Oleh: Mansurni Abadi
Jauh sebelum pandemi dengan berbagai cita rasanya ini terjadi, kondisi pendidikan kita sebenarnya bak layangan putus, rakyat dipaksa bertabah sekaligus pintar layaknya Kinan, sementara yang di atas sibuk dengan kenikmatan sembari minterin yang di bawah. Jangankan pada tataran output dan proses seperti soal kemunduran akademis dan feodalisme yang ditulis oleh Bung Utara, pada soal lain pun kita dipaksa untuk menormalkan sekaligus meromantisasi permasalahan, misalnya ketika ada cerita tentang anak SD yang bertaruh nyawa untuk berangkat ke sekolah akan ada framing tentang niat mereka untuk belajar, alih-alih menyalahkan pemerintah sebagai biang keladi yang membuat mereka harus menjadi atlet ketangkasan setiap harinya, belum lagi soal kesejahteraan guru yang terus menerus dipermainkan sembari di suruh untuk terus bertabah atas nama pengabdian.
Kalau sudah begini, pendidikan sebagai salah satu dari tiga alat perubahan hidup selain silahturahmi ke senior serta doa ibu, tentu akan terus menerus mengalami kemunduran dan perlu dicatat kemunduran dan kegagalan pendidikan kita bukan karena takdir ilahi. Kalau menurut kajian dari Andrew Roser pada tahun 2018 yang berjudul Beyond access: Making Indonesia’s education system work, masalah kemunduran ini terletak pada soal politik dan kekuasaan. Untuk merubah pendidikan ke arah yang lebih baik, memang politik dan kekuasaan memegang peranan penting karena dua aspek inilah yang menentukan perubahan.
Tapi berharap akan ada perbaikan pendidikan yang pro rakyat di tingkat struktural dalam waktu dekat bagaikan mengharapkan bebek bisa memanjat pohon, yang ada kita malah dijebak dengan kebijakan-kebijakan yang seolah-olah pro rakyat, padahal berjiwa neo-lib. Seperti merdeka belajar misalnya, kalau kita cermati hanya sebatas mendekatkan diri pada logika pasar, sehingga tujuan utama pendidikan tak lain dan tak bukan untuk mencetak tenaga kerja. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan tujuan ini, sejauh tujuan ini mampu menciptakan masyarakat yang berpengetahuan yang bisa memajukan negaranya, bukan masyarakat budak yang dijebak dengan budaya hustle culture (super sibuk) demi memperkaya jaringan oligarki. Kalau sudah begini apa yang mesti dilakukan?
Critical- Movement sebagai wadah
Harus ada upaya-upaya yang alternatif sebagai pelurus kesalahan yang dilakukan oleh negara dalam dunia pendidikan. disinilah pentingnya gerakan pendidikan alternative, namun bukan sebatas mengulangi apa yang dipelajari dilingkungan formal, tapi justru memberikan pemahaman lain yang berbeda dari yang didapat dilingkungan formal agar mampu berpikir secara kritis dan bertindak secara taktis. Oleh karena itu, yang alternatif perlu menjadikan kritisme menjadi landasan utama perjuangan bukan pragmatisme yang hanya menjadi penjilat kekuasaan, mari kita sejenak mengingat petuah dari ahli teori kritis Louis Althusser (1971) yang berpendapat bahwa lembaga pendidikan ditengah dunia yang kapitalistik hanyalah sebagai alat untuk melestarikan norma dan nilai yang sesuai untuk menjaga kestabilan ideologi yang dominan. Althusser menggunakan istilah cerebral society yang tertahan secara fisik dan mental diruang-ruang pembelajaran.
Kooperasi sebagai semangat
Pendidikan yang diarahkan dalam logika kompetisi dengan sesama manusia yang lain hannya akan menciptakan manusia-manusia manipulatif dan penindas. Ironisnya, kita selama ini dikondisikan dalam pendidikan yang seperti itu, oleh karena itu marilah kita menguatkan budaya kooperasi (kerjasama) dengan sesama manusia sembari terus menerus berkompetisi menjadi lebih baik dengan diri kita sendiri bukan dengan orang lain. Ketika traveling ke Bhutan pada tahun 2018 lalu, saya berkenalan dengan konsep pendidikan bahagia yang salah satu aspeknya menekankan kerjasama yang positif, aktif, dan kreatif, bukan hanya pada tingkat Sekolah Dasar, tapi hingga ke Perguruan Tinggi. Menurut kementerian pendidikan Bhutan, mengembalikan, menguatkan, sekaligus memfasilitasi semangat kerjasama diantara kaum terdidik menjadi penting untuk menciptakan masyarakat yang Shanti (damai), Kertha (berkeadilan) , dan Jagadhita (sejahtera). Dan semangat ini bisa kita eksperimentasikan di ranah gerakan yang alternatif tadi, ada banyak strategi bagaimana gerakan yang progresif berfungsi dengan baik untuk meluruskan kesalahan structural, yang kita perlukan hanyalah memulai untuk berani bertindak dan bersikap kritis sembari membuat lingkar-lingkar perlawanan sebagai antithesis pendidikan yang terlihat baik tapi menindas.
Editor: Renci
keren ndan, mudah mudahan bisa tetap konsisten dalam bertindak dan tidak terjebak oleh pragmatisme dunia