• Tentang
  • Kontak
  • Tim Redaksi
  • Beranda
  • Teras Mahan
  • Artikel
    • Opini
    • Essay
    • Reportase
    • Profil
  • Sastra
    • Puisi
    • Cerpen
    • Resensi
  • Resonansi
No Result
View All Result
Mahanpedia
No Result
View All Result
Home Artikel

Kejahatan Seksual dan Urgensi UU PKS

mahanpedia by mahanpedia
1 tahun ago
in Artikel
6 min read
0
0
SHARES
64
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Suwarno (Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Lampung)

Beberapa waktu belakangan ini, angka kasus kejahatan seksual meningkat di Indonesia. Kasus pemerkosaan terhadap santri di Bandung yang mencengangkan kita. Guru salah satu pondok pesantren berinisial HW (36) memerkosa 13 santri. Aksi bejat ini mengakibatkan 7 korban hamil dan melahirkan 9 bayi. Atas perbuatan tersangka, jaksa penuntut umum menuntut hukum pidana mati dan kebiri kimia. (Kompas, 10/01/2022).

Dalam dakwaanya, jaksa penuntut umum menuntut terdakwa dalam dakwaannya, HW melanggar Pasal 81 ayat (1), ayat (3) jo Pasal 76. D UU R.I Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP untuk dakwaan primairnya. Sedang dakwaan subsider, melanggar Pasal 81 ayat (2), ayat (3) jo Pasal 76.D UU R.I Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Selain itu, kasus kekerasan dan pelecehan seksual marak terjadi sepanjang 2021. Kasus-kasus itu terjadi di berbagai tempat yang selama ini dianggap aman, seperti sekolah, perguruan tinggi, hingga pesantren. Korbannya pun beragam, mulai dari santri, mahasiswa, pegawai di lembaga negara, istri tahanan sampai difabel. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mencatat sebanyak 8.800 kasus kekerasan seksual terjadi dari Januari sampai November 2021.

Sementara itu, Komnas Perempuan juga mencatat ada 4.500 aduan terkait kekerasan seksual yang masuk pada periode Januari hingga Oktober 2021. Salah satu kasus kekerasan seksual yang menjadi sorotan di awal tahun 2021 adalah kasus yang menimpa anak penyandang disabilitas rungu-wicara. Ia diperkosa beramai-ramai (gang rape) di Soppeng dan Makassar, Sulawesi Selatan. Korban akhirnya melapor ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada 26 Januari 2021.

Jaminan Kepastian Hukum

Hidup dinegara hukum, kepastian hukum adalah hal yang musti dihadirkan oleh negara. Tidak terkecuali bagi korban kekerasan seksual. Selain kepastian akan adanya pidana bagi pelaku, pendampingan pemulihan psikologis juga musti dilakukan. Mengingat kondisi itu akan berdampak lebih lama dan untuk keberlangsungan hidup korban dalam masyarakat.

Untuk menjerat pelaku tindak pidana kekerasan seksual, di Indonesia saat ini pelaku dikenakan ancaman hukuman dengan beberapa undang-undang, antara lain:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Pemerkosaan atau persetubuhan yang dilakukan oleh orang dewasa telah
diatur dalam pasal 294 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:
“Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya,
anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa
yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”

Begitu juga dengan Pelaku yang melakukan pelecehan seksual terhadap anak yang
belum berumur 15 tahun dapat dijerat dengan Pasal 287 KUHP yang menyatakan:

“Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalua umumnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

  • UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 

Jika korban Pelecahan anak-anak, maka dapat dikenakan undang-undang perlindungan anak yang ancaman hukumannya lebih berat, diantaranya diatur dalam ketentuan pasal sebagai berikut:

  1. Pasal 76 D Undang-Undang nomor 35 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa: “Setiap
    Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak
    melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.”
  2. Pasal 81 Perpu nomor 1 tahun 2016 yang menyatakan bahwa: “Setiap orang yang
    melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan
    pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
    dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Mengapa rancangan undang-undang pencegahan kekerasan seksual mendesak?

Dalam draf rancangan undang-undang pencegahan kekerasan seksual, setidaknya mengatur sembilan jenis kekerasan seksual (BAB V Pasal 11), yakni mencakup pelecehan seksual, eksploitasui seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, hingga penyiksaan seksual. Kekerasan seksual dimaksud meliputi kekerasan yang terjadi dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik, dan situasi khusus lainnya.

Paling tidak ada beberapa alasan mengapa rancangan undang-undang pencegahan kekerasan seksual mendesak untuk disahkan, diantaranya: Pertama, Angka kekerasan terhadap perempuan di Indonesia terus meningkat. Menurut data dari Komnas Perempuan, jumlah kekerasan seksual terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2017 berjumlah 335.062 kasus. Jumlah tersebut naik drastis dari tahun sebelumnya yang berjumlah 259.150 kasus. “Dari data pada tahun 2012-2013, Komnas Perempuan mencatat bahwa setiap dua jam, terdapat tiga perempuan yang mengalami kekerasan seksual di Indonesia. Dan dalam waktu 10 tahun, kami menemukan 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan itu jauh lebih luas daripada yang ada pada KUHP atau UU lainnya seperti UU perlindungan anak, UU HAM, dan lain-lain. Ada 15 bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan dalam kurun waktu 10 tahun itu. Sebagian bisa ditangani dengan mengedukasi masyarakat tanpa pendekatan hukum, tapi ada sebagian lainnya yang butuh pendekatan hukum. Jika tidak ada pendekatan hukum, kita akan terus membiarkan korban tanpa pemulihan dan pelaku melenggang tanpa adanya tindak hukum.

Kedua, Penyelesaian kasus kekerasan seksual selama ini seringkali merugikan bagi perempuan korban. Contohnya kasus pelecehan seksual yang dialami Agni (bukan nama sebenarnya), mahasiswi UGM saat kuliah kerja nyata (KKN) pada Juli 2017. Kasus ini berakhir dengan jalan damai atau lebih tepatnya menyepakati hak-hak yang harus diperoleh Agni dan hal-hal yang harus dilakukan HS setelah kesepakatan dibuat. Hal itu dibenarkan oleh pihak Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Panut Mulyono yang mengatakan jika Agni dan HS (pelaku pelecehan seksual), sepakat kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan.

Penyelesaian tersebut dilakukan karena proses untuk mendapatkan keadilan lewat jalur hukum cukup berat untuk dijalani. Hal ini telah dibahas pada data Risalah Kebijakan Rancangan Undang-Undang pencegahan kekerasan seksual yang dirilis oleh Komnas Perempuan. Dengan adanya rancangan Undang-Undang pencegahan kekerasan seksual nanti, akan ada penanganan yang dapat membantu korban dalam mengatasi hambatan yang dialami dalam sistem peradilan pidana dan memulihkan korban selama proses peradilan pidana berjalan. Ketiga, tidak adanya sistem pemidanaan dan penindakan terhadap beberapa jenis kekerasan seksual selama ini. Terdapat sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual yang tercakup rancangan undang-undang pencegahan kekerasan seksual. Di antaranya adalah pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

Risalah kebijakan Rancangan Undang-Undang pencegahan kekerasan seksual yang diterbitkan oleh Komnas Perempuan menyebutkan bahwa tidak ada pengaturan yang komprehensif tentang sembilan jenis tindak pidana tersebut dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga memberi dampak pada keterbatasan korban dalam mengakses hak atas keadilan dan hak atas penanganan. Artinya, kasus yang dialami korban tidak akan dapat diproses melalui sistem peradilan pidana di Indonesia karena tidak ada landasan normatif bagi penegak hukum untuk menindaklanjuti jenis tindak pidana yang dialami korban.

Tidak adanya pengaturan sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual juga sama halnya dengan tidak adanya pemidanaan dan penindakan terhadap pelaku, sehingga membuka ruang bagi pelaku untuk bisa bebas tanpa jeratan hukum. Bahkan tanpa adanya aturan tersebut, korban tidak bisa memperoleh pemulihan atas hak-hak yang hilang dan kerugian yang dialami akibat kekerasan seksual. Keempat, korban dan keluarga akan mendapat dukungan proses pemulihan dari Negara. Dalam rancangan Undang-Undang pencegahan kekerasan seksual, didorong agar tercipta bentuk payung hukum yang lebih memperhatikan kebutuhan korban pasca mengalami pelecehan seksual. Karena pada dasarnya kekerasan seksual tidak hanya membuat korban terluka secara fisik, tetapi juga psikis. Hal itu juga akan dialami oleh keluarga dan saksi korban. Mereka akan mengalami penderitaan yang berlapis dan bersifat jangka panjang akibat kekerasan seksual.

Sejauh ini telah rancangan undang-undang pencegahan kekerasan seksual memiliki Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) untuk membantu proses pemulihan korban kekerasan seksual. Di daerah sudah banyak bertambah, itu tandanya masyarakat sudah mulai sadar akan isu tentang kekerasan terhadap perempuan ini. Namun, yang ditekankan saat ini adalah peraturan Undang-Undang yang saat ini berlaku belum menyediakan jaminan atas pemenuhan hak-hak korban dan keluarga korban. KUHAP yang sudah ada tidak dapat memberikan hak-hak korban dalam hukum acara peradilan pidana. Sementara itu, UU Perlindungan Anak hanya melindungi anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban juga hanya mengatur hak perlindungan bagi korban kekerasan seksual yang berusia anak saja, sedangkan korban yang berusia dewasa belum memperoleh jaminan perlindungan. Fakta di atas menyatakan jika masing-masing peraturan perundang-undangan belum mengatur perlindungan dan pemulihan korban, keluarga korban, dan saksi kasus kekerasan seksual secara komprehensif. Kelima, pelaku kekerasan seksual akan mendapat akses untuk rehabilitasi. Rancangan Undang-Undang pencegahan kekerasan seksual mengusulkan pengaturan tindakan berupa rehabilitasi khusus yang hanya diberikan bagi pelaku pelecehan seksual non-fisik dan pelaku berusia di bawah 14 tahun. Ini sangat penting untuk perubahan pola pikir serta sikap dan mencegah untuk perbuatan yang sama terulang di masa depan. Melihat semakin meningkatnya angka kasus kekerasan seksual, menjadi mendesak rancangan Undang-Undang kekerasan seksual untuk disahkan menjadi undang-undang. Demi menjamin kepastian hukum, keadilan dan memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat Indonesia. Semoga.

Editor: Renci

Previous Post

Menjadi Penulis Bukan Sebuah Kebetulan

Next Post

Kampus; Penjara Suci dan Mensucikan

Next Post

Kampus; Penjara Suci dan Mensucikan

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Popular Posts

Essay

Bonus Demokrasi dan Nawacita

by mahanpedia
Februari 27, 2023
0
8

Oleh : Fahrudin Hamzah Ketua Bidang Teknologi dan Informasi Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah Indonesia diperkirakan akan menghadapi era bonus...

Read more

Bonus Demokrasi dan Nawacita

Literasi Berada di Jurang Degradasi

Muhammadiyah; Dari Kiyai Haji menjadi Profesor?

Bukit Idaman: Ekowisata peduli sesama

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Nilai-nilai Dasar Dalam Etika Berdigital

Load More

Popular Posts

Hablum Minal’alam: Menjaga Lingkungan Bernilai Ibadah

by mahanpedia
September 2, 2021
0
2k

Akhlak Mulia Generasi Zaman Now

by mahanpedia
September 16, 2020
0
1.8k

5 Hal Misterius tentang Amado

by mahanpedia
September 6, 2021
0
1.6k

Mahanpedia

Mahanpedia adalah media belajar bersama untuk saling menginspirasi membangun kemajuan melalui gerakan literasi.

  • Kirim Tulisan
  • Tim Redaksi
  • Kontak

© 2020 Mahanpedia.id – Inspirasi untuk kemajuan.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Teras Mahan
  • Artikel
    • Opini
    • Essay
    • Reportase
    • Profil
  • Sastra
    • Puisi
    • Cerpen
    • Resensi
  • Resonansi

© 2020 Mahanpedia.id