan ilmu agama yang menjadikan agama hanya sebagai olok-olokan belaka, membuat umat gerah dan bagi yang tidak tau akan tersesat.

Sudah selayaknya semua lembaga pendidikan terutama stok holder pendidikan menjadikan hadits ini sebagai evaluasi; Pertama, lembaga pendidikan hendaknya mengajarkan adab atau agama yang benar sebelum mengajarkan ilmu. Para ulama salaf telah mengajarkan konsepsi ini, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Sirrin, bahwa adab sebelum ilmu pengetahuan. Setiap lembaga mengawali proses pembelajaran dengan mengajarkan agama yang benar, sehingga ada proses tazkiyah sebelum taklim. Tazkiyah atau pembersihan diri peserta didik ini dengan tujuan mendekatkan peserta didik kepada Allah swt dan kebenaran. Sehingga ketika mereka menerima ilmu akan memanfaatkan kepada jalan Allah SWT dan kemanfaatan bukan kerusakan. Konsep ini hendaknya dapat menjadi solusi bagi segala masalah penyakit sosial, baik korupsi yang nyata dilakukan oleh intelektual, para politisi yang main suap juga oleh intelektual, para bisnisman yang melakukan penipuan, mereka juga intelektual dan seterusnya.

Kedua, memetakan murid sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Pendidikan murid yang baik adalah dengan memetakan sesuai minatnya. Akan tetapi, yang hendaknya dilakukan paling utama adalah petakan kemampuan menerima ilmunya baru minatnya. Memetakan kemampuan menerima standarnya adalah adabnya. Jangan memberikan ilmu lebih ketika adabnya belum baik, karena dia akan menjadi dajjal yang ketika muda adalah manusia yang sangat potensial dalam asuhan Jibril. Lalu petakan minatnya, sehingga dia akan senang dan bahagia belajar ilmu tersebut. Dengan minat ini, maka dia akan menjadi profesional dalam ilmunya.

Ketiga, standar keilmuan ada pada adab bukan pada materi. Rubah standar ilmu dari aspek materi menuju adab yang baik. Masalah kita hari ini adalah masalah adab. Bagaimana sebuah lembaga pendidikan meluluskan sarjana yang dia hanya membeli ijazah, dia tidak mau belajar. Sungguh dia akan menjadi pelacur ilmu pengetahuan, semua orang mengetahui dia sebagai sarjana dalam bidang sesuatu, sehingga dia akan menyampaiakn sesuatu sebagai seorang ilmuwan, maka apa yang keluar dari lisanya adalah kebohongan demi kebohongan. Jangan pernah memetakan murid dari segi bayaran, sungguh akan rusaklah pendidikan, karena guru telah dibeli oleh murid, dosen telah dibeli oleh mahasiswa, akhirnya ilmu tertutup selamanya.

Tiga hal itu menjadi muhasabah tarbawiyah, agar semua kita yang saat ini bergelut dalam dunia pendidikan tidak terjebak pada hal-hal prestisius, mengagumkan tapi kering dari kebenaran. Saat ini pendidikan lebih dikuatkan pada skill kerja, tapi sungguh kurang mengedepankan aspek adabiah, sehingga mereka merendahkan hal-hal yang bersifat agama dan etika, karena hal itu tidak dianggap penting dalam dunia kerja. Jika ini diteruskan, maka bangsa ini akan menjadi bangsa ‘biadab’, artinya hilang adab, mereka bekerja profesional, tetapi tidak mengetahui halal dan haram, dan bagaimana memanfaatkan hasil kerjanya. Tulisan ini hanya sebuah renungan bagi kita yang rindu akan pendidikan yang baik, pendidikan yang memanusiakan manusia, pendidikan yang sesuai dengan fitrah hidup manusia, pendidikan yang membangun peradaban berkemajuan dan berakhlak.

Editor: Renci

Previous Post

Mahalnya Rasa Tanggung Jawab

Next Post

Megawati, Baby Boomer, dan Generasi Milenial

Next Post

Megawati, Baby Boomer, dan Generasi Milenial

Comments 1

  1. Agus Purnomo, S.Ag says:
    1 tahun ago

    Mantap luar biasa

    Balas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Popular Posts

Essay

Bonus Demokrasi dan Nawacita

by mahanpedia
Februari 27, 2023
0
10

Oleh : Fahrudin Hamzah Ketua Bidang Teknologi dan Informasi Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah Indonesia diperkirakan akan menghadapi era bonus...

Read more

Bonus Demokrasi dan Nawacita

Literasi Berada di Jurang Degradasi

Muhammadiyah; Dari Kiyai Haji menjadi Profesor?

Bukit Idaman: Ekowisata peduli sesama

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Nilai-nilai Dasar Dalam Etika Berdigital

Load More

Popular Posts

Hablum Minal’alam: Menjaga Lingkungan Bernilai Ibadah

by mahanpedia
September 2, 2021
0
2.1k

Akhlak Mulia Generasi Zaman Now

by mahanpedia
September 16, 2020
0
1.8k

5 Hal Misterius tentang Amado

by mahanpedia
September 6, 2021
0
1.7k

Mahanpedia

Mahanpedia adalah media belajar bersama untuk saling menginspirasi membangun kemajuan melalui gerakan literasi.

  • Kirim Tulisan
  • Tim Redaksi
  • Kontak

© 2020 Mahanpedia.id – Inspirasi untuk kemajuan.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Teras Mahan
  • Artikel
    • Opini
    • Essay
    • Reportase
    • Profil
  • Sastra
    • Puisi
    • Cerpen
    • Resensi
  • Resonansi

© 2020 Mahanpedia.id