Oleh : Nadiya Hasna Amrina
Mata Yang Enak Dipandang adalah kumpulan lima belas cerita pendek Ahmad Tohari yang tersebar di sejumlah media cetak antara tahun 1983 dan 1997. Seperti novel-novelnya, cerita-cerita pendeknya pun memiliki ciri khas. Ia selalu mengangkat kehidupan orang-orang kecil atau kalangan bawah dengan segala lika-likunya. Ahmad Tohari sangat mengenal kehidupan mereka dengan baik. Oleh karena itu, ia dapat melukiskannya dengan simpati dan empati sehingga kisah-kisah itu memperkaya batin pembaca. Kutipan ini adalah sinopsis dari buku Mata Yang Enak Dipandang.
Ahmad Tohari adalah seorang penulis kelahiran Banyumas pada 13 Juni 1948. Karya monumental beliau adalah trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dinihari dan Jentera Bianglala. Ketiga karyanya tersebut kemudian disatukan menjadi satu buku berjudul Ronggeng Dukuh Paruk dan diterbitkan kembali pada tahun 2002 oleh Gramedia Pustaka Utama. Selain itu, Ronggeng Dukuh Paruk juga sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa juga diangkat dalam film layar lebar dengan judul yang sama.
Membaca kumpulan cerita bisa menjadi solusi untuk tetap rutin membaca buku di sela aktivitas. Sehingga bagi mereka yang memiliki jadwal padat tetap bisa menikmati dan memetik manfaat membaca buku tanpa harus mengganggu kesibukan. Pembaca juga bisa dengan bebas memilih cerita mana yang terlebih dahulu ingin dinikmati. Selain itu, buku ini merupakan sebuah karya sastra yang bisa dinikmati oleh berbagai kalangan.
Hal yang spesial dari teknik bercerita Ahmad Tohari adalah apa yang digambarkan dapat dirasakan oleh seluruh fungsi panca indra karena dibawakan dengan cara yang tidak biasa. Cara Ahmad Tohari menuturkan cerita hampir sama di setiap karya yang ditulisnya yakni menggambarkan suasana pedesaan dengan sangat detail dan sarat akan kritik sosial. Membaca buku ini, membuat kita membuka mata terhadap realita yang terjadi di dalam kehidupan.
“Bunyi kering dan tajam selalu terdengar setiap kali mata cangkul Kartawi menghunjam tanah tegalan yang sudah lama kerontang. Debu tanah kapur memercik. Pada setiap detik yang sama, Kartawi merasa ada sentakan keras terhadap otot-otot tangan sampai ke punggungnya”
Dari kutipan cerita “Warung Penajem”, terlihat bagaimana Ahmad Tohari dengan rincinya menggambarkan kerasnya beban seseorang petani yang sedang menggarap sawahnya. Cara beliau membawakan cerita sangat detail sehingga pembaca seperti mendengar dan melihat langsung kejadian yang sedang berlangsung. Ahmad Tohari berhasil melakukan kritik sosial lewat sastra dengan cara yang menghibur. Kita diajak untuk berempati dengan melihat langsung bagaimana kehidupan masyarakat kelas bawah dengan segala permasalahannya.
Selain itu, melalui cerita-ceritanya kita bisa melihat bahwa pada konflik yang hubungannya berkaitan dengan penyimpangan norma sosial, masih ada kemanusiaan yang juga harus dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Seperti dalam kisah Jebris yang seorang pelacur, biarpun pekerjaan Jebris adalah aib karena memberikan nama buruk bagi desa tempatnya tinggal, tapi masih ada satu orang tetangganya yang bahkan tetap memberikan Jebris beras untuk dimakan setiap hari. Yang unik adalah hampir semua cerita di dalam buku ini memperlihatkan sisi tragis kehidupan tokohnya dengan berbagai konflik di segala aspek tetapi satu hal yang menjadi kunci utama adalah kemiskinan. Kemiskinanlah alasan mengapa tokoh-tokoh tersebut harus mengalami kisah hidup yang demikian.
Dalam cerita-cerita Ahmad Tohari, sebagian besar latar tempatnya adalah di pedesaan yang diperkiraan ada di pulau Jawa sehingga banyak istilah yang menggunakan Bahasa Jawa. Meskipun begitu, beliau selalu memberikan catatan kaki atau glosarium untuk mengartikan istilah berbahasa Jawa yang muncul di dalam cerita. Beberapa cerita juga memiliki pesan yang tersirat sehingga terkesan ujungnya nggantung. Meskipun begitu, buku tetap worth it untuk dibaca baik sebagai media hiburan, untuk memperkaya wawasan maupun untuk belajar memahami gaya menulis Ahmad Tohari yang cukup khas.
Editor : Dwi Novi Antari