Oleh Muh. Akmal Ahsan (Ketua Umum DPD IMM DIY)
Fantasi paling semu di Indonesia beberapa tahun belakangan adalah gagasan bahwa kita berada dalam suatu ruang demokrasi di era kepemimpinan Joko Widodo. Gagasan tersebut bak opium penenang di tengah jerat watak otoriter dan manipulatif yang diam-diam menjangkiti kita secara tanpa sadar. Demokrasi kemudian kehilangan sakralitasnya, Indonesia tengah mengalami realitas demokrasi yang paradox, baik di tingkat struktural pemerintahan maupun pada tingkat perilaku politik massa lewat laku pendukung kekuasaan.
Pelan-pelan kita melihat bahwa demokrasi dalam konteks ke-Indonesiaan telah dibajak oleh laku koruptif dan manipulatif dari elit negeri ini. Demokrasi mengalami dis-orientasi akut, dijalankan secara ugal-ugalan dan semberono. Inilah yang kemudian melahirkan ketidakpercayaan (distrust) publik pada pemerintah sebagai pelaku demokrasi. Pada gilirannya, ketidakpercayaan tersebut akan melahirkan pembangkangan publik.
Demokrasi dikorupsi setidaknya disebabkan oleh dua hal: pertama, kecenderungan penguasa untuk melanggengkan kedaulatannya dengan cara-cara dominatif atau hegemonik. Kedua, kebudayaan politik dan demokrasi rakyat yang masih rendah sehingga masyarakat mudah dimobilisasi justru untuk merusak demokrasi, mereka tidak memiliki otonomi yang penuh untuk menunjukkan pilihan-pilihan sikapnya. Setidaknya indikasi demokrasi dikorusi bisa dilihat dari beberapa hal:
Pertama, demokrasi Indonesia dibajak, dikorupsi oleh kelompok-kelompok fanatis yang menjadi virus dalam demokrasi. Munculnya kelompok-kelompok fanatis tersebut ditandai dengan kehadiran golongan-golongan sektarian pendukung kekuasaan. Kesetiaan-kesetiaan politik masyarakat tidak lagi kepada sistem demokrasi yang objektif dan rasional, namun dukungan kepada tokoh yang berwatak subjektif dan emosional. Tidak mengherankan bila sang tokoh dikritik, muncul pula arus kritik baru dari kelompok pendukung dengan sikap yang keras, ekstrem dan fanatis.
Kedua, demokrasi dikorupsi oleh elit pemerintah dengan memberi kesempatan pada segelintir kelompok untuk menguasi negara. Kecenderungan koruptif dan manipulatif ini bisa diamati dari menguatnya kelompok oligarki, baik oligarki ekonomi, maupun oligarki politik. Masalah menambah ketika presiden sebagai pimpinan tertinggi tidak mampu mengelola laku politik para oligarki tersebut. Demokrasi secara prosedural menjadi buyar selaras dengan raibnya subtansi demokrasi.
Ketiga, demokrasi dikorupsi oleh aparat hukum dimana mereka merusak tatanan demokrasi dengan melabrak kebebasan masyarakat. Aturan-aturan dilahirkan untuk mengawasi ujaran dan sikap publik. Sering pula dipakai untuk menggigit lawan politik. Atas nama ketertiban, aparat hukum mengkriminalisasi kelompok-kelompok yang mengkritik.
Keempat, demokrasi dikorupsi oleh para demagog. Kebebasan dan kesempatan tiap-tiap orang untuk membentuk narasinya, terlebih di era media sosial ini telah cukup berperan melahirkan demagog (penghasut). Sosok demagog itu boleh jadi muncul dari lingkar kekuasaan, bisa pula timbul dari massa politik atas dalih oposisi. Belakangan, laku demagog tergambar terang dari perang tagar di media sosial oleh buzzer. Para demagog itu memanipulasi dan membajak jalannya demokrasi dengan mengaduk emosi masyarakat, jadilah demokrasi di isi dengan perdebatan dan pertengkaran yang emosional-subjektif, bukan dialog yang rasional-objektif. Keahlian para demagog tersebut ditambah dengan masih lemahnya kebudayaan politik masyarakat membuat publik mudah digiring dan dimobilisasi pada polarisasi.
Indonesia sejak kemerdekaan diraih memang masih terus mengalami proses peremajaan dan pendewasaan demokrasi. Di era kepemimpinan Orde Lama khsuusnya pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965) Soekarno mempraktikkan pemerintahan yang diktatoral dengan membubarkan konstituante Partai Saretkat Islam (PSI) dan Masyumi. Kekuasaan Soekarno kemudian jatuh kemudian dilanjutkan oleh Presiden Soeharto.
Di bawah rezim orde baru (1965-1998) demokrasi dimanipulasi oleh Soeharto dengan melakukan penataran P4 namun pada fakta di publik, MPR, DPR, pers, partai politik, ABRI, organisasi kemasyarakatan dan instiutis politik dijerat oleh Soeharto. Jerat pemerintahan orde baru lalu tumbang pada 21 mei 1998.
Reformasi kemudian membuka harapan bagi berjalannya demokrasi dalam makna yang sebarnya, namun jauh panggang dari api, justru di era ini, demokrasi dijalankan secara ugal-ugalan, kita berada dalam masa baru demokrasi: demokrasi jadi-jadian. Pada masa ini, demokrasi di kendarai oleh pemerintahan yang pragamatis, aparat yang hegemonik, para kelompok-kelompok fanatis juga golongan demagog yang mengobok-obok proses pelaksanaan demokrasi.
Di era kepemimpinan Joko Widodo, rakyat terkecoh oleh laku yang seolah demokratis. Dalam wajah di publik, Jokowi tampil sebagai pemimpin yang demokratis, tapi dalam fakta kebijakannya justru mencerminkan laku pemerintahan yang otoriter. Watak otoriter itu setidaknya dilihat dari ragam macam aturan yang diproduksi oleh Jokowi tanpa melibatkan partisipasi publik, lebih dari itu, teluran kebijakan tersebut justru mengancam hajat hidup publik. Jokowi seturut kolega politiknya memanipulasi demokrasi dengan menguasai struktur politik selaras dengan mengerahkan dan memobilisasi publik untuk melanggengkan kedaulatannya. Keadaan yang demikian pula merupakan cermin dari demokrasi yang dikorupsi. Di tengah kehidupan bangsa yang centang perenang dan penuh pergumulan ini, harapan untuk mencapai titik demokrasi paling purna harus selalu ada sekaligus pula diupayakan. Semua elemen harus telibat dalam peremajaan dan pendewasaan demokrasi. Pendewasaan demokrasi itu menyasar birokrasi pemerintahan sekaligus massa rakyat, pendewasaan secara prosedural juga pendewasaan secara subtansial. Lepas jerat orde lama dan orde baru mengungkung kehidupan kebangsaan, jangan lagi reformasi diisi dengan demokrasi yang korup, manipulatif dan fatamorgana.
Editor: Renci