• Tentang
  • Kontak
  • Tim Redaksi
  • Beranda
  • Teras Mahan
  • Artikel
    • Opini
    • Essay
    • Reportase
    • Profil
  • Sastra
    • Puisi
    • Cerpen
    • Resensi
  • Resonansi
No Result
View All Result
Mahanpedia
No Result
View All Result
Home Artikel

Miskin di caci miskin di cari

mahanpedia by mahanpedia
1 tahun ago
in Artikel
2 min read
0
0
SHARES
79
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Mansurni Abadi (Ketua divisi Intelektual PPI Universitas Nasional Malaysia)

Tulisan Saudari Nadiya yang meangkat sastra kritisnya Ahmad Tohari tentang kemiskinan bagi saya menarik, karena peran sastra kritis dalam membongkar selubung prasangka tentang kemiskinan jarang dibahas ketika kita membincangkan penindasan manusia atas manusia.

Mayoritas kita menilai kemiskinan ada pada kesalahan individu tersebut, label malas, bodoh, bahkan jauh dari Tuhan (kurang ibadah). Beberapa hal tersebut dianggap menjadi alasan utama kemiskinan, bahkan  anggapan ini semakin diperkuat dengan banyaknya public figure termasuk motivator didalamnya yang menjadikan kemiskinan objek penghakiman sekaligus cari cuan.

Kemiskinan memang sebuah kehinaan, namun juga sebuah kesempatan, terutama bagi mereka yang ingin mengkomoditaskan kemiskinan. Sewaktu tinggal di Bangkok dahulu, ada sebuah wilayah kumuh bernama Klong Teoy, wilayah ini persis seperti wilayah kumuh di kota Jakarta, sama-sama terletak di pinggiran sungai  yang kotor dengan rumah-rumah seng  yang berdempatan dan sampah bertebaran dimana-mana, namun yang membedakannya dengan  wilayah di Jakarta adalah Klong Teou menjadi objek pariwisata bagi mereka yang ingin merasakan suasana kemiskinan, penduduk di wilayah tersebut merasa senang dan menadah tangan kepada setiap yang datang, tentu saja ini ironis, bagaimana penderitaan yang harusnya bisa diselesaikan justru dijaga menjadi objek tontonan.

Jangan kira di negeri kita tidak ada situasi seperti Klong Teoy, dalam setiap momentum pemilu misalnya, kita akan dapati calon pemimpin yang menjadikan wilayah-wilayah kumuh tempat mereka menarik hati para pemilih. Sudah miskin tertimpa victim blaming, lalu dimanfaatkan juga. Begitu ironisnya mereka, padahal kalau kita melihat lebih dalam konteks ilmu sosial, penyebab kemiskinan tidak sesederhana perkataan para public figure itu. Kalau menurut  Glen Bramley dalam analyzing social policy mengatakan  bahwa kemiskinan dan kesengsaraan sosial  yang menyertainya, sebagian besar disebabkan oleh struktur sosial, yaitu bagaimana masyarakat berfungsi secara makro.

Pendapat Gley, selaras dengan kajian dari Wachtel di tahun 1971 berjudul  Looking At Poverty From a Radical Perspective Review of Radical Political Economic yang berpendapat bahwasanya kemiskinan adalah kondisi masyarakat, maka kita harus melihat ke lembaga-lembaga masyarakat untuk menemukan penyebab kemiskinan, daripada karakteristik individu sebagai penyebab utamanya. Fakta sosial membuktikan, beberapa masalah sosial, seperti rasisme, seksisme, dan segregasi, terus-menerus menyebabkan disparitas pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan bagi kelompok yang terpinggirkan.

Sewaktu mengikuti kuliah bersama Slavoj Zizek di forum filsafat Universitas Nasional Singapura bulan lalu, intelektual gokil asal Slovakia itu berkata bahwa kemiskinan pada dasarnya adalah ketidakmampuan untuk memiliki pilihan dan kesempatan, ada pelanggaran  terhadap harkat dan martabat manusia sehingga mereka tidak dapat kesempatan yang sama. Karena kurangnya kesempatan, maka kurang jugalah kapasitas dasar  mereka untuk berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat. Hal ini berarti mereka  tidak memiliki sumber daya yang  cukup untuk memberi makan dan pakaian keluarga mereka, tidak mampu mengakses sekolah atau klinik untuk dikunjungi ketika sakit, tidak memiliki tanah untuk menanam makanan atau pekerjaan untuk mencari nafkah, dan tidak memiliki akses ke kredit. Pada kemiskinan yang struktural, penting bagi kita lepas dari budaya victims blaming di tingkat individual untuk kemudian menolak segala bentuk untuk mengkomoditaskan kemiskinan sebagai konten yang bisa menarik popularitas di ranah kolektifitas.

Editor: Renci

Previous Post

Over Jargon Bukan Pandai

Next Post

Manifesto Filantropi Mahasiswa Islam dan Alegori Pancasila

Next Post

Manifesto Filantropi Mahasiswa Islam dan Alegori Pancasila

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Popular Posts

Essay

Bonus Demokrasi dan Nawacita

by mahanpedia
Februari 27, 2023
0
10

Oleh : Fahrudin Hamzah Ketua Bidang Teknologi dan Informasi Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah Indonesia diperkirakan akan menghadapi era bonus...

Read more

Bonus Demokrasi dan Nawacita

Literasi Berada di Jurang Degradasi

Muhammadiyah; Dari Kiyai Haji menjadi Profesor?

Bukit Idaman: Ekowisata peduli sesama

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Nilai-nilai Dasar Dalam Etika Berdigital

Load More

Popular Posts

Hablum Minal’alam: Menjaga Lingkungan Bernilai Ibadah

by mahanpedia
September 2, 2021
0
2.1k

Akhlak Mulia Generasi Zaman Now

by mahanpedia
September 16, 2020
0
1.8k

5 Hal Misterius tentang Amado

by mahanpedia
September 6, 2021
0
1.7k

Mahanpedia

Mahanpedia adalah media belajar bersama untuk saling menginspirasi membangun kemajuan melalui gerakan literasi.

  • Kirim Tulisan
  • Tim Redaksi
  • Kontak

© 2020 Mahanpedia.id – Inspirasi untuk kemajuan.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Teras Mahan
  • Artikel
    • Opini
    • Essay
    • Reportase
    • Profil
  • Sastra
    • Puisi
    • Cerpen
    • Resensi
  • Resonansi

© 2020 Mahanpedia.id