Oleh: Mukhtar Hadi
Istilah Perang Air pertama kali digunakan oleh seorang feminis dan aktivis lingkungan dari India, Vandhana Shiva, dalam bukunya yang berjudul Water Wars: Privatization,Pollution, and Profit, tahun 2002. Menurut Vandhana Shiva, air merupakan sumber dan simbol kehidupan yang harus dijaga dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia. Namun sekarang ini, air telah menjadi rebutan antara kepentingan ekonomi neo-liberalisme dengan kepentingan kemanusiaan yang memicu perang air.
Shiva dengan mengutip pandangan Wakil Presiden Bank Dunia, Ismail Seregeldin pada tahun 1995, menyatakan tentang prediksi masa depan perang. Menurut Ismail Seregeldin jika perang abad ini banyak diakibatkan oleh persengketaan minyak, perang masa depan akan dipicu oleh air. Apa yang disinyalir oleh Seregeldin itu ternyata kemudian mendekati kenyataan. Berita tentang kelangkaan air yang diungkap oleh media terjadi di beberapa wilayah seperti di Israel, India, Bolivia, Kanada, Meksiko, Ghana, dan Amerika Serikat. Pada tanggal 16 April 2001, New York Times mengangkat topik tentang kelangkaan air di Texas. Surat kabar itu meramalkan, bagi Texas kini bukan minyak yang menjadi cairan emas, melainkan air.
Di India, tepatnya di wilayah Jaipur, pada musim kemarau di jalan-jalan terdapat budaya air yang berbeda. Pada puncak musim kemarau, dibangun gubuk kecil beratap jerami yang disebut Jal Maidirs (kuil air) di mana diletakkan belanga tanah (kendi) berisi air yang diberikan secara cuma-cuma kepada orang-orang yang dahaga. Jal Maidirs adalah sebagian dari tradisi nenek moyang yang melatari kehadirab Piyaos, stan air gratis di ranah publik. Di sisi lain orang bisa mendapat air kemasan di berbagai ruang publik dengan yang terdiri dari berbagai merek dijajakan dan dijual serta untuk memperolehnya bisa dilakukan dengan pengganti sejumlah uang.
Dalam pandangan Shiva, ini merupakan perbenturan dua kebudayaan air: satu kebudayaan melihat air sebagai sesuatu yang sakral dan memperlakukannya sebagai tugas mewujudkan suaka hidup, sedangkan budaya lainnya memandang air sebagai komoditas, dan kepemilikan air berikut penjualannya merupakan hak fundamental korporat. Kebudayaan komodifikasi berperang dengan kebudayaan yang saling berbagi, menerima dan memberi air sebagai pemberian cuma-cuma. Budaya kemasan plastik yang merusak lingkungan dan tidak dapat didaur ulang berperang melawan peradaban yang didasarkan pada tanah, lumpur, dan budaya pembaruan dan peremajaan.
Sebagai seorang aktivis lingkungan, Vandhana Shiva sebenarnya sedang memberikan kritik dan pesan kepada semua orang bahwa pemicu segala kerusakan alam yang sekarang ini kita alami berawal dari persoalan perebutan air. Air sebagai sumber kehidupan yang merupakan hak semua umat manusia untuk memanfaatkan berhadapan dengan kekuatan sistem ekonomi liberal. Sistem ekonomi ini yang memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi korporasi atau perusahaan dalam menjadikan air sebagai komoditas dan sekaligus mengeksploitasi alam yang menyebabkan lenyapnya tangkapan air.
Serangan Air
Eksploitasi alam oleh korporasi yang menyebabkan penebangan hutan (deforestasi) besar-besaran baik untuk alasan tambang atau alasan perluasan lahan perkebunan telah menyebabkan kerusakan hutan dunia. Dalam laporan Greenpeace Indonesia, pada periode antara tahun 2015 sampai dengan 2018 saja hutan di Indonesia mengalami kerusakan akibat penebangan maupun pembakaran mencapai 3.403.000 hektar. Pembakaran hutan dan penebangan yang ugal-ugalan ini membuat hutan yang merupakan paru-paru dunia terancam kehilangan daya kendalinya terhadap penyerapan korbondioksida yang menjadi pemicu pemanasan global dan perubahan iklim. Rusaknya hutan juga membuat berkurangnya daerah tangkapan air dan menyebabkan tanah tidak mampu menyerap dan menyimpan air.
Alam yang secara sunatullah memiliki kemampuan untuk mengatur dan menjaga keseimbangan kehidupan menjadi kehilangan kendali pada dirinya akibat dari keserakahan manusia. Kini perang air bukan lagi antara budaya korporasi dan kearifan masyarakat yang menjadikan air sebagai sumber kehidupan bersama, tetapi telah terjadi perang air antara manusia sebagai perusak alam dengan air itu sendiri. Air yang tidak dijaga dan dilindungi kini telah dan akan terus menyerang manusia baik dengan nama banjir bandang, banjir rob, atau longsoran lumpur.
Jadi kalau hari-hari ini kita disuguhkan dengan peristiwa alam seperti banjir bandang yang terjadi di Batu Malang yang tidak hanya membuat kerugian harta benda namun juga merenggut beberapa nyawa manusia. Kemudian banjir di Sintang, Kalimantan Barat yang sudah hampir dua bulan belum juga surut atau juga banjir di Palangkaraya, Kalimantan Tengah yang tidak biasanya terjadi. Belum lagi hujan yang memicu lonsor di beberapa daerah perbukitan. Semua itu merupakan serangan air terhadap manusia, karena daerah tempat tinggalnya kita rusak dan tidak kita pelihara dengan baik.
Memahami Fikih Alam
Sebagai umat beragama kita diminta untuk melihat dan menggali kembali pesan-pesan Tuhan mengenai alam dan cara merawatnya. Islam memandang bahwa melestarikan, menjaga dan tidak merusak alam adalah merupakan tugas manusia. Alam dengan segala isinya disediakan oleh Allah agar dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia, namun demikian manusia dilarang untuk merusak alam yang dapat berakibat kepada terjadinya bencana kerusakan alam tersebut. Allah telah menciptakan alam semesta ini dengan segala isi dan kesempurnaan penciptaanya. Tugas manusia adalah mengolah dan memanfaatkannya dengan baik seraya memeliharanya supaya tidak mengalami kerusakan.
Sebab itu Allah melarang sikap merusak alam dan menganjurkan untuk menjaganya. Orang-orang yang menjaga alam dinyatakan oleh Allah sebagai orang yang akan mendapatkan rahmat karena akibat kebaikan yang dilakukannya. Allah berfirman dalam surat Al-A’raf ayat 56 “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan”.
Allah juga menegaskan bahwa kerusakan alam baik yang terjadi di daratan maupun lautan adalah akibat ulah tangan manusia yang mengekploitasi alam secara berlebihan tanpa mau memelihara dan menjaganya. Dalam surat Ar-Rum ayat 41 “Telah Nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar”. Dalam surat Al-Baqarah ayat 205 Allah juga melarang merusak alam dengan menebangi tanam-tanaman, merusak pohon-pohon di hutan yang juga berakibat pada punahnya habitat binatang-binatang sebagaimana firman-Nya pada Al-Baqarah ayat 205 “Dan apabila dia berpaling (dari engkau), dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi, serta merusak tanam-tanaman dan ternak, sedang Allah tidak menyukai kerusakan”.
Nabi Muhammad dalam beberapa haditsnya melarang umatnya melakukan tindakan yang dapat mencemari lingkungan. Perintah itu ditunjukkan Nabi dengan larangannya terhadap orang yang membuang kotoran sembarangan dan melakukan pencemaran air. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda “Jauhilah dua perbuatan yang mendatangkan laknat!, sahabat-sahabat bertanya, “Apakah dua perbuatan yang mendatangkan laknat itu?” Nabi menjawab, “orang yang buang air besar di jalan umum atau di tempat berteduh manusia”. Dalam hadits lain Rasulullah juga bersabda yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim : “Jauhilah dari kalian kencing di air tenang yang tidak mengalir kemudian mandi di dalamnya”.
Dua hadits di atas jika kita perluas pemahamannya berisi pesan larangan dari Nabi kepada manusia agar tidak melakukan tindakan yang dapat mencemari lingkungan. Pencemaran lingkungan itu dapat dilakukan manusia dengan cara membuang sampah sembarangan, membuang kotoran tidak pada tempatnya dan merusak kenyamanan fasilitas umum. Rasulullah juga melarang manusia mencemari air, karena air merupakan sumber kehidupan manusia yang harus dijaga agar dapat terus dimanfaatkan untuk kelangsungan hidup manusia. Sikap tidak menjaga lingkungan, mengotori air dengan membuang kotoran dan sampah, membuang limbah rumah tangga dan industri ke sumber-sumber air dinyatakan oleh Nabi sebagai perilaku yang terlaknat.
Sebaliknya sikap-sikap yang menjaga lingkungan dengan berperilaku hidup bersih, sehat, dan peduli pada lingkungan diberikan pahala yang besar dan catat sebagai kebaikan di dalam Islam. Orang-orang yang senantiasa melestarikan alam dengan melakukan penanaman pohon atau tanaman yang dapat memberikan manfaat bagi manusia dianggap setara dengan sedekah. Nabi bersabda yang diriwayatkan oleh Bukhari “Tidak seorangpun muslim yang menanam tumbuhan atau bercocok tanam, kemudian buahnya dimakan burung atau binatang ternak, kecuali yang dimakan itu akan bernilai sedekah untuknya”. Sebab itu, mari kita jaga alam dengan memperbanyak bersedekah bagi kehidupan. Dan salah satu cara bersedekah dengan alam itu adalah dengan menanam pohon dan tanam-tanaman.
Editor : Dwi Novi Antari