Oleh Nabhan Mudrik
Beberapa hari lalu, saya berkesempatan ngobrol ringan dengan salah seorang teman. Kami berdua punya satu kesamaan: sama-sama dalam status “kerja sambil kuliah”. Setelah dipikir lebih mendalam, kerja sambil kuliah ini jadi tren baru yaang menarik untuk diamati dan diceritakan lebih jauh. Sebagai pengingat, artikel ini sebatas cerita. Sama sekali bukan alasan untuk telat lulus kuliah. Karena kebutuhan dan keadaan setiap orang tentunya berbeda.
Kuliah Nyambi Kerja Model Lama
Sejak dulu, sebagian mahasiswa harus nyambi kerja. Umumnya tuntutan ekonomi menjadi motivasi untuk nyambi kerja. Pagi-siang kuliah, sore-malam kerja. Atau bisa juga bekerja sejak pagi sebelum kuliah. Pekerjaan yang dilakukan bervariasi, paling umum adalah berjualan, bisa berjualan makanan,kaus, pulsa, atau apapun yang bisa dijual. Lokasinya bisa di pinggir jalan, di pasar pagi, di pasar sore, di car free day, maupun disambi kuliah di Kampus.
Selain itu, mengajar juga bisa menjadi pilihan. Misalnya guru privat, maupun guru honorer/guru pengganti di sekolah. Tentunya mengajar di sekolah hanya mungkin dilakukan jika waktu kosong di sela-sela jadwal kuliah cukup lapang. Karena kuliah nyambi kerja model lama ini didasari motif ekonomi, maka terkadang hal ini dianggap sebagai aib. Atau minimal tidak bisa diceritakan secara terang-terangan oleh pelaku kuliah nyambi kerja. Bahkan, mahasiswa yang kuliah nyambi kerja seringkali dianggap keteteran karena harus membagi pikiran pada dua persoalan yang sama-sama penting.
Tren Baru Kuliah Nyambi Kerja
Nah, beberapa tahun belakangan, muncul tren kuliah nyambi kerja model baru. Pelaku dari kuliah nyambi kerja model baru ini lebih beragam, nggak mesti hadir dari kalangan yang kesulitan secara ekonomi. Sehingga, ada motivasi lain yang muncul. Biasanya terkait dorongan untuk mencari pengalaman, karena makin meningkatnya kesadaran tentang persaingan di dunia kerja. Namun, nggak sedikit juga yang menyeriusi kuliah nyambi kerja model baru ini. Karena penghasilannya memang lumayan. Atau, ya, karena keren saja gitu. Seperti cerita dari beberapa teman yang saya rangkumkan berikut:
Salah seorang teman saya, kuliah sambil bekerja sebagai penulis. Dirinya rutin menulis di sebuah media online nasional. Aktivitas ini bahkan dilakukan olehnya sejak semester awal, karena memang kemampuan yang telah mumpuni sebelumnya. Aktivitas menulis dipilih karena waktu yang fleksibel, di mana menulis dapat dilakukan dari mana saja, dengan media laptop maupun ponsel yang telah dimiliki semua orang.
Di masa belajar dari rumah, menjalankan aktivitas bekerja sambil kuliah menjadi lebih memungkinkan. Karena baik kuliah maupun menulis dapat dilakukan secara bersamaan dalam satu perangkat. Berbeda dengan saat kuliah luring, di mana menulis sambil mengikuti kuliah nggak memungkinkan. Kecuali kalau siap diceramahi setengah jam oleh dosen yang murka karena mahasiswanya tidak fokus kuliah.
Dari Selebgram Sampai Entah-Apa-Namanya
Contoh selanjutnya datang dari seorang teman yang menjadi mahasiswa jurusan matematika sebuah universitas ternama. Aktivitasnya sehari-hari di luar kuliah adalah menjadi guru privat dan relawan yang dibayar pada sebuah NGO. Jadi, meskipun jurusan kuliahnya tergolong berat bagi banyak orang, ternyata masih bisa disambi kerja. Dan sejauh ini aman-aman saja. Kuliah tetap terlaksana, tanggungjawab pekerjaan pun jalan terus. Tentunya dengan segenap pemasukan yang mengiringi saat melakukan pekerjaan.
Tren mahasiswa kerja sambil kuliah selanjutnya datang dari dua teman satu kelas saya. Dua orang di antara teman-teman kelas saya memilih jalan menjadi selebgram. Keduanya memiliki followers Instagram tidak kurang dari 40 ribu users. Lebih jauh lagi, mereka meretas langkah menjadi selebgram saat masih aktif melakukan perkuliahan dan sejak sebelum pandemi. Aktivitas sebagai selebgram pun sesekali dilakukan di sela-sela perkuliahan. Mulai dari membuat konten, hingga berinteraksi dengan followers yang wajib untuk dilakukan. Patut diingat, menjadi selebgram baru menjadi pilihan pekerjaan 3-4 tahun belakangan saat penetrasi medsos makin jauh ke dalam setiap lini kehidupan manusia.
Terakhir, pekerjaan yang dilakukan oleh teman saya dan saya sendiri seperti disebutkan di awal. Pekerjaan ini nggak ada namanya, atau minimal susah disebutkan. Di luar perkuliahan, kami bisa mencari pendapatan dari mana saja. Kadang jadi penulis, kadang jadi volunteer berbayar, kadang juga mengerjakan projek-projek yang sebenarnya mirip dengan kerjaan pada selebgram.
Khusus teman saya, dirinya juga kerap menjadi MC, panitia dalam beberapa kegiatan, hingga model produk-produk fashion lokal, yang jelas, sulit menyebutkan nama profesi yang satu ini. Freelancer di beberapa tempat, freelancer pekerja kreatif, serabutan model baru, atau entah apa namanya, lah. Intinya itu yang saya—dan teman saya yang satu ini—lakukan untuk mencari penghasilan.
Tren Lama dan Tren Baru Kerja Sambil Kuliah
Jika dahulu pekerjaan diniatkan untuk sekadar bertahan hidup, keadaan sekarang sedikit berbeda. Baik saya sendiri, maupun teman-teman yang saya jadikan contoh di atas, semuanya memiliki bekal bulanan yang cukup dari orang tua, sehingga nggak wajib-wajib amat untuk bekerja. Selain itu, pilihan pekerjaan pun menjadi semakin banyak. Terlebih lagi di era digital yang membuka profesi-profesi baru yang hanya dikuasai anak muda sebagai digital native. Mulai dari desainer, admin medsos, sampai sebagian yang sudah saya sebutkan di awal.
Pekerjaan-pekerjaan yang termasuk tren baru ini pun belum tentu mengganggu waktu kuliah. Ya, memang ada, sih, yang jadi lama lulusnya—seperti saya. Tapi, banyak juga yang lancar-lancar saja. Entah karena anak muda sekarang yang lebih multitasking ataupun jadwal dan proses perkuliahan yang lebih fleksibel. Inilah tren baru kerja sambil kuliah. Model baru yang menarik untuk diamati lebih jauh. Lalu, karena sejak awal niat saya menulis ini hanya sebagai cerita, maka saya persilakan setiap pembaca untuk mengambil kesimpulan maupun hikmah secara mandiri —Kalau memang ada kesimpulan dan hikmah yang bisa diambil, hehe.
Editor: Renci