Oleh: Salman Rifqi Saputra
Percaturan dunia abad ini memang menuntut kita untuk bisa berbuat lebih. Lebih maju, lebih mapan, dan utamanya lebih bisa membangun jejaring. Layak diakui, bahwa dinamika dan persoalan yang muncul di era post modern ini jauh lebih kompleks dari sekadar isu perang nuklir Iran–AS. Pasalnya di berbagai aspek kehidupan akan ada banyak hal yang tak terkendali. Meminjam istilah Ghozali bahwa postmodern merupakan gejala yang muncul untuk mengoreksi dan merevisi modernisme yang sudah tidak bisa dikendalikan lagi.
Acapkali, kemajuan dan kegemerlapan peradaban di era modern ini hanya dipandang dari segi positifnya saja. Padahal Giddens sudah mewanti-wanti bahwa modernisme akan banyak menimbulkan malapetaka bagi keberlangsungan semesta. Perebutan wacana yang semestinya mengarah pada sesuatu yang konstruktif, membangun tatanan dan system nilai peradaban. Saat ini malah banyak menggema wacana-wacana yang destruktif. Boleh jadi ketika hal ini tidak menemukan titik temu dalam dialog, maka dis orientasi adalah kado natal untuk kita semua.
Banalitas pemikiran manusia postmodern pun menjadi salah satu faktor yang menyebabkan manusia kehilangan jati diri. Hal ini merupakan ekspresi dari ketidakmampuan memfiltrasi informasi yang bersifat toksin. Di jagad raya permedsosan misalnya; artikel palsu, plagiarism, berita hoaks banyak bersliweran yang memang sudah tidak bisa dihentikan. Pada akhirnya, kita akan hidup bersandingan dengan ketidakpastian, ketidakberdayaan dan ketidakbermaknaan. Konsep seperti inilah yang sempat diutarakan oleh Jean Baudrillard, tokoh kenamaan yang juga filsuf asal Prancis. Jean lebih suka menyebut kondisi masyarakat saat ini dengan istilah kehidupan yang hiperealitas, yakni kondisi di mana manusia kehilangan identitas dan jati dirinya, bahkan sekadar untuk menjadi seorang manusia yang utuh.
Melihat realita yang sudah serba bebas ini, berbagai pemikiran yang mungkin berbenturan dengan sistem nilai dan kebudayaan kita, maka perlu memberikan pemahaman nilai ideologis yang seharusnya sudah mulai ditanamkan sejak dini. Agama dan norma sosial merupakan segmen yang harus ter-deliveri ke generasi yang sedang bertarung bebas di arena bernama globalisasi ini. Pasalnya, kedua unsur inilah yang paling kuat daya tahannya terhadap patogen globalisasi yang siap kapan saja menyerang sistem imun kita.
Terlebih hegemoni Barat terhadap negara-negara berkembang seperti Indonesia cenderung dominan. Konsumerisme misalnya, berbagai produk dalam bentuk fashion dan makanan siap saji ala-ala Barat datang seperti gelombang yang tidak bisa dihentikan. Mirisnya gengsi menjadi faktor yang paling berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Mayoritas penduduk negara berkembang lebih suka berbelanja untuk memenuhi gaya hidup, bukan untuk kebutuhan hidup. Meskipun postmodern ini memiliki dampak negatif seperti yang disebutkan di atas. Tetap saja, arus positifnya pun nyata. Bisa kita rasakan, seperti perlawanan terhadap monopoli informasi-ekonomi, keterbukaan terhadap kebinekaan, dan toleransi masyarakat serta semua yang serba bisa terkoneksi. Oleh karena kita tidak bisa menghentikan arus yang sangat dahsyat ini, maka memperluas sudut pandang dengan cara terus menajamkan literasi serta menanamkan norma agama dan sosial adalah hal dasar bagi kita untuk menghadapi pergulatan zaman yang semakin liar tak terkendali.
Editor: Renci