Mansurni Abadi (Ketua divisi Intelektual PPI Universitas Nasional Malaysia)
Tulisan Saudari Nadiya yang meangkat sastra kritisnya Ahmad Tohari tentang kemiskinan bagi saya menarik, karena peran sastra kritis dalam membongkar selubung prasangka tentang kemiskinan jarang dibahas ketika kita membincangkan penindasan manusia atas manusia.
Mayoritas kita menilai kemiskinan ada pada kesalahan individu tersebut, label malas, bodoh, bahkan jauh dari Tuhan (kurang ibadah). Beberapa hal tersebut dianggap menjadi alasan utama kemiskinan, bahkan anggapan ini semakin diperkuat dengan banyaknya public figure termasuk motivator didalamnya yang menjadikan kemiskinan objek penghakiman sekaligus cari cuan.
Kemiskinan memang sebuah kehinaan, namun juga sebuah kesempatan, terutama bagi mereka yang ingin mengkomoditaskan kemiskinan. Sewaktu tinggal di Bangkok dahulu, ada sebuah wilayah kumuh bernama Klong Teoy, wilayah ini persis seperti wilayah kumuh di kota Jakarta, sama-sama terletak di pinggiran sungai yang kotor dengan rumah-rumah seng yang berdempatan dan sampah bertebaran dimana-mana, namun yang membedakannya dengan wilayah di Jakarta adalah Klong Teou menjadi objek pariwisata bagi mereka yang ingin merasakan suasana kemiskinan, penduduk di wilayah tersebut merasa senang dan menadah tangan kepada setiap yang datang, tentu saja ini ironis, bagaimana penderitaan yang harusnya bisa diselesaikan justru dijaga menjadi objek tontonan.
Jangan kira di negeri kita tidak ada situasi seperti Klong Teoy, dalam setiap momentum pemilu misalnya, kita akan dapati calon pemimpin yang menjadikan wilayah-wilayah kumuh tempat mereka menarik hati para pemilih. Sudah miskin tertimpa victim blaming, lalu dimanfaatkan juga. Begitu ironisnya mereka, padahal kalau kita melihat lebih dalam konteks ilmu sosial, penyebab kemiskinan tidak sesederhana perkataan para public figure itu. Kalau menurut Glen Bramley dalam analyzing social policy mengatakan bahwa kemiskinan dan kesengsaraan sosial yang menyertainya, sebagian besar disebabkan oleh struktur sosial, yaitu bagaimana masyarakat berfungsi secara makro.
Pendapat Gley, selaras dengan kajian dari Wachtel di tahun 1971 berjudul Looking At Poverty From a Radical Perspective Review of Radical Political Economic yang berpendapat bahwasanya kemiskinan adalah kondisi masyarakat, maka kita harus melihat ke lembaga-lembaga masyarakat untuk menemukan penyebab kemiskinan, daripada karakteristik individu sebagai penyebab utamanya. Fakta sosial membuktikan, beberapa masalah sosial, seperti rasisme, seksisme, dan segregasi, terus-menerus menyebabkan disparitas pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan bagi kelompok yang terpinggirkan.
Sewaktu mengikuti kuliah bersama Slavoj Zizek di forum filsafat Universitas Nasional Singapura bulan lalu, intelektual gokil asal Slovakia itu berkata bahwa kemiskinan pada dasarnya adalah ketidakmampuan untuk memiliki pilihan dan kesempatan, ada pelanggaran terhadap harkat dan martabat manusia sehingga mereka tidak dapat kesempatan yang sama. Karena kurangnya kesempatan, maka kurang jugalah kapasitas dasar mereka untuk berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat. Hal ini berarti mereka tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk memberi makan dan pakaian keluarga mereka, tidak mampu mengakses sekolah atau klinik untuk dikunjungi ketika sakit, tidak memiliki tanah untuk menanam makanan atau pekerjaan untuk mencari nafkah, dan tidak memiliki akses ke kredit. Pada kemiskinan yang struktural, penting bagi kita lepas dari budaya victims blaming di tingkat individual untuk kemudian menolak segala bentuk untuk mengkomoditaskan kemiskinan sebagai konten yang bisa menarik popularitas di ranah kolektifitas.
Editor: Renci