Oleh : Reza Zikri Fauzian (Kader Muhammadiyah)
Masihkah istilah Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) relevan digunakan di masa birahi kekuasaan saat ini? Dengan sengaja dan sadar mengartikan AUM sebagai sawah bagi dirinya.
Sawah, adalah tempat menanam dan panen. Pada umumnya sawah ditanami padi, yang menjadi makanan pokok manusia-manusia zuhud hingga yang tamak. Namun, apakah yang kita tanam untuk amal usaha dan persyarikatan besar ini.
Sesuai pokok-pokok pikiran dan gerakan dakwah Muhammadiyah yang berkemajuan itu atau kita mengkesampingkan nilai-nilai baik yang digagas oleh para cendikia Muhammadiyah tersebut. Berkemajuan pun kita akan berlari kemana? Perkembangan teknologi dan gerakan milenial dalam dakwah atau sifat dan karakter yang kemajon itu kita turut latah menirunya.
Memang, zaman akan seiring berganti dan maju, namun kedzaliman dan keserakahan pun turut menyertai. Masihkah punggawa-punggawa Muhammadiyah mampu menjaga cita-cita luhur sang founding father, K.H. Ahmad Dahlan. Tentang pendirian para Kiyai memberi petuah “hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup diMuhammadiyah” yang kini berubah menjadi kata-kata mutiara saja.
Dengan kondisi zaman ini, mungkin kita bisa menjadikan mbok-mbok Aisyiyah sebagai rujukan untuk terus bermuhasabah dalam hal menjaga keutuhan tujuan di dalam persyarikatan. Begitu ikklasnya mbok-mbok kita dalam ngopeni dan ngopini anak-anak muda persyarikatan. Meskipun para mbok-mbok sudah susah payah ngopeni suami dan anak-anaknya, meskipun sebagian besar hasil jualannya di pasar harus disisihkan untuk ngopeni dan ngopini urusan-urusan pesyarikatan.
Bahkan mereka rela bejubel di bak mobil pickup untuk berangkat ngaji triwulan dari ranting ke ranting dengan kebaya dan gamis hijau khas itu. Sedangkan kita sibuk mengais kepantasan atas status pimpinan persyarikatan dan AUM untuk mendapatkan mobil keluaran terbaru dengan menistakan begal dan jarak tempuh sebagai landasan ngopeni persyarikatan, meski tak jarang diperuntukkan mengantar anak dan kondangan.
Kita harus sering-sering sejenak merenung dan dengan ihklas menerima kritikan dari luar dan dalam persyarikatan untuk kebaikan persyarikatan. Sejauh apakah fungsi amar ma’ruf nahi munkar itu diaplikasikan atau yang paling sederhana, apakah kehausan jama’ah kita akan rohani dan fisiknya sudah dibasuh oleh persyarikatan yang kaya ilmu dan 23 ribu PAUD hingga 163 universitas.
Januari 2021 lalu, komedian Pandji Pragiwaksono memberikan kritikan pedas kepada dua ormas Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, yang kemudian dibandingkan dengan ormas besutan Rizieq Sihab yang telah dibubarkan pemerintah itu.
Ya, sebagai kader biologis dan ideologis, saya merasa tersinggung dan marah, bahkan hingga saat ini saya unfollow atau berhenti mengikuti Instagram sang komika berkepala pelontos itu, namun dalam renungan yang terus-terusan saya lakukan dengan khusuk. Tak ada gunanya ketersinggungan ini jika melihat kondisi AUM dan persyarikatan pun benar apa adanya.
Saya membenarkan kritikan itu pun dengan penuh keyakinan bukan dengan keraguan. Ya, karena sebagian besar yang disampaikan pengkritik persyarikatan pun benar adanya. Alarm-alarm yang dibunyikan di dalam rumah tak dianggap ada. Hingga suara keras dari luarpun dirasa tak penting pula. Sejukkah sikap Muhammadiyah? Atau justru kita merasa ego dengan kebesaran AUM dan persyarikatan? Naudzubillah. Wallahu a’lam.
Editor: Dwi Novi Antari
Masih ada kesalahan ketik…