Oleh: Samson Fajar
KH. Ahmad Dahlan Berkata: “Mengapa engkau begitu bersemangat saat mendirikan rumahmu agar cepat selesai, sedangkan gedung untuk keperluan persyarikatan Muhammadiyah tidak engkau perhatikan dan tidak segera diselesaikan?” (Sumber: Mulkhan, Munir, Prof. Dr. SU. 2007. Pesan dan Kisah Kiai Ahmad Dahlan dalam Hikmah Muhammadiyah. Yogyakarta: Penerbit Suara Muhammadiyah.)
Membaca maqalah KH Ahmad Dahlan di atas, serasa memukul hati kita sebagai umat Islam, apalagi bagi mereka setiap warga Muhammadiyah. Ungkapan Kyai Dahlan tersebut sangat menukik kalbu yang hidup, kalbu yang selalu terikat dengan perjuangan. Perjuangan Memang membutuhkan pengorbanan, bahkan kadang harus mengorbankan kesenangan pribadi demi kepentingan dakwah atau persyarikatan. Jika membaca ungkapan Kiyai Dahlan serasa ingat kisah Muhajirin dan Anshar yang di abadikan dalam Al Qur’an: “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (Al hasyr ayat 9)
Dalam sebuah riwayat, bahwa ayat ini turun terhadap sahabat yang menjamu tamu, akan tetapi mereka tidak memiliki makanan, kecuali cukup untuk tamunya. Karena Terlanjur berjanji kepada Nabi SAW, sahabat Anshar ini meminta istrinya untuk menidurkan anaknya, setelah itu menyiapkan makanan bagi tamu Rasulullah tersebut dan dua piring kosong untuk mereka berdua. Saat mereka bersiap untuk makan, ia berpura-pura membetulkan lampu, yang sebenarnya malah memadamkan lampu tersebut. Kemudian mempersilakan tamunya untuk makan, sementara ia dan istrinya juga berpura-pura sedang makan dari dua piring kosong di hadapannya. Malam itu, tamu Rasulullah SAW tidur nyenyak di rumahnya dengan perut kenyang, sementara sahabat Anshar ini beserta istri dan anaknya tidur dalam keadaan lapar.
Keesokan harinya, ketika bertemu Rasulullah SAW, beliau tersenyum dan bersabda kepadanya, “Tadi malam Allah tertawa, Dia takjub dengan apa yang kalian lakukan…” Tidak ada kejelasan, siapa nama sahabat tersebut. Sebagian riwayat menyatakan, dia adalah Tsabit bin Qais al Anshari RA, sebagian lagi Abu Thalhah. Ada juga yang menyebutkan Sa’d bin Abi Waqqash, padahal dia adalah sahabat Muhajirin.
Kisah tersebut menjadi dasar bahwa bagaimana takjubnya Allah SWT kepada seorang hamba yang mau mengutamakan saudaranya daripada dirinya sendiri, apalagi mereka mau mengutamakan kepentingan umum, sebagaimana ungkapan Kiyai Dahlan. Bagaiamana mungkin semangat kita dalam membangun rumah kita pribadi mengalahkan semangat kita dalam membangun bangunan umat, membangun masjid, sekolah dan fasilitas umat. Ini adalah kritik Kiayai Dahlan, jangan sampai kepentingan pribadi kita mengalahkan dakwah, karena umat terbaik adalah yang hidup untuk manusia, bukan untuk dirinya sendiri. Betapa malunya diri kita ketika kemegahan rumah, kendaraan kita, sedangkan kebutuhan umat terlalaikan, sedangkan itu adalah perkara umat Islam. Bahkan dalam sebuah riwayat bahwa siapa yang tidak perhatian dengan urusan umat Islam, bukan termasuk umat Muhammad Saw, walau hadits ini ada yang mengatakan doif, akan tetapi banyak syawahid akan mendahulukan kepentingan umat Islam ini. Bahkan Kiayai Dahlan pernah mencontohkan mendahulukan kepentingan Muhammadiyah, sebagaimana dalam kisah yang masyhur, yang dituliskan oleh Bapak Sukrianto: Kejadiannya kira-kira di sekitar tahun 1921-an.
Suatu siang KH. Ahmad Dahlan memukul kentongan mengundang penduduk Kauman ke rumahnya. Penduduk Kauman berduyun-duyun ke rumahnya. Setelah banyak orang berkumpul di rumahnya, KH. Ahmad Dahlan pidato yang isinya menyatakan bahwa kas Muhammadiyah kosong. Sementara guru-guru Muhammadiyah belum digaji. Muhammadiyah memerlukan uang kira-kira 500 gulden untuk menggaji guru, karyawan dan membiayai sekolah Muhammadiyah.
Karena itu KH. Ahmad Dahlan menyatakan melelang seluruh barang-barang yang ada di rumahnya. Pakaian, almari, meja kursi, tempat-tempat tidur, jam dinding, jam berdiri, lampu-lampu dan lain-lain. Ringkasnya KH. Ahmad Dahlan melelang semua barang-barang miliknya itu dan uang hasil lelang itu seluruhnya akan dipakai untuk membiayai sekolah Muhammadiyah, khususnya untuk menggaji guru dan karyawan. Para penduduk Kauman itu terbengong-bengong setelah mendengar penjelasan KH. Ahmad Dahlan. Murid-murid KH. Ahmad Dahlan yang ikut pada pengajian Thaharatul Qulub sama terharu melihat semangat pengorbanan KH. Ahmad Dahlan, dan mereka saling berpandangan satu sama lain, berbisik-bisik satu sama lain. Singkat cerita, penduduk Kauman itu khususnya para juragan yang menjadi anggota kelompok pengajian Tharatul Qulub itu, kemudian berebut membeli barang-barang KH. Ahmad Dahlan.
Ada yang membeli jasnya, ada yang membeli sarungnya, ada yang membeli jamnya, almari, meja kursi dsb. Dalam waktu singkat, semua barang milik KH. Ahmad Dahlan itu habis terlelang dan terkumpul uang lebih dari 4.000 gulden. Anehnya, setelah selesai lelangan itu, tidak ada seorang pun yang membawa barang-barang KH. Ahmad Dahlan. Mereka lalu pamit mau pulang. Tentu saja KH. Ahmad Dahlan heran, mengapa mereka tidak mau membawa barang-barang yang sudah dilelang. KH. Ahmad Dahlan berseru, ”Saudara-saudara, silakan barang-barang yang sudah sampeyan lelang itu saudara bawa pulang. Atau nanti saya antar?” Jawab mereka pada KH. Ahmad Dahlan, “Tidak usah Kiai. Barang-barang itu biar di sini saja, semua kami kembalikan pada Kiai.” “Lalu uang yang terkumpul ini bagaimana?” tanya KH. Ahmad Dahlan. Kata salah seorang dari mereka, “Ya untuk Muhammadiyah. Kan Kiai tadi mengatakan Muhammadiyah perlu dana untuk menggaji guru, karyawan dan membiayai sekolahnya?” “Ya, tapi kebutuhan Muhammadiyah hanya sekitar 500 gulden, ini dana yang terkumpul lebih dari 4000 gulden. Lalu sisanya bagaimana?” tanya KH. Ahmad Dahlan. Jawab orang itu, “Ya biar dimasukkan saja ke kas Muhammadiyah.” Demikianlah semangat bermuhammadiyah, dapat diukur ketika seorang kader mampu mendahulukan kepentingan umat dan persyarikatan dari pada kepentingan pribadi yang bersifat duniawi, baik harta, pikiran, waktu, tenaga bahkan jiwanya. Kadang, dia harus mengalami konflik dalam rumah tangga karena mengurus umat, ketika pasangan belum secara utuh memahami akan arti sebuah perjuangan.
Editor: Renci
MasyaaAllah tabarokallah ustadz,,, perjuangan di persyarikatan ini adalah anugerah karena tidak semua orang diberikan Allah rasa perjuangan itu. Ada juga seorang yg mengatakan dirinya kader Muhammadiyah dan banyak mengajak orang lain untuk menjadi kader namun keluarga sendiri lupa untuk dikader. Semoga siapa pun yg telah di anugerah kah Allah rasa perjuangan itu selalu di jaga dan di ridhoi segala bentuk pergerakan nya.. Aamiin🤲