Oleh: Muh Akmal Ahsan (Ketua Umum DPD IMM DIY)
Tulisan ini berangkat dari kegelisahan penulis mengenai realitas dunia intelektual kekinian. Situasi yang terjadi dalam hiruk pikuk percakapan publik, narasi semu yang bertebaran sesak bak air bah yang didukung oleh kian intensnya penggunaan media sosial, percakapan publik sekarang ini sedang terjebak dalam apa yang disebut para ahli sebagai banalitas intelektual. Seraya itu, ulasan ini juga berangkat dari perenungan penulis mengenai situasi internal Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan raut wajah intelektualismenya.
Banalitas Intelektual
Rentan tahun terakhir terjadi puspa ragam persoalan intelektual yang menjangkiti tubuh kebangsaan. Kejahatan dan kebengisan intelektual telah menjadi realitas hari-hari yang melekat dalam pertarungan narasi publik, kita ada dalam banalitas intelektual yang kronis. Setidaknya itu dilihat dari: pertama, giat para akedemisi yang sekarang ini sibuk pada orientasi mengejar nilai-nilai pragmatis daripada nilai-nilai ilmu pengetahuan. Alih-alih mengabdi pada nilai abstraktif dan filosofis seperti keadilan, kebenaran dan kemanusiaan, sekarang ini para akademisi (khususnya para dosen) sibuk mengejar kepentingan-kepentingan pragmatis untuk meningkatakan kedudukan akademik dan pendapatan.
Kedua, kecenderungan para akademisi untuk tumbuh menjadi selebrita. Mereka kini sibuk untuk bertanding memperbanyak pujian publik melalui status artificial seperti “ahli”, “pakar” dan ragam ujaran lain. Sebagian akademisi sekarang rajin untuk “panjat sosial”, mencipta narasi populis demi meraih legitimasi publik, lebih bengis lagi untuk mendapat posisi tertentu semacam menteri atau staf khusus presiden. Akibatnya terang, kritik tak lagi berjalan secara objektif, kritik kehilangan sifat emansipatorisnya. Kritik dilancarkan sekadar demi menarik perhatian.
Ketiga, kecenderungan banalitas intelektual juga tergambar dari bergesernya diskusi ilmiah kampus-kampus menjadi sekadar seminar-seminar formalitas demi menambah nilai universitas. Kampus kini menjadi angin riuh yang sekadar bersuara, akan tetapi suara itu tak tentu arah. Alih-alih dialog dan seminar menjadi forum ilmiah, sekarang ini seminar-seminar kampus banyak dilakukan sekadar demi menyumbang suara di kehidupan publik.
Keempat, problematika lain yang bisa kita amati adalah meluruhnya militansi keilmuan selaras dengan merendahnya produktivitas ilmuan, para akademisi (dosen dan peneliti) melakukan tindakan-tindakan penelitian dan pengajaran hanya demi mengejar gelar belaka, akibatnya kegiatan-kegiatan demikian tidak mendapatkan esensi akademisnya.
Realitas Intelektualisme IMM
Sementara itu, bila kita giat mengamati dinamika intelektual Ikatan saat ini, tergambar terang dan jelas fakta meluruhnya kultur ilmu pengetahuan di dalam organisasi. Peluruhan itu terjadi sebagai akibat dari situasi eksternal dimana teknologi dan media sosial menggempur proses pertumbuhan kader. Mereka kini disibukkan dengan berkomentar di media sosial daripada melakukan perenungan mendalam, reflektif dan meluas tentang realita sosial yang terjadi di lingkungan sekitar.
Di sisi lain, liberalisasi lembaga pendidikan mendorong para mahasiswa (juga kader IMM) untuk mengejar nilai-nilai pragmatis semacam IPK dan gelar prestasi lain. Kuliah yang padat membuat para mahasiswa tidak lagi memiliki waktu senggang untuk menggelar diskusi yang lebih dalam dan menembus batas akademik mereka.
Meluruhnya semangat intelektual di Ikatan juga merupakan dampak dari ketidakmampuan organisasi dalam melahirkan sintesa-kreatif untuk melahirkan kultur dan gerakan intelektual yang lebih menarik. Struktur organisasi didera kesibukan membangun bargaining position dengan pemerintahan daripada menguatkan kembali tradisi pengetahuan. Di sisi lain, masih melekat di dalam batang tubuh ikatan ini sindrome formalisme, di mana ragam kegiatan dilaksanakan sekadar demi menyelesaikan beban program kerja belaka. Hal lain yang turut mengganggu pertumbuhan kader adalah dinamika konflik yang tidak kunjung usai di dalam. Sengkarut pertikaian itu mengalihkan orientasi gerakan intelektual Ikatan.
IMM Melawan Banalitas Intelektual
IMM memiliki nilai utama yang dipegang erat sebagai pedoman dalam melaksanakan laku ilmiahnya. Nilai-nilai utama itu sekarang perlu dijadikan inspirasi untuk memperbaiki kondisi intelektual, baik di internal organisasi maupun situasi eksternal, khususnya di media sosial. Apa yang bisa kita lakukan?
Pertama, IMM memiliki tugas untuk melawan demoralisasi intelektual, yakni pendangkalan dan pemunduran moral para intelektual. Melalui pegangan slogan “anggun dalam moral dan unggul dalam intelektual” IMM berkepentingan untuk meluruskan jalannya gerak para akademisi yang sekarang ini mengalami pembengkokan, perihal ini ditunjukkan dengan tabiat para akademisi yang gemar membangun narasi kebohongan, fitnah dan adu domba juga tabiat buruk lain semisal meraih kedudukan akademis melalui plagiasi dan penggunaan ghost writer. Agenda perlawanan atas demoralisasi intelektual itu barang tentu harus dimulai di dalam diri IMM sendiri, para kader harus menghindari tabiat plagiasi dan menyontek.
Kedua, membangun kembali militansi akademik dan kultur ilmu pengetahuan. IMM dalam rentang panjang kelahirannya tidak bisa sama sekali dipisahkan dari orientasi untuk membentuk intelektual (akademisi), orientasi itu jelas tergambar dari tujuan IMM dan salah satu butir enam (6) penegasan IMM: menegaskan bahwa ilmu adalam amaliah dan amal adalah ilmiah. Penegasan tersebut jelas merupakan pedoman ihwal perlunya terus-menerus membangun kultur akademik dan militansi terhadap ilmu pengetahuan. Usaha membangun kultur akademik dan militansi ilmu pengetahuan ini misalnya bisa dilakukan dengan membangun pusat-pusat studi di dalam ikatan.
Ketiga, membangun narasi alternatif. Demi menetralisir sekaligus melawan banalitas intelektual di kehidupan masyarakat, IMM perlu ikut dalam percakapan publik, khususnya media sosial. Narasi tersebut tentu merupakan bangunan ilmu pengetahuan yang objektif, konstruktif dan ilmiah. Ketika tampil di media sosial, IMM jangan sampai terjebak riuh keributan publik yang akhirnya menghilangkan esensi kehadirannya.
Keempat, membangun mentalitas intelektual. Tumbuhnya semangat kognitif harus diimbangi dengan mentalitas yang kokoh, para kader harus memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri, tidak kagetan dan reaktif terhadap semua kondisi sosial yang terjadi. Bila mengamati gejala persoalan sosial, kader IMM harus memiliki kesabaran dan jeda waktu untuk giat menganalisis terlebih dahulu sebelum berkomentar dan bereaksi. Catatan ini berakhir dengan harapan bahwa semangat melawan banalitas intelektual di kehidupan publik harus terus menyala seraya mempersiapkan kader untuk kelak tampil menjadi akademisi dan intelektual yang sebenar-benarnya, para intelektual yang mengabdikan diri pada kebenaran, keadilan serta kemanusiaan universal. Semoga.
Editor: Renci