Oleh: Mansurni abadi (Ketua intelektual PPI Universitas kebangsaan Malaysia)
Kita seringkali mendengar istilah-istilah dari para elit maupun bawahannya bahkan diantara masyarakat umum sendiri termasuk intelektual muda didalamnya yang membuat kita mengerutkan dahi, berpikir sejenak atau mungkin bertanya balik apa yang mereka maksud. Istilah-istilah yang membuat dahi kita berkerut itu disebut jargon. Dalam banyak bidang pengetahuan ada istilah-istilah khusus yang melekat di jargon itu. Dalam bidang sosiologi, ada istilahnya khusus, begitupun dalam bidang filsafat.
Dua jurusan yang saya sedikit pelajari, kita biasanya melangsungkan percakapan dengan istilah-istilah ala-ala Yunani, Inggris, maupun Prancis yang sedikit sulit dipahami, tapi jargon tidak selamanya merupakan istilaha khusus, dia juga bisa merupakan istilah umum yang kita sengajakan, khususnya biasanya segelintir kaum intelektual lebih nyaman menganti-ganti istilah-istilah tertentu dari bahasa ibunya ke dalam bahasa asing, padahal kata yang diucapkan hanya terjemahan, bukan istilaha khusus. Jargon itu perkara biasa, dalam ilmu bahasa, jargon ini boleh juga dipanggil sebagai laras. Laras bahasa. Tapi dalam masyarakat kita, jargon yang diperbincangkan bukanlah laras bahasa, tetapi penggunaan gaya bahasa yang kompleks bahkan di over-overkan.
Dalam satu artikel tulisan Roger Trapp yang bertajuk ‘Why You Should Avoid Jargon and Talk Like a Leader’, beliau mengusulkan seorang pemimpin itu harus mengurangi, menggunakan jargon untuk mencapai komunikasi efektif (effective communication). Bila jadi seorang pemimpin, komunikasi itu sangatlah penting. Tambahan pula, komunikasi itu harus efektif dan tidak membuat orang berpikir keras memahaminya. Kalau hendak mencapai keefektifan dalam berkomunikasi, harus menggunakan laras bahasa yang semua orang bisa paham. Apalagi sebagai pemimpin yang harus memahami kondisi sosial yang beragam, dia harus mampu menangkap pola komunikasi yang bagaimana untuk masyarakat yang dia pimpin kalau memimpin golongan yang berisi akademisi elit, bahasa yang terlalu sederhana mungkin akan di kritisi, tetapi berbeda kalau memimpin orang-orang biasa kalaupun ada yang berpendidikan tinggi belum tentu memiliki pemahaman. Ada anggapan menggunakan jargon tandanya kita cerdas? Tetapi harus juga ada pertimbangan. Kalau secara logika, sebenarnya malah berlaku sebaliknya. Kurang penggunaan jargon justru menunjukkan kita lebih bijak. Kalau kita memudahkan laras bahasa sehingga orang ramai bisa mengerti tanpa tertinggal informasi sedikit pun, disitu kita baru cerdas dan bijak.
Editor: Renci