Oleh: Ramli Lahaping
Alisnya hitam pekat, bibirnya merah menyala, dan wajahnya putih merona. Segala macam manik-manik juga telah membalut tubuhnya. Santi akhirnya siap untuk pergi ke pesta pernikahan anak Eli, teman baiknya. Ketika pagi telah berlalu, dengan setiran putranya yang baru selesai wisuda, ia dan suaminya kemudian berangkat menggunakan mobil mewah mereka. Ia tampak tak sabar lagi untuk segera berada di tengah orang-orang dengan tampilan terbaiknya.
Persiapan Santi memang tidak main-main. Ia tidak ingin berhias ala kadarnya dan memberikan kesan yang buruk. Itu karena orang tua mempelai pria adalah orang yang terpandang. Eli adalah seorang pegawai negeri di Badan Kepegawaian Daerah provinsinya, sedangkan suaminya adalah Kepala Dinas Pekerjaan Umum Daerah di kabupatennya. Karena itu, ia menilai acara tersebut sebagai hajatan yang bergengsi, sehingga ia mesti terlihat tanpa cela.
Tetapi hasrat Santi untuk selalu tampil sempurna di tengah acara, senantiasa memicu peraduan mulut dengan suaminya. Demikian pula untuk pesta siang tadi. Sebelum berangkat, ia sempat cekcok dengan sang suami yang merasa suntuk menunggunya selesai berdandan. Apalagi, sang suami kembali menyinggung soal gaya berpestanya yang menguras biaya, termasuk mempermasalahkan perihal kado pernikahan yang telah ia tetapkan sesuai kehendaknya.
Tiga hari yang lalu, mereka memang berdebat soal kado pernikahan karena pandangan mereka yang berbeda. Bagi Santi, kado pernikahan adalah sarana untuk berbalas penghargaan. Karena itu, ia berkeras membawa kado berupa dua buah sepeda lipat senilai 22 juta rupiah. Alasannya, sebulan sebelumnya, putri mereka menikah, dan Eli beserta keluarganya memberikan kado berupa dua kalung emas putih dengan liontin berlian, dengan total harga sekitar 11 juta rupiah.
“Tak usahlah kado yang semahal itu, Bu. Cari saja yang bersahaja tetapi berkesan,” tentang sang suami setelah Santi mengungkapkan kehendaknya, saat mereka tengah sarapan pagi di hari itu. Sang suami menilai kado tersebut berlebihan, meski ia bisa menyanggupinya atas pendapatannya yang menjamin sebagai seorang kontraktor.
“Yang seperti apa, Pak? Perabotan? Pakaian? Perangkat kosmetik? Itu terlalu murah dan murahan untuk keluarga Ibu Eli,” solot Santi.
“Ya, mendingan begitu. Sederhana tetapi lebih berguna untuk kedua mempelai nantinya,” sambar sang suami.
Santi sontak menghentikan makannya. Ia lantas menggeleng-geleng dengan raut penuh emosi.
“Aku kira Ayah benar, Bu,” sela sang putra, seolah menengahi. “Lagi pula, soal kado, kan bukan sebuah keharusan, juga tidak ada standarnya. Terserah saja. Dan kukira, yang sederhana tetapi bermanfaat memang lebih baik.”
“Ah, kalian memang sama-sama tak punya perasaan. Apa salahnya beli yang sedikit mewah? Toh, pernikahan kakakmu yang lalu, Ibu Eli juga kasih kado dua buah kalung emas,” tangkis Santi, lantas mendengkus kesal. “Apalagi, kado berupa sepeda kan juga berkesan dan berguna untuk kedua mempelai. Mereka pasti akan suka dan menggunakannya sebagai sarana olahraga.”
“Iya, Bu. Aku tahu,” tanggap sang anak. “Tetapi mereka itu kan orang kaya. Mereka tidak akan mempersoalkan nilai kado kita. Jadi, tak usahlah berpikir untuk balas-membalas kado seperti itu.”
Santi tampak makin jengkel. “Aku tak bermaksud balas-membalas. Kado semacam itu memang sudah sepatutnya untuk strata ekonomi mereka, dan kita juga cukup berada untuk membelinya.” Ia lantas menghela dan mengembuskan napas yang panjang. “Lagi pula, suatu saat, kau juga akan menikah. Aku yakin, mereka akan membalas kita dengan kado yang setimpal kalau nilai harganya yang kalian permasalahkan. Atau kau memang rela kalau mereka tidak memberikan kado di pesta pernikahanmu? Atau mereka memberi kado sekadarnya saja, seperti selusin gelas?”
“Kalau aku sih tak masalah,” ketus sang anak.
Kejengkelan Santi pun memuncak. “Kau memang tidak punya harga diri. Kau sama saja dengan ayahmu.” Ia lantas meneguk air putih, kemudian kembali menuturkan kehendaknya dengan nada memaksa, “Pokoknya, aku mau kita beri mereka kado berupa dua sepeda. Kalau kalian tidak setuju, aku akan mengusahakannya sendiri, dan aku akan pergi ke pesta mereka tanpa turut dengan kalian, biar kita semua malu sekalian.”
Sang suami dan sang putra pun tak lagi membalas. Mereka diam dan pasrah untuk setuju. Akhirnya, lewat tengah hari tadi, mereka pun pergi ke pesta sembari membawa dua sepeda lipat yang terkemas rapi di dalam kardus yang berbalut kertas kado. Tak lupa, Santi menuliskan nama mereka secara jelas di sisi luarnya.
Setelah sampai di tempat acara, di sebuah gedung yang megah, Santi pun tampil dengan penuh percaya diri. Atas bantuan dua orang panitia untuk mengangkat dua kardus sepeda, mereka lantas memasuki ruang acara, sembari bersalaman dan bersapaan dengan orang-orang yang mereka kenal. Dan seiring langkah-langkah mereka, mata orang-orang pun menyorot dengan penuh tanya atas kado yang mereka bawa. Hingga akhirnya, dua kado tersebut diletakkan di samping panggung mempelai, lalu mereka naik untuk memberi selamat. Setelah acara itu, sampai awal malam ini, Santi pun merasa sangat senang telah berhasil menunaikan niatnya. Ia merasa bangga telah memberikan kado yang menurutnya akan sangat berkesan bagi Eli sekeluarga, juga kedua mempelai. Tetapi akhirnya, ia terkejut setelah menyaksikan berita-berita pada siaran televisi dan media sosial, yang menyatakan bahwa seorang kontraktor memberikan kado berupa sepeda mahal pada pernikahan anak Kepala Dinas Pekerjaan Umum kabupaten, dan itu disinyalir sebagai gratifikasi yang akan diselidiki lebih lanjut oleh pihak Komisi Pemberantasan Korupsi.
Editor: Renci