• Tentang
  • Kontak
  • Tim Redaksi
  • Beranda
  • Teras Mahan
  • Artikel
    • Opini
    • Essay
    • Reportase
    • Profil
  • Sastra
    • Puisi
    • Cerpen
    • Resensi
  • Resonansi
No Result
View All Result
Mahanpedia
No Result
View All Result
Home Opini

Kesepian itu Mengerikan

mahanpedia by mahanpedia
1 tahun ago
in Opini
4 min read
0
0
SHARES
198
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh : Yusuf Yanuri (Redaktur IbTimes)

Kesepian adalah hal yang mengerikan. Saya punya banyak contoh. Tetangga saya, perempuan paruh baya, mentalnya agak terbelakang tapi masih waras. Masih hidup normal sebagaimana tetangga lainnya. Namun, ia punya gangguan pendengaran akut. Ia tidak bisa mendengar suara orang lain kecuali orang tersebut bicara agak kencang dan di dekat telinganya.

Ketika saya bicara dengannya, saya lebih suka mengandalkan gerakan bibir dan tangan untuk komunikasi. Dia cepat paham, meskipun tak terlalu mendengar. Saya mengangguk untuk mengatakan “iya” dan menoleh untuk mengatakan “tidak”. Itu lebih sederhana daripada harus menaikkan suara di dekat telinganya.

“Koyo wong padu,” kata ibu saya mengomentari ketika saya harus menaikkan suara agar orang tersebut bisa mendengar.

Dia punya satu kebiasaan unik, yaitu menonton TV dengan suara yang sangat pelan. Ditambah lagi, ia hidup sebatang kara. Rumahnya sepi senyap bagi orang dengan pendengaran normal, dan jauh lebih senyap bagi dirinya.

Ketika selesai isya, ia selalu menonton TV hingga tidur. Di usianya yang lebih dari setengah abad, ia tak biasa melek hingga lebih dari pukul sepuluh malam. Tapi, saya tak habis pikir, apa yang ia tonton di TV yang suaranya jelas tak masuk di telinganya? Ia benar-benar hidup sendiri. Bahkan, TV pun tak sudi bicara dengannya. Dunianya sepi. Sepi dalam arti sesungguhnya sekaligus sepi dalam arti metafor.

Ada satu contoh lagi. Dia seorang laki-laki. Usianya mungkin sama dengan contoh pertama. Ia bekerja sebagai kepala rumah tangga di sebuah kantor. Bersama keluarganya, ia tinggal di sudut belakang kantor tersebut. Tugasnya sederhana. Mengepel lantai tiap pagi, menyiapkan konsumsi jika ada rapat, dan menjaga kantor 24 jam.

Praktis, ketika siang sampai sore, tugasnya benar-benar “hanya menjaga kantor”. Padahal, kantor itu tak ramai-ramai amat. Tidak ada pekerja tetap yang keluar masuk. Hanya ada relawan yang sesekali mampir untuk mencari jaringan WiFi gratis, atau rapat pengurus seminggu sekali.

Saya bersama beberapa teman sering menjadikan kantor tersebut sebagai tempat nongkrong yang hemat. Hemat karena tidak perlu mengeluarkan uang untuk sekedar minum kopi yang tidak kita suka demi bisa duduk berlama-lama. Selain itu, ada WiFi gratis pula!

Saya sering main Uno atau sekedar nonton film di kantor itu. Teman-teman sebaya saya pun demikian. Kadang kita ngobrol ngalor ngidul, kadang kita fokus di gadget masing-masing layaknya anak muda pada umumnya.

Anehnya, bapak kepala rumah tangga tersebut selalu duduk tak jauh dari tempat kita duduk. Dia suka sekali memandangi kami yang tengah ngobrol, atau lebih tepatnya saling bully. Ia sesekali ikut tertawa ketika kami semua mentertawakan beberapa hal.

Sepanjang kami ngobrol, dia hanya memandangi saja. Seperti larut dalam kebahagiaan kami. Atau seperti orang yang khusyuk mendengarkan, seolah-olah kami adalah khatib salat Jumat yang harus diperhatikan.

Saat kami ngobrol, tentu pikirannya sibuk mengikuti obrolan kami. Namun, saat kami sibuk dengan gadget, saya tidak tau apa yang ia pikirkan selama berjam-jam duduk. Saya sering menonton film selama berjam-jam. Selama itu pula, dia hanya duduk, diam, sesekali memandangi saya yang cekikikan menikmati film komedi atau misuh-misuh karena menonton film horror.

Saya tahu, ia sejatinya butuh teman ngobrol ala warung kopi. Ia, sebagaimana bapak-bapak lainnya, butuh tempat untuk bicara ngalor-ngidul. Membicarakan berita kematian tetangga, baliho-baliho calon pejabat yang muncul di setiap tempat, Piala AFF, anggota dewan A kena OTT KPK, anak-anak mereka yang sebentar lagi masuk universitas, masa lalu mereka yang kadang dilebih-lebihkan, dan obrolan ngalor-ngidul yang ngalor dan ngidu-lnya jauh sekali.

Namun, zaman berubah. Saya dan orang-orang seusia saya tak terlalu suka bicara. Kita adalah generasi yang menikmati kesendirian, meskipun bukan kesunyian. Larangan bicara di KRL, misalnya, mengakselerasi perubahan ini. Di KRL, orang dilarang bicara. Entah apa maksudnya, saya tidak tau. Larangan tersebut membuat semua orang, benar-benar “semua orang”, larut dalam gawainya masing-masing.

Belum lama ini, karena suatu hal, saya harus naik bus desa dari Sukoharjo menuju Kota Solo. Di bus yang isinya adalah pedagang pasar dan profesi sebangsanya itu, suasana begitu ramai. Setiap orang menyapa satu sama lain. Kernet dengan penumpang begitu akrab.

“Kok melu seng yahmene to yu. Opo ketinggalan bis meneh?”

“Iyo mas. Aku telat. Lha iki Yu Sam kok neng kene.”

“Lha yo podo. Aku yo lagi muleh.”

Obrolan terus berlanjut. Panjang, akrab, dan hangat. Pemandangan itu kontras sekali dengan pemandangan di transportasi umum kelas menengah seperti bis eksekutif, kereta, dan pesawat terbang.

Kini, orang tua-orang tua kesulitan bergaul dengan anak muda. Orang tua ingin menciptakan suasana yang hangat, anak muda tidak ingin diganggu dengan obrolan yang menurut mereka tidak penting dan tidak relate. Dampaknya, sebagian orang tua itu merasa kesepian.

Mereka yang butuh telinga untuk mendengar, hanya mendapati telinga yang telah tersumpal headset. Sebagian orang tua yang tidak relevan dengan anak muda, harus menua lebih cepat, karena menyadari bahwa dunia yang mereka tinggali selama ini telah berubah, sedangkan mereka belum ingin berubah, atau memang tidak mampu berubah.

Anak-anak muda yang emoh mengajak bicara orang tua-orang tua di sekitar mereka sejatinya juga tak tau diri. Mereka merasa sekarang adalah masa mereka. Sekarang adalah zaman mereka. Mereka tidak tau, bahwa esok lusa, bisa saja mereka yang menjadi korban dari perubahan yang begitu cepat. Bisa jadi mereka besok “tidak lagi relevan” bagi dunia di sekitarnya.

Maka, yang bisa menyelamatkan orang tua dan anak muda sekarang hanya empati. Empati yang membuat saya dan kamu mau menyapa orang-orang di sekitar kita yang merasa telah “tidak relevan” dengan dunia. Agar kesunyian yang mereka alami bisa berkurang. Karna, bagaimanapun, kesunyian itu mengerikan. Itulah kenapa kita tidak ingin sedetikpun berpisah dari gawai kita. Sebab sejatinya, kesepian itu mengerikan.

Editor : Dwi Novi Antari

Previous Post

Menyehatkan Iklim Pendidikan

Next Post

Seni Membangun Intelektual Baru Ala Bung Karno

Next Post

Seni Membangun Intelektual Baru Ala Bung Karno

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Popular Posts

Essay

Bonus Demokrasi dan Nawacita

by mahanpedia
Februari 27, 2023
0
10

Oleh : Fahrudin Hamzah Ketua Bidang Teknologi dan Informasi Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah Indonesia diperkirakan akan menghadapi era bonus...

Read more

Bonus Demokrasi dan Nawacita

Literasi Berada di Jurang Degradasi

Muhammadiyah; Dari Kiyai Haji menjadi Profesor?

Bukit Idaman: Ekowisata peduli sesama

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Nilai-nilai Dasar Dalam Etika Berdigital

Load More

Popular Posts

Hablum Minal’alam: Menjaga Lingkungan Bernilai Ibadah

by mahanpedia
September 2, 2021
0
2.1k

Akhlak Mulia Generasi Zaman Now

by mahanpedia
September 16, 2020
0
1.8k

5 Hal Misterius tentang Amado

by mahanpedia
September 6, 2021
0
1.7k

Mahanpedia

Mahanpedia adalah media belajar bersama untuk saling menginspirasi membangun kemajuan melalui gerakan literasi.

  • Kirim Tulisan
  • Tim Redaksi
  • Kontak

© 2020 Mahanpedia.id – Inspirasi untuk kemajuan.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Teras Mahan
  • Artikel
    • Opini
    • Essay
    • Reportase
    • Profil
  • Sastra
    • Puisi
    • Cerpen
    • Resensi
  • Resonansi

© 2020 Mahanpedia.id